merdekanews.co
Rabu, 16 Agustus 2023 - 15:25 WIB

Rusuh Warga Dago Elos Dipicu Sengketa Lahan dengan Keluarga Muller

Jyg - merdekanews.co
warga Dago Elos masih melakukan perlawanan atas tanah yang mereka tinggali selama puluhan tahun, berharap hukum berpihak kepada mereka. (Foto: istimewa)

Jakarta, MERDEKANEWS -- Warga kawasan Dago Elos, Bandung, Jawa Barat terlibat kerusuhan dengan aparat kepolisian pada Senin (14/08) malam di Jl. Ir H Djuanda, Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat.

Kericuhan bermula saat warga Dago Elos membuat laporan dugaan pemalsuan data dan penipuan tanah ke Polrestabes Bandung pada Senin pukul 11.45 WIB.

Namun, hingga pukul 19.30 WIB, polisi disebut hanya membuat berita acara wawancara (BAW) bukan berita acara pemeriksaan (BAP). Polisi disebut beralasan karena bukti yang dibawa tidak cukup.

Kecewa mengetahui hal tersebut, warga pun memblokade jalan serta membakar ban dan kayu di jalan utama Dago sekitar pukul 20.30 WIB.

Mereka juga berorasi dan membentangkan spanduk tentang sengketa tanah. Di tengah-tengah aksi protes tersebut, terdapat tembakan gas air mata. 

Warga membalas dengan melemparkan batu. Polisi juga berupaya membubarkan massa dengan menyemprotkan air lewat kendaraan water canon. Situasi baru berhasil terkendali di tengah malam.

Kerusuhan di Dago Elos dilatarbelakangi sengketan lahan antara warga dan keluarga Muller.

Keluarga Muller menggugat warga Dago Elos ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada 2016 dan gugatan tersebut dimenangkan Muller bersaudara.

Keluarga Muller mengaku keturunan dari George Hendrik Muller, seorang warga Jerman yang pernah tinggal di Bandung pada masa kolonial Belanda.

Kemudian, keluarga Muller atas nama Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller menggugat warga Dago Elos. Ketiganya mengklaim tanah seluas 6,3 hektar di Dago Elos merupakan warisan dari George Hendrik Muller kepada mereka.

Klaim tersebut dinyatakan berdasarkan surat Eigendom Verponding atau hak milik dalam produk hukum pertanahan era kolonial Belanda. Sertifikat itu dikeluarkan Kerajaan Belanda pada 1934.

Tanah seluas 6,3 ha terbagi dalam tiga Verponding, yakni nomor 3740 untuk tanah seluas 5.316 meter persegi, nomor 3741 tanah seluas 13.460 meter persegi, dan nomor 3742 tanah seluas 44.780 meter persegi.

Dulu, di tanah itu berdiri Pabrik NV Cement Tegel Fabriek dan Materialen Handel Simoengan atau PT Tegel Semen Handeel Simoengan, tambang pasir, serta kebun-kebun kecil.

Dalam perkembangannya, tanah di zaman kolonial dapat dinasionalisasi menjadi milik pribadi sesuai Undang-Undang Pokok Agraria yang terbit pada 1960. Namun keluarga Muller tidak pernah mencatatkan hak milik atas tanah tersebut atau menempatinya. Disebut, batas konversi lahan ini paling lambat 24 September 1980.

Apabila tanah berstatus Eigendom Verponding, hak waris zaman Belanda itu tidak diklaim sampai waktu yang telah disebutkan di atas, maka tanah otomatis menjadi tanah negara.

Setelah lebih dari empat puluh tahun dari tenggat waktu konversi, Muller bersaudara menggugat tanah yang mereka klaim sebagai hak waris mereka ke meja hijau.

Pada tingkat Kasasi mereka kalah, berdasarkan Putusan Kasasi Nomor 934.K/Pdt/2019 hak mereka akan tanah tersebut sudah tidak bisa diklaim karena tenggat waktu konversi Eigendom Verponding sudah berakhir.

Namun, ketiga Muller tidak menyerah, mereka mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan nomor 109 PK/Pdt/2022. Berbekal dokumen yang meyakinkan pengadilan, Muller bersaudara berhasil memenangkan gugatan.

