merdekanews.co
Kamis, 18 Juli 2019 - 15:02 WIB

Oleh : Sean Choir, Direktur Eksekutif ICDHRE (Bagian III)

Beragama Itu Memuliakan Bukan Saling Melenyapkan

*** - merdekanews.co
Sean Choir, Direktur Eksekutif ICDHRE (Islamic Center For Democracy And Human Right Empowerment)

Terlepas dari spekulasi politik bahwa peristiwa genocida di Srebernica  1995 dapat dikategori sebagai perang agama atau tidak, tapi monumen Srebrenica 1995 sesungguhnya menggugat kesadaran spiritualitas kemanusiaan dan kebangsaan kita: betapa bahayanya saat agama dijadikan alat politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Lantas dimanakah letak bahaya saat agama jadi alat politik?

Dengan serba sederhana dan terbatas, saya ingin menjawab pertanyaan diatas dengan bertesa:
"Saat kemuliaan beragama sedang dihancurkan oleh sikap intoleran dan radikal, saat semangat persaudaraan dan persatuan dirobek-robek oleh egoisme-kelompok dan fanatisme-buta, saat spirit kebangsaan direncah-rencah oleh kedangkalan-beragama, maka yang akan  terjadi adalah gelapanya peradaban kemanusiaan dan kebangsaan kita."

Basis sosiologis-empiris dari tesa diatas adalah bahwa dalam sejarahnya radikalisme dan fundamentalisme beragama,  egoisme kelompok dan fanatisme-buta cenderung kuat mengabaikan pluralitas masyarakat sebagai karya ontetik Tuhan. Dalam relasi kuasa vis a vis rakyat dengan penguasa,  pengabaian ini pada akhirnya menguatnya tindakan diskriminasi dan penindasan dalam kelas-kelas sosial oleh agama.

Disinilah arti penting moderasi dalam beragama. Moderasi atau jalan tengah dalam beragama tidak hanya lebih rasional dalam beragama tapi jauh dari itu akan menumbuhkan sikap toleran di tengah keberagaman sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Moderasi beragama juga akan menguatkan persaudaraan dan persatuan yang sangat dibutuhkan sebagai penguat daya tahan dalam memenangkan kompetisi global. Pada tahapan ini, agama akan hadir sebagai pencerah sesuai dengan misi awalnya, memuliakan dan bukan melenyapkan peradaban manusia.

Lebih dari itu, radikalisme dalam beragama yang terimplementasi pada sikap merasa paling benar dan paling suci dengan memaksa adanya penyeragaman dalam segenap keberagaman penciptaan adalah sikap yang bertentangan dengan pentauhidan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.

Bagi saya, tauhid adalah totalitas pengakuan akan ke-esaan Tuhan sebagai sang Kholiq ( Pencipta). Totalitas pengakuan ini saat sama harus pula mengakui keberadaan keragaman dari penciptaannya (makhluq). Yang namanya Kholiq pasti satu. Sementara yang namanya makhluk ( yang diciptaan) pasti banyak dan beragam. Agama adalah makhluk karenanya pasti beragam. Karena itu sikap memaksa untuk menyeragamkan agama,  sama halnya menyamakan Tuhan dengan makhluk ciptaanya sendiri.

Dalam keterbatasan keberagamaan saya, saya pun ingin katakan: bahwa seandainya mau maka betapa mudahnya Allah SWT membuat ciptaanya itu semuanya dibuat menjadi satu. Satu suku, satu bangsa, satu bahasa, satu agama dst. Tapi tidaklah demikian faktanya. Tuhan telah mencipta manusia menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian bisa saling mengenal satu dengan yang lainnya.

Akhirnya, maka ambilah pelajaran wahai orang-orang yang berakal!


Laporan dari: Hotel-Bosnia Herzegovina (***)






  • Dari Maroko Kita Bisa Belajar Apa? (Bagian I) Dari Maroko Kita Bisa Belajar Apa? (Bagian I) Berbeda dengan yang sudah-sudah, perjalanan diplomatik-kebangsaan kali ini tentu tidak dimaksudkan untuk belajar toleransi ke Maroko, karena Indonesia sendiri sedang menjadi kiblat toleransi dunia.


  • Khilafah Itu Proyek Politik Global Khilafah Itu Proyek Politik Global Kalau ada warga bangsa yang percaya kalau khilafah itu adalah upaya untuk memperjuangkan syariat islam secara kaffah, adalah bagian dari korban dari proxy war.