
Jakarta, MERDEKANEWS - Amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa pekerja dalam satu perusahaan boleh terikat perkawinan sehingga membatalkan pembatasan yang termuat dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Kamis (14/12/2017).
Dalam putusan Mahkamah tercantum bahwa frasa "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama" dalam ketentuan a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pembatasan yang termuat dalam ketentuan a quo dinilai Mahkamah tidak memenuhi syarat penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
"Karena tidak ada hak atau kebebasan orang lain yang terganggu oleh adanya pertalian darah atau ikatan perkawinan sebagaimana dimaksud ketentuan a quo," ujar Hakim Konstitusi membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.
Selain itu Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan a quo telah menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, sehingga tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah dan konstitusional.
Terkait dengan tujuan ketentuan a quo yang dikatakan untuk mencegah hal-hal negatif yang terjadi di lingkungan perusahaan, Mahkamah berpendapat bahwa alasan demikian tidak memenuhi syarat pembatasan konstitusional sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
"Potensi timbulnya konflik kepentingan dalam mengambil satu keputusan internal perusahaan, dapat dicegah dengan merumuskan peraturan perusahaan yang ketat sehingga memungkinkan terbangunnya integritas pekerja yang tinggi," papar Hakim Konstitusi.
Selain itu Mahkamah juga menilai bahwa dalam ketentuan a quo pekerja atau buruh adalah pihak yang berada dalam posisi lebih lemah karena menjadi pihak yang membutuhkan pekerjaan.
Dalam kondisi ini Mahkamah berpendapat bahwa filosofi kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian menjadi tidak sepenuhnya terpenuhi.
Oleh sebab itu Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan secara keseluruhan sekarang dibaca, "pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan... f. pekerja atau buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja atau buruh lainnya di dalam satu perusahaan." Permohonan uji materi ini diajukan oleh Jhoni Boetja dan tujuh rekannya, sebagai perwakilan dari Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Cabang Serikat Pekerja PLN, yang merasa dirugikan dengan ketentuan a quo. (Kinanti Senja)
-
Aksi Walkout Warnai Sidang Putusan Gugatan Rekam Jejak Capres Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang putusan perkara 134/PUU-XXI/2023 uji materiil Undang-undang Nomor 7 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam Amar Putusannya, Hakim MK menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
-
Dramatik: "Hakim Etik Mengadili Hakim Konstitusi" Nilai sebagai imperatif kategoris yang melekat pada diri manusia sebagai insan berhati nurani, dalam perkembangan sosialnya perlu fasilitas lainnya yaitu norma, manusia universal perlu mengatur tiap-tiap manusia indivual agar relasi antar manusia dan lainnya menjadi tertib.
-
Pemilu 2024 Berlangsung Demokratis Jadi Tolok Ukur Indonesia Negara Demokrasi Matang Pada hari Senin 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan MK itu menyebutkan capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun.
-
MK Tolak Uji Materi Sistem Pemilu, Dion: Karena Pemilu Ini Adalah Pemilunya Rakyat Fungsionaris Partai Golkar Provinsi Jambi, Supardiono atau Dion mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolah Uji Materi sistem Pemilu Proporsional Terbuka.
-
Akibat Pasal 158, MK Dipersepsikan Sebagai Benteng Kecurangan Pilkada Mahkamah Konstitusi harus berani keluar dari jeratan pasal 158 Undang-undang No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).