merdekanews.co
Selasa, 09 Juli 2019 - 18:43 WIB

Oleh :Sean Choir, Direktur Eksekutif ICDHRE

2019 Boleh Gagal, Kini Radikalis Incar Di 2024

*** - merdekanews.co
Sean Choir, Direktur Eksekutif ICDHRE (Islamic Center For Democracy And Human Right Empowerment)

"Dalam bingkai 'ideologi jihad'nya, kaum radikalis tidak hanya muncul di tahun-tahun politik untuk merebut kekuasaan. Tapi dengan perencanaan yang matang dan aksi yang  tanpa lelah, mereka terus-menerus berkembang biak hingga mereka berhasil mewujudkan impiannya yaitu berdirinya NEGARA KHILAFAH."

Karena itu, mereka boleh gagal di pilpres 2019, kini mereka sedang berstrategi kembali untuk merebut puncak kekuasaan di tahun 2019. Terlebih lagi sebagai paslon pentahana, kemenangan kaum nasionalis di pilpres 2019 jauh dari angka mutlak. Hanya terpaut 17 jutaan dari paslon yang didukung total kaum radikalis. Bila ditilik dari kemenangan  pada pilpres 2014, pentahana hanya dapat isentif suara dengan kenaikkan sekitar 2% saja dari 4 tahun berkuasa. Mengapa demikian dan apa yang mesti diwaspadai ke depan bagi eksistensi ideologi Pancasila dan NKRI?

EFEKTIFNYA HOAXS

Sejak tahun pertama berkuasa dan kemudian menguat di tahun-tahun berikutnya,  Jokowi sudah dikepung dengan membanjirnya berita Hoax yang ditujukan untuk mendelegitimasi dan mendistrustnya. Oleh kaum radikalis, Jokowi dan keluarganya serta kebijakan dan semua unsur pendukung utamanya, dikuliti habis tanpa lagi mempertimbankan pentingnya akhlak sebagai sesama manusia dan hidup sebagai sesama bangsa.

Lahir dan dibesarkan sebagai keluarga PKI, Anti Islam Pro Komunis dan kebijakan yang pro Aseng dan Asing adalah sederet propaganda  politik berbasis SARA yang ditembakkan langsung  oleh kaum radikalis  kepada Jokowi.
Harus diakui, propaganda dengan memainkan politik identitas ini dinilai oleh banyak pengamat politik dalam dan luar negeri cukup berhasil.  Meski di tahun keempat pemerintahanya, aseptabilitas rakyat sempat menyentuh angka hingga 70%,  tapi tidak bergerak secara signifikan untuk dukungan suara  pilpres di bulan April 2019 yang lalu.

Sebagai bagian dari beroperasinya strategi 'firehouse of falsehood', membanjirnya berita hoax telah berhasil memperdaya nalar sehat publik dan kemudian dengan penuh sadar terjebak dalam arus politik-kebencian dan keterbelahan dengan luka politik yang dalam.

Yang terlupakan dari elit politik kita,  ketika dengan sadar bahwa kita ini hidup dalam keberagaman kemudian kita memakai identitas SARA sebagai alat politik hanya  untuk sebuah kemenangan politik-kekuasaan lima tahunan, sesungguhnya saat itu pula dengan penuh sadar kita sedang mengajak bangsa ini untuk bunuh diri massal dan membawa kembali bangsa ini menuju kegelapan peradaban.

NARASI : PEMILU CURANG, HASILNYA PRESIDEN CURANG

Guna meraih kemenangan di tahun 2024, maka politik-kebencian dan keterbelahan dapat dipastikan tetap dipertahankan. Meski tuduhan curang yang TSM tidak dapat dibuktikan di sidang MK, tapi hingga detik ini oleh kaum radikalis dan partisan buta, narasi 'pemilu curang dan tidak mau dipimpin  presiden curang' terus bergulir bahkan dengan eskalasi yang terus membesar khususnya melalui media sosial.

Meski paslon 02 menghormati putusan Hakim MK yang menolak gugatannya, tapi hingga kini belum ada ucapan selamat  dari paslon 02 untuk paslon 01. Konon, alasannya adalah sebagian besar pendukung urtamanya,khususnya yang berasal dari kaum radikalis dan partisan-buta, sangat keras untuk tidak mengakui kemenangan paslon 01 yang diyakini diperoleh dengan curang. Sementara paslon 02 takut ditinggalkan pendukungnya tersebut jika di tahun 2024 berpeluang dan mendapatkan tiket politik untuk maju lagi.

Jadi narasi curang ini dengan sengaja terus dipertahankan dan diperkuat sebagai upaya untuk proses delegitimasi dan distrust di tengah masyarakat seperti diawal-awal pemerintahan Jokowi periode tahun 2014-2019. Bagi kaum radikalis dan puritan-agamis, Jokowi tetap tidak akan diakuinya sebagai Presidennya dan karenanya tetap diletakkan sebagai musuh besarnya dalam mewujudkan negeri- utopi atas dasar khilafah.

REFLEKSI
Disinilah arti penting konsolidasi politik  ke depan pasca pilpres 2019 ini dengan meletakkan kepentingan nasional diatas kepentingan diri dan kelompoknya. Semua lini kekuatan bangsa, baik nanti yang duduk di eksekutif maupun legeslatif,  harus dapat memastikan bahwa perubahan UU politik dan Pemilu 2024 tidak lagi memberi ruang terjadinya politik-kebencian dan keterbelahan atas dasar identitas SARA. 

Saat yang sama, sebagai garda terdepan dalam menjamin keamanan dan ketertiban sosial rakyat Indonesia, POLRI dan TNI senantiasa sigap khususnya dalam mendeteksi percepatan berkembang-biaknya kelompok radikalis yang ingin mendirikan negara khilafah.

Terlebih lagi, survey Alfara RC yang dirilis tahun 2018 menemukan fakta: bahwa sekitar 17,8% mahasiswa dan 18,4% pelajar setuju berdirinya negara khilafah dari 4200 respon kaum milineal.

Lebih mengerikan lagi, kaum perusuh yang terlibat dalam aksi brutal 21 dan 22 Mei 2019 di sekitar kantor Bawaslu, adalah kaum milineal yang disinyalir terpapar radikalisme. (***)






  • Dari Maroko Kita Bisa Belajar Apa? (Bagian I) Dari Maroko Kita Bisa Belajar Apa? (Bagian I) Berbeda dengan yang sudah-sudah, perjalanan diplomatik-kebangsaan kali ini tentu tidak dimaksudkan untuk belajar toleransi ke Maroko, karena Indonesia sendiri sedang menjadi kiblat toleransi dunia.


  • Khