merdekanews.co
Selasa, 13 Oktober 2020 - 13:26 WIB

Prof. Djohermansyah: Tidak Tepat Gubernur Ikut Demo Tolak UU Cipta Kerja

Deka - merdekanews.co

Jakarta, MERDEKANEWS -- Pakar Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA menyatakan, kepala daerah merupakan pemimpin daerah. Dalam hal ini, gubernur juga merangkap sebagai wakil pemerintah pusat.

 

"Para gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebetulnya dia itu harus menyampaikan aspirasi rakyat di daerahnya itu kepada pemerintah pusat.  Kalau ada aspirasi masyarakat yang belum ditampung, yang belum terakomodasi dalam kebijakan perundang-undangan oleh pemerintah pusat," terang Prof Djo sapaan akrabnya dalam acara dialog di sebuah radio, Senin (12/10/2020) sore.

Jadi, tegasnya, tidak tepat kalau gubernur ikut demo atau menyatakan penolakan. Seharusnya gubernur sebagai wakil pemerintah pusat harus menampung dan juga harus menyampaikan apa yang dia lihat, apa yang dia ketahui, apa yang dikehendaki oleh rakyat di daerahnya itu.

"Dia kan menjadi saluran pusat sebetulnya dalam menjembatani suara-suara rakyat terkait RUU Cipta Kerja yang sudah ditetapkan. Tapi, kalau dia menyatakan terus terang menolak itu kurang bijak. Memang kepala daerah itu posisinya tidak menolak seperti itu," kata Presiden i-Otda (institut Otonomi Daerah) ini.

Menurutnya, bukan hanya sekali ini saja terjadi. Kalau ada kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang diprotes oleh masyarakat apalagi kalau demonya meluas. Contohnya kenaikan BBM, masyarakat tidak terima lalu pergi ke DPRD dan gubernur atau bupati walikota. 

"Itu juga terjadi. Ini sama saja kasusnya. Persoalannya ketika massa datang dengan jumlah yang besar kemudian melakukan tindakan yang dikhawatirkan akan anarkis. Kepala daerah  turun ke situ, temui mereka untuk menenangkan massa, cara diplomatis tidak langsung  menyatakan  menolak, tapi yang paling bagus akan menyampaikan kepada DPR dan presiden," kata Pj Gubernur Riau 2013-2014 ini.

Menurut Prof Djo itulah standar yang harus dilakukan. Sebaiknya jangan sampai langsung kepala daerah itu di depan mata ikut mendukung massa dan menyatakan menolak UU Cipta Kerja. Itu kurang tepat, kurang taktis, dan kurang bijak.   Kadang-kadang memang massa itu sekaligus membawa surat pernyataan untuk diteken kepala daerah.

"Disitulah diperlukan kepiawaian kepala daerah. Bukan hanya menenangkan suara masyarakat daerah, tapi juga menjaga kepentingan pemerintah pusat. Dia perlu mencari jalan yang lebih elegan dan diplomatis. Tentu   tidak boleh dia melawan perundang-undangan," jelasnya.

Dalam pasal 67 huruf b Undang-Undang Pemda No 23 tahun 2014, kepala daerah dan wakil kepala daerah diwajibkan mentaati undang-undang. Tidak boleh melakukan tindakan tindakan yang menentang atau melawan undang-undang. "Kalau dia terbuka menentang undang-undang secara normatif dia telah melanggar kewajiban, yaitu menaati seluruh  undang-undang," kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri periode 2010-2014 ini.

Sebenarnya, lanjutnya, UU Cipta Kerja belum menjadi undang-undang. Baru RUU yang disetujui DPR, dan secara legal formal baru sah ketika telah diundangkan, ditandai dengan  masuk  ke dalam lembaran negara. Waktunya 30 hari diserahkan kepada presiden. "Yang diprotes kemaren itu levelnya baru kebijakan UU yang telah ditetapkan tapi belum diundangkan," 

Terkait kepala daerah yang menolak bisa saja ditafsirkan terkait soal pilpres 2024 atau bisa juga karna secara psikologis dia ditekan oleh massa kalau dia tidak tampung atau tandatangan pernyataan yang telah disiapkan  akan chaos. 

"Bisa saja dia tanda tangan sebagai langkah taktis. Dulu pernah ada kasus seperti ini. Saya sebagai dirjen Otda lalu panggil kepala daerahnya, tanya kenapa teken? Dia bilang, kalau tidak teken massa akan brutal, bisa merusak dan membakar. Kita bisa pahami juga itu," ungkapnya.

Sebetulnya orang-orang itu baiknya dipanggil Kemendagri untuk klarifikasi bagaimana ceritanya, sambil menasehati atau menegur mereka. Posisi kepala daerah apalagi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat wajib  menaati undang-undang.

"Peran pemimpin bila ada potensi chaos harus punya kemampuan untuk menenangkan massa. Ini harus dimiliki kepala-kepala daerah, mereka bisa merespon secara bijak lalu menenangkannya. Itu yang penting. Yang keliru dan menabrak etika pemerintahan bika kita terprovokasi seolah-olah kita berada dipihak massa," pungkas penerima penghargaan Sarjana Adhi Praja Nugraha dari Menteri Dalam Negeri (1984).

Sebelumnya Presiden Jokowi meminta 34 gubernur untuk satu suara mendukung UU Cipta Kerja. Jokowi meyakinkan para gubernur bahwa UU Cipta Kerja yang ramai-ramai diprotes buruh dan mahasiswa justru dibutuhkan untuk meningkatkan investasi dan lapangan pekerjaan.

“Jadi tidak betul yang dipersepsi orang selama ini bahwa ini untuk merugikan rakyat. Ini sepenuhnya ditujukan untuk kemaslahatan bersama agar ekonomi bisa pulih dan kembali normal,” katanya. (Deka)