Jakarta, MERDEKANEWS -- Pakar Otonomi Daerah, Profesor Dr. Drs. H. Djohermansyah Djohan, M.A menyatakan, bahwa banyaknya komando dalam penanggulangan Covid-19 pasti membuat bingung daerah.
Semestinya, kata Prof Djo sapaan akrabnya, pemerintah pusat jangan terlalu panik dalam menghadapi Covid-19.
"Langkah-langkah pusat harus terukur dan menggunakan kelembagaan-kelembagaan yang punya tugas pokok dan fungsi dalam penanggulangan Covid, bencana non alam epidemi dan juga yang terkait dengan pemulihan ekonomi nasional," ujar Prof Djo, Kamis (17/9/2020).
Menurutnya, kalau diluar jalur hanya mengandalkan leadership tokoh belum tentu bisa bekerja maksimal karena ketokohan itu harus ada dukungan birokrasi, dan dukungan pembiayaan kalau kita mau bekerja secara good governance.
"Jadi kalau hanya mengandalkan ketokohan, figur, misalnya presiden menganggap Luhut orang yang champion, cekatan, tangkas, berani. Kalau hanya pendekatan personal itu bukan pendekatan kelembagaan yang powerful, daerah bisa bingung karna banyak pihak yang memberi direktif dari pusat. Bisa saja ada perbedaan perbedaan pandangan antara Menko Luhut dengan pandangan Menko Airlangga, pandangan Erick Thohir, Donni BNPB, dan presiden Jokowi sendiri. Hal itu membuat daerah menjadi bingung," terang Guru besar IPDN ini.
Menurut Prof. Djo, dari segi pandangan daerah sebetulnya daerah itu sudah memiliki otonomi. Jadi, berilah daerah kepercayaan, kreasi dan inovasi akan muncul. "Saya juga heran pandangan presiden karena ini tidak masuk dalam dalilnya otonomi daerah. Padahal presiden pernah jadi walikota dan gubernur," ucap Presiden i-Otda ini.
Seharusnya, sambung Prof Djo, perspektifnya beri ruang pada kepentingan daerah dimana kewenangan sudah kita limpahkan maka daerah-daerah itu bisa lebih kreatif dan inovatif. Tapi kalau masih kepala dilepas ekor dipegang membuat daerah jadi gamang, daerah jadi bingung sehingga capaian daerah itu mengatasi pandemi bisa tidak maksimal.
Dalam praktek otonomi semestinya pusat hanya melakukan supervisi, pembimbingan-pembimbingan dan memberikan dukungan dukungan yang dibutuhkan oleh daerah. Harusnya arahnya kesana.
"Kenapa? Karena yang tahu persis abc nya daerah itu kan daerah, merekapun punya organisasi yang lengkap, punya rumah sakit, tenaga medis, punya dinas. Kalau kita recokin dengan cara seperti ini saya khawatir bukannya turun, tapi Covid malah naik. Karena bingung tidak bisa menghandle. Pemerintah pusat kan jauh, ada jarak dengan daerah," kata peraih penghargaan Sarjana Adhi Praja dari Menteri Dalam Negeri ini.
Prof Djo memaparkan, pemerintahan nasional dengan provinsi ada jenjang jenjang yang harus dilalui. Hal itu harus diperhatikan oleh pusat. Jangan terlalu semangat memotong kompas, tapi malah keluar dari track. Baiknya 9 provinsi yang tinggi angka positif Covid nya ini, dikontrol langsung oleh presiden, atau dibawah komando presiden. Tidak perlu pakai menko. Presiden yang mengarahkan, membimbing dan memberikan petunjuk. Kalau perlu setiap pagi ada morning meeting dengan presiden. Kan sekarang gampang tinggal vicon meeting dengan 9 provinsi itu.
Jadi kepala daerah itu merasa dihargai. Kalau menteri itu kan pembantu presiden, menteri itu bukan bos nya kepala daerah. Kepala daerah itu dipilih oleh rakyat jadi beda beda tipis dengan presiden, teritori mereka lebih kecil. Yang satu pemimpin negara yang satu pemimpin, provinsi atau kabupaten/ kota.
Jadi, akan lebih afdol jika presiden sebagai kepala pemerintahan negara memimpin rapat para kepala daerah, lalu beliau memberi perintah dan petunjuk langsung ketimbang Menko. Dalam struktur penanggulangan Covid-19 ini kepala daerah itu kan semacam panglima di wilayahnya masing-masing.
"Kita menyarankan hendaknya presiden yang perintah langsung kepala daerah. Sehingga, relasi pusat dan daerah itu menjadi lebih nyaman. Dan mendapat hasil maksimal turunkan penularan virus korona. Tapi kalau diserahkan kepada menko atau menteri malah panjang birokrasinya." tukas Prof Djo.
Sewaktu pembentukan komite penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional itu salah satu tugasnya untuk mempercepat penanganan dan untuk memangkas birokrasi.
Dengan adanya penunjukan pejabat lagi khawatir akan memanjang mata rantai birokrasi. Sedangkan kinerja komite saja ternyata belum bisa mengendalikan Covid. Hari ini 3900 an orang positif covid di Indonesia. Seharusnya jangan ditambah lagi mata rantai birokrasi seperti melibatkan menko yang lain lagi.
"Malah bukan tambah cepat tapi tambah panjang rantai birokrasinya dan juga ada overlapping, duplikasi duplikasi dan arahan bisa berbeda-beda. Malah membuat daerah jadi tidak cepat membereskan Covid," pungkas Dirjen Otda Kemdagri tahun 2010-2014 dan penjabat Gubernur Riau 2013-2014 ini. (Gaoza)
-
Prof Djo: Gubernur Jabar Harus Lantik PLH Bupati Bekasi, Tidak Boleh Terlalu Lama Bupati Bekasi H Eka Supriatmaja meninggal dunia, terpapar Covid-19, Minggu (11/7) pukul 21.30 WIB. Ia wafat setelah menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Siloam, Kelapa Dua, Tangerang sejak Minggu (4/7) pagi.
-
Prof. Djohermansyah: Birokrasi Kita Masih Berbelit-belit, Perlu Segera Direformasi Pakar Otonomi Daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA menilai reformasi birokrasi masih tertinggal.
-
Prof Djo Beri Pencerahan Tentang Omnibus Law UU Cipta Kerja Sejumlah anggota dan pimpinan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan melakukan diskusi dengan pakar ilmu pemerintahan dan Otonomi Daerah Prof Dr Djohermansyah Djohan MA (Prof Djo) terkait RUU Cipta Kerja, di Jakarta, Jumat (23/10/2020).
-
Prof Djohermansyah: Bupati Nelson Tidak Selewengkan Program Untuk Kepentingan Pemenangan Pakar Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA menanggapi tentang Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo yang berkali-kali dipanggil Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), karena dituduh pelanggaran Pilkada.
-
Prof. Djohermansyah: Tidak Tepat Gubernur Ikut Demo Tolak UU Cipta Kerja Pakar Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA menyatakan, kepala daerah merupakan pemimpin daerah. Dalam hal ini, gubernur juga merangkap sebagai wakil pemerintah pusat.