merdekanews.co
Senin, 03 September 2018 - 12:15 WIB

Eksekusi Lahan di Bali Tertahan, Polresta Denpasar kok Diam Saja?

Hasan Sumantri - merdekanews.co

Bali, MERDEKANEWS - Provinsi Bali sebagai sentra industri pariwisata di tanah air, selalu menjadi incaran bagi investasi. Namun, ada syarat yang perlu dijaga yakni kepastian hukum. Karena ini menyangkut kepercayaan pemilik modal alias investor.

Nah, untuk menjaga trust dari pemilik modal itu, perlu konsistensi khususnya dari aparat penegak hukum. Jangan sampai ada yang aneh-aneh dalam upaya peenegakan hukum. Seperti yang terjadi dalam eksekusi lahan dan bangunan di Jalan Imam Bonjol 505 Bonjol 505, Banjar Mergaya, Pemecutan Kelod, Denpasar, seluas 4 are, pada 17 Oktober 2017.

Kala itu, ING sebagai penghuni serta termohon eksekusi meminta agar diberi waktu 45 hari untuk mengosongkan lahan tersebut. Anehnya, hingga kini, termohon esekusi tetap tinggal di situ. Bahkan dia menyewakan serta melakukan usaha di lahan yang menjadi obyek eksekusi tersebut.

Aparat kepolisian setempat terkesan mendiamkan masalah ini. Bahkan ketika ada tindak kekerasan yang diduga dilakukan termohon eksekusi terhadap mandor yang akan memasang pagar di lahan yang statusnya telah dieksekusi tersebut.

Rita Kumar, selaku pemilik lahan yang didampingi pengacara Jacob Antolis di Denpasar, Minggu (2/9/2018) menyatakan kecewa. Seperti disampaikan Jacob, fakta serta keputusan hukum telah mempunyai kekuatan hukum tetap, alias inkracht van gewijsde.

Berdasarkan proses hukum, lahan yang ditempati ING dan istrinya NWR, telah dieksekusi berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar tertanggal 8 Juni 2016 Nomor 751/ Pdt.G/ 2015/ PN Dps Jo Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tertanggal 23 Januari 2017 Nomor 191/ PDT/ 2016/ PT Dps.

Eksekusi bahkan telah dilaksanakan pada 17 Oktober 2017. Di mana, ING menyatakan setuju dan menerima eksekusi tersebut. Secara hukum telah menyerahkan objek lahan tanah dan bangunan tersebut kepada pemohon eksekusi pada 17 Oktober 2017.

Namun, ING membuat surat pernyataan yang ditandatangani di hadapan Lurah Pemecutan Kelod, Kabag Ops Polresta Denpasar, Jurusita PN Denpasar dan pejabat lainnya. Isinya memohon izin tinggal 45 hari, sampai dengan 2 Desember 2017. Dirinya sepakat untuk mengosongkan sendiri atas objek tanah dan bangunan eksekusi. ”Termasuk menyatakan bahwa status mereka di lahan tersebut hanya menumpang tinggal sementara selama waktu yang dimohon 45 hari,” jelas Jacob.

Jacob juga menyayangkan sikap aparat Polresta Denpasar yang terkesan kuat mendiamkan masalah ini. “Kami melakukan beberapa kali permohonan untuk pengosongan, malah tidak bisa dilaksanakan oleh polisi. Alasannya aneh-aneh dan tidak jelas,” ungkapnya.

Dia menceritakan, saat dimohonkan dilakukan pengosongan, alasannya ada Operasi Praja Agung terkait proses Pilgub Bali. Dimohonkan pada Januari 2018 dan Februari 2018, namun dengan alasan Praja Agung Pilgub Bali 27 Juni 2018, akhirnya tidak dilaksanakan. “Anehnya, eksekusi lahan di Canggu bisa terlaksana, malahan saya sebagai pengacara untuk Termohon eksekusi. Bisa jalan. Tetapi kami untuk di Imam Bonjol, tidak dizinkan,” tegas Jacob.

Masalah ini seharusnya tidak perlu berlarut-larut. Karena sudah ada keputusan hukum yang mengaturnya. Apalagi Bali adalah pusatnya bisnis pariwisata. Ketika ada preseden hukum yang tidak berkeadilan, maka akan berdampak kepada investasi. Karena sama halnnya dengan menghacurkan kepercayaan investor. (Hasan Sumantri)