
Peristiwa pandemi Covid 19 telah merubah banyak teori dan konsep pemerintahan.
Pendekatan Pemda sebagai wilayah administrasi pemerintahan yang fix batas-batasnya sehingga berwenang penuh membuat kebijakan sesuai asas desentralisasi teritorial tampaknya harus direvisi.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan selain berkonsultasi dengan pemerintah pusat dalam memutuskan penerapan PSBB ketat juga mesti berkoordinasi dengan Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten beserta para wali kota terkait di kedua daerah itu yang bakal terdampak oleh kebijakannya, seperti Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang dan Tangerang Selatan.
Tentu ditilik dari etika pemerintahan tidak elok kalau para menteri kabinet Jokowi, gubernur dan wali kota berkomentar negatif di ranah publik terhadap rencana kebijakan Gubernur DKI. Dan tidak baik pula image-nya bagi Presiden selaku kepala pemerintahan negara.
Memang koordinasi pemerintahan enak diomongin tapi sukar dipraktekkan.
Di masa normal saja, koordinasi antar instansi pemerintah sudah tidak mudah, apa lagi di era wabah, darurat kesehatan, bencana non alam Covid pula.
Semakin runyam jika koordinasi dilakukan antar pemda, ditambah pula dengan keterlibatan pihak pemerintah pusat.
Guna melancarkan koordinasi yang ribet ini diperlukan koordinator yang berwibawa dan mumpuni.
Jika diperiksa mekanisme koordinasi yang ada, maka DKI dan tetangganya punya forum BKSP Jabodetabek yang diketuai Gubernur DKI sendiri.
Wadah koordinasi berfokus pembangunan ini tentu tidak sesuai untuk membahas perkara wabah.
Di tingkat nasional ada DPOD yang diketuai Wapres RI. Lembaga ini juga tidak cocok guna menyamakan persepsi antar-pemda terkait Covid.
Dalam keadaan berperang melawan musuh berat pandemi yang sudah mengancam ibu kota negara (IKN) baiknya koordinasi antar pemprov IKN dengan pemda tetangganya dipimpin langsung oleh presiden.
Dengan begitu berbagai kegaduhan yang memalukan kita tidak perlu terjadi.
Ke depan baiknya untuk IKN Jakarta dan kedua provinsi tetangganya (Jabar dan Banten), para gubernur tersebut tidak lagi dijadikan sebagai WPP (wakil pemerintah pusat), mereka hanya menjadi kepala daerah otonom provinsi saja.
Tetapi untuk menjalankan fungsi koordinasi dan pengawasan pemerintahan bawahan, presiden mengangkat seorang kepala pemerintahan wilayah dari PNS murni yang memiliki segudang pengalaman.
(###)
-
Prof Djo: Gubernur Jabar Harus Lantik PLH Bupati Bekasi, Tidak Boleh Terlalu Lama Bupati Bekasi H Eka Supriatmaja meninggal dunia, terpapar Covid-19, Minggu (11/7) pukul 21.30 WIB. Ia wafat setelah menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Siloam, Kelapa Dua, Tangerang sejak Minggu (4/7) pagi.
-
Prof. Djohermansyah: Birokrasi Kita Masih Berbelit-belit, Perlu Segera Direformasi Pakar Otonomi Daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA menilai reformasi birokrasi masih tertinggal.
-
Prof Djo Beri Pencerahan Tentang Omnibus Law UU Cipta Kerja Sejumlah anggota dan pimpinan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan melakukan diskusi dengan pakar ilmu pemerintahan dan Otonomi Daerah Prof Dr Djohermansyah Djohan MA (Prof Djo) terkait RUU Cipta Kerja, di Jakarta, Jumat (23/10/2020).
-
Prof Djohermansyah: Bupati Nelson Tidak Selewengkan Program Untuk Kepentingan Pemenangan Pakar Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA menanggapi tentang Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo yang berkali-kali dipanggil Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), karena dituduh pelanggaran Pilkada.
-
Prof. Djohermansyah: Tidak Tepat Gubernur Ikut Demo Tolak UU Cipta Kerja Pakar Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA menyatakan, kepala daerah merupakan pemimpin daerah. Dalam hal ini, gubernur juga merangkap sebagai wakil pemerintah pusat.