merdekanews.co
Sabtu, 20 Juli 2019 - 12:25 WIB

Oleh : Sean Choir, Direktur Eksekutif ICDHRE (Bagian V)

Langit Eropa Menegaskan Indahnya Keberagaman

*** - merdekanews.co

Perjalanan diplomatik ke Eropa kali ini sepertinya bukan sekedar perjalanan spiritualitas-kebangsaan tapi jauh dari itu adalah penguatan spiritualitas kemanusiaan. 

Bumi dan langit Eropa dengan segenap cerita kehebatan peradaban masa lalunya, dengan segenap aneka ragam budaya,  agama, suku, ras, warna kulit dan sebagainnya, sesungguh ya telah lama berbicara dengan lantang bahwa keberagaman adalah sunnatullah.

Sebagai sunnatullah, maka sebenarnya tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali bersikap untuk mensyukurinya dengan menjaga, merawat dan menumbuh-kembangkan keberagaman demi kemaslahatan kehidupan anak manusia di dunia. 

Mensyukuri  keberagaman sebagai karya otentik Tuhan berarti  saat yang sama membuang jauh dari  segenap niat, pikiran dan sikap untuk meninggikan yang satu dan  merendahkan yang lainnya, termasuk sikap memonopoli kebenaran dalam keberagamaan.

Pada aras sebaliknya,  memaksakan keseragaman dapat diartikan sebagai sikap mengkufuri atas nikmat Tuhan. 
Terlebih lagi memaksakan keseragaman selalu saja diawali dengan sikap superioritas diri atas yang lainnya.  Peristiwa Perang Saudara di Sebrenica Bosnia-Herzegovina tahun 1995 adalah salah satu contohnya. Hancurkan peradaban dan kebudayaan di banyak negeri unta, juga berawal dari sikap superioritas diri ini yang bersumber dari kekufuran atas nikmat  keberagaman.

Langit dan bumi Eropa, yang begitu  indah dalam aneka warna ini telah menguatkan keyakinan keberagamaan dan kebangsaan kami, bahwa Pancasila sebagai rumah-damai bersama  tetap harus dirawat dan dijaga dari segenap upaya rongrongan untuk merendahkan dan menggantinya. Dengan apapun dan oleh siapapun,  termasuk oleh mereka yang ingin mengganti Pancasila dengan ide utopi Khilafah. 

Bagi kami, belajar dari banyak peristiwa di negeri unta, Khilafah sebagai ideologi  tak lebih hanyalah strategi dan modus-politik Barat untuk menguasai sumberdaya mineral dan energi sebuah negara. Melalui 'Proxy War,  Barat dengan "strategi khilafahnya" mengendalikan jauh untuk mencipta perang saudara di dalam sebuah negara. Mereka mencipta dan mendanai kelompok-kelompok radikalis dan ekstrimis berbasis agama, untuk selalu melakukan agitasi dan provokasi melawan Pemerintah yang sah. 

Karena hanya modus politik dalam 'Proxy War, maka hasil akhirnya hanyalah kehancuran sebuah negara. Sesama anak negeri saling menghancurkan, sementara sumberdaya mineral dan minyak telah habis dibawa lari negara lain. Sementara itu cita negeri-khilafah yang damai dan indah yang di propagandakan, hanyalah mimpi buruk bagi kemanusiaan dan kebangsaanya.

Jadi  sekali lagi, saya ingatkan kepada semua anak bangsa. Musuh bersama kita adalah Radikalisme beragama. Karena Radikalisme dapat menjadi sumbu bagi erupsi tindakan perlawanan, yang dalam bahasa arab disebut dengan "SYIDDAH AL-TANATU" yang berarti rigid, keras, eksklusif, serta memonopoli kebenaran.

Radikalisme dalam sejarahnya dan hingga kini, tidak berhenti pada upaya penolakan, tetapi terus berupaya mengganti suatu tatanan dengan bentuk yang lain. Karakter ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung niat keji untuk memberangus kelompok lain, setali tiga uang dengan Rasisme.

Sekali lagi kita tidak boleh lengah sedikitpun dan karenanya harus selalu tetap waspada! (***)






  • Dari Maroko Kita Bisa Belajar Apa? (Bagian I) Dari Maroko Kita Bisa Belajar Apa? (Bagian I) Berbeda dengan yang sudah-sudah, perjalanan diplomatik-kebangsaan kali ini tentu tidak dimaksudkan untuk belajar toleransi ke Maroko, karena Indonesia sendiri sedang menjadi kiblat toleransi dunia.


  • Khilafah Itu Proyek Politik Global Khilafah Itu Proyek Politik Global Kalau ada warga bangsa yang percaya kalau khilafah itu adalah upaya untuk memperjuangkan syariat islam secara kaffah, adalah bagian dari korban dari proxy war.