Pada keputusan Peninjauan Kembali Nomor 109 PK/Pdt/2022 tanggal 29 Maret 2022, mereka berhasil memenangkan tanah dan keputusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap. Dengan ditetapkan keputusan itu, warga Dago Elos terancam digusur dari tempat tinggalnya.

Warga Dago tidak tinggal diam, mereka yang telah bertempat tinggal di sana selama puluhan tahun tetap melakukan perlawanan. Mereka melaporkan Muller bersaudara atas dugaan pemalsuan dokumen.

Muller bersaudara itu mengklaim bahwa tanah tersebut adalah utuh hak waris mereka. Padahal, kakek mereka George Hendrik Muler memiliki lima orang anak. Tentu adalah hal yang mencurigakan apabila semua hak waris hanya jatuh kepada cucunya dari salah satu anaknya.

Lalu, ketiga bersaudara itu mengklaim bahwa nenek mereka bernama Roesmah meninggal pada 1966, padahal dalam berita duka di Limburg Dagblad edisi 7 Desember 1989, Roesmah diketahui meninggal pada 1989. Artinya, dokumen pernyataan mereka tidak dapat dipercaya, nenek mereka masih hidup hingga tenggat waktu konversi Eigendom Verponding berakhir.

Kepala Divisi Riset dan Kampanye Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono mengungkapkan tidak ada dialog yang terjadi antara warga Dago Elos dan keluarga Muller. Warga, kata Heri seperti dikutip kompas.com, bahkan tidak mengenal Muller bersaudara yang menggugat mereka.

"Warga belum tahu keluarga Muller yang mana. Warga di Dago Elos tidak ada yang tahu siapa itu Muller, tahu-tahu digugat. Ini aneh juga kenapa ada orang yang tidak menguasai secara fisik tiba-tiba mengakui," ujarnya.

Terkait PK Nomor 109/PK/Pdt/2022, Heri mengatakan, pada Senin (14/08) warga Dago Elos mendatangi Polrestabes Bandung dengan maksud mengadukan dugaan tindakan penipuan yang dilakukan keluarga Muller.

Menurut Heri, warga membuat  laporan karena menduga keluarga Muller berbohong dalam pembuatan surat Pernyataan Ahli Waris (PAW) di Pengadilan Agama Cimahi pada 2014.

PAW tersebut menyatakan bahwa tiga bersaudara Muller sebagai cicit Georgius Hendrikus Wilhelmus Muller. Orang itu disebut merupakan kerabat dari Ratu Wilhelmina Belanda yang ditugaskan di Indonesia.

"Tim advokasi dan warga melakukan penelusuran. (Hasilnya) ditemukan bukan kerabat dan tidak ditugaskan oleh ratu Belanda juga," ungkap dia.

Karena itu, pihaknya menyebut keluarga Muller membuat tindakan pencatatan yang tidak sesuai fakta otentik di PAW. Padahal, PAW dipakai untuk alat bukti pengadilan.

Georgius Hendrikus Wilhelmus Muller disebut hanya seorang penyewa lahan yang bertugas sebagai tenaga administratur di perkebunan Sindangwangi di wilayah Preanger.

Atas dugaan penipuan tersebut, perwakilan warga Dago Elos melapor ke Polrestabes Bandung. Sayangnya, laporan justru berakhir dengan kerusuhan.

Heri memastikan, Tim Advokasi Dago Elos akan terus melaporkan dugaan penipuan tersebut sesuai persetujuan warga selaku pemberi kuasa.

"(Kami) menyoroti tindakan brutalitas (polisi) dan akan menghubungi Komnas HAM dan lembaga terkait (atas kerusuhan di Dago Elos," jelasnya. 

Diketahui, hingga kini warga Dago Elos masih melakukan perlawanan atas tanah yang mereka tinggali selama puluhan tahun, berharap hukum berpihak kepada mereka.

Saat ini, tanah di Dago Elos menjadi tempat tinggal warga RT 01 dan 02 dari RW 02 Dago Elos, kantor pos, serta Terminal Dago.

(Jyg)