merdekanews.co
Senin, 22 Januari 2018 - 20:33 WIB

Gerbang Tani: BPN Tak Becus Selesaikan Sengketa Tanah di Palembang

Setyaki Purnomo - merdekanews.co
Ketua Umum Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan Indonesia (Gerbang Tani), Idham Arsyad

Jakarta, MERDEKANEWS - Penyelesaian sengketa lahan yang menjadi kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pusat Pertanahan Nasional (BPN), acapkali berat sebelah.

Ketua Umum Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan Indonesia (Gerbang Tani), Idham Arsyad, mengatakan, penyelesaian sengketan lahan, cenderung mementingkan pemilik modal atau pengusaha ketimbang rakyat kecil.

Selain itu, kata Idham, Kementerian ATR/BPN selaku institusi yang bertanggung jawab, terkesan belum serius untuk menyelesaikan konflik pertanahan di sejumlah daerah.

Salah satu yang mengemuka adalah sengketa lahan di Kecamatan Sematang Borang, Kota Palembang, Sumatera Selatan. Di mana, warga dua kelurahan yakni Srimulya dan Sidomulya berhadapan dengan pengusaha kondang asal Palembang, H Halim. "Orang kecil atau wong cilik dan petani dikesampingkan," papar Idham kepada wartawan di Jakarta, Senin (22/1/2018). 

Idham mengatakan, lambannya penanganan sengketa lahan di daerah oleh BPN, berdampak kepada kredibilitas pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Apalagi, penyelesaian konflik pertanahan menjadi salah satu bagian dari Nawa Cita yang menjadi panduan Presiden Joko Widodo. "Pemerintah berjanji membentuk lembaga khusus penanganan konflik agraria. Namun hingga saat ini, belum ada," paparnya.

Paparan Idham bisa jadi benar. Sejauh ini, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil memang belum terbukti mampu memberikan solusi yang berkeadilan bagi konflik lahan di daerah.

Dalam kisruh lahan di Kecamatan Sematang Borang, Kota Palembang, misalnya, aparat BPN dan Kepolisian cenderung pro pengusaha. Padahal, warga dua kelurahan memiliki bukti kepemilihan lahan yang sah.

Pada September 2017, warga dua kelurahan tersebut sempat melakukan aksi blokade dan pengusiran terhadap petugas BPN yang hendak mengukur tanah seluas 405 hektar. Lahan tersebut diklaim milik H Halim, sementara 8 ribu kepala keluarga (KK) merasa berhak atas tanah tersebut.

Menurut Erwin Madjit, perwakilan warga dua keluarahan itu mengatakan, baik pemerintah provinsi maupun kota, cenderung membela orang besar. sampai saat ini, birokrat tidak mau menemui warga untuk bernegosiasi, bahkan selalu menghindar.

Kata dia, masyarakat di Kelurahan Srimulya dan Suka Mulya, sudah menempati lahan tersebut selama puluhan tahun, mereka memiliki bukti kepemilikan serta rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), kewajiban sebagai warga negara.

"Dari Ombusdman sudah mendapat tembusan dari pusat mengenai perkara dan hukum BPN yang menginstruksikan agar ditindaklanjuti sisi yuridis, administrasi, dan fisiknya, tapi hingga sekarang pihak pemerintah selalu bungkam. Selain itu, 5.000 kepala keluarga yang tinggal di dua kelurahan juga rutin membayar pajak PBB," ujar dia.

 

  (Setyaki Purnomo)