merdekanews.co
Rabu, 30 Oktober 2019 - 11:37 WIB

Oleh: Sean Choir, Direktur Eksekutif ICDHRE

Dari Maroko Kita Bisa Belajar Apa? (Bagian I)

*** - merdekanews.co

Berbeda dengan yang sudah-sudah, perjalanan diplomatik-kebangsaan kali ini tentu tidak dimaksudkan  untuk belajar toleransi ke Maroko, karena Indonesia sendiri  sedang menjadi kiblat toleransi dunia. Berbagai negara di belahan dunia, khususnya yang negara sedang dilanda konflik dengan sentimen SARA, kini sedang berbuyun-duyun tuk berguru ke Indonesia.

Di Maroko kita juga tidak sedang belajar cara menguatkan pertumbuhan ekonomi, karena Indonesia petumbuhan ekonominya sedikit lebih baik. Selama kurun waktu tiga tahun terakhir, ekonomi Maroko hanya tumbuh sekitar 4.5%, sementara Indonesia bisa tumbuh hingga 5,1%. Indikator lain, daya genjot pembangunan infrastruktur di Indonesia jauh lebih gila ketimbang di Maroko meski sama-sama menghadapi ancaman terjadinya resesi ekonomi dunia.

Penulis, Sean Choir di Maroko, tugas Diplomatik Kebangsaan

 

Kita juga tidak sedang berguru soal demokrasi ke Maroko. Karena sejak reformasi tahun 1998 yang ditandai jatuhnya rezim ototiter Orde Baru, Indonesia telah menjadi negara paling liberal demokrasinya. Bahkan saking liberalnya dalam berdemokrasi, oleh banyak pengamat politik dunia,  Indonesia telah mengalahkan  negara asal atas lahirnya demokrasi-liberal itu sendiri yaitu Amerika Serikat.

Lantas kita bisa belajar apa dari negeri  Magribiyah ini yang  jika ditempuh dengan perjalanan udara dari Jakarta harus memakan waktu hingga 16 hingga 17 jam? 

BLOKADE POLITIK ATAS  'ARAB SPRING'

Gelombang politik 'Arab Spring'  telah memproduksi  'negara gagal' di banyak negeri di kawasan Timur Tengah seperti   Irak, Syiria,  Mesir, Lybia hingga Tunisia, Aljazair, Sudan di kawasan benua Afrika. Bahkan hingga kini 'Arab Spring' masih menjadi monster politik yang menakutkan bagi negara yang kebetulan penduduknya mayoritas muslim, seperti Maroko dan Indonesia.

Merespon gelombang politik 'Arab Spring' yang melumpuhkan dan mematikan  ini, kata Mahmuddin' Raja Muhammed VI telah membuat kebijakan responsif yang penulis sebut sebagai 'Blokade Politik Raja'. 

1). Reformasi Konstitusi adalah blokade politik pertama-nya. Melalui Reformasi Konstitusi di tahun 2011,  Raja Muhammed VI telah mendelegasikan kewenangan politiknya kepada Parlemen. Soal layanan dasar kepada rakyat, seperti bidang pendidikan dan kesehatan diserahkan kepada Parlemen Maroko. "Reformasi Konstitusi terbatas ini mendapat sambutan positif khususnya dari kalangan pemuda Maroko meski tidak serta mengurangi jumlah penduduk miskin di Maroko, " kata staf paling senior di  KBRI Maroko ini.

Lebih dari itu, Raja yang terkenal cerdas dan visioner ini,   membikin Institute Muhammed VI. Melalui Institute ini semua Imam dan Khatib Masjid di seluruh negeri dididik dan ditertibkan dengan ketat dan tegas, kata Zian Al-Thariq, Ketua PCIM Maroko. Materi khutbah  tidak boleh menyimpang dari aqidah Abu Hasan Asyariah yang moderat dan toleran.Sementara fiqihnya harus didasarkan pada madzab Malikiyah.

"Jika ada Khatib dan Imam yang menyimpang dari ketentuan dimaksud, terlebih lagi melakukan propaganda politik kebencian atas kekuasaan Raja, akan ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku, " tegas pemuda yang udah 5 tahun tinggal di Maroko ini.

2). Sebagai langkah deteksi dini atas kemungkinan meledaknya monster mematikan 'Arab Spring', Raja Muhammad VI mengaktifkan kerja-kerja inteljen negara. Hampir di semua sudut kota dan kerumunan massa, baik di kota maupun desa, di kampus hingga di masjid dan gereja, aparat inteljen bergerak secara efektif. Sehingga bila ada rencana dan upaya busuk dari kelompok Islam Radikal yang mencoba mengusik ketenangan dan ketertiban rakyat Maroko, pasti segera ditindak oleh aparat negara sebelum semuanya terjadi.

Blokade Politik Raja inilah yang hingga kini membuat Maroko bisa terselamatkan dari kemungkinan menjadi negara gagal. Bagaimana dengan Pemerintah Indonesia? (***)






  • Khilafah Itu Proyek Politik Global Khilafah Itu Proyek Politik Global Kalau ada warga bangsa yang percaya kalau khilafah itu adalah upaya untuk memperjuangkan syariat islam secara kaffah, adalah bagian dari korban dari proxy war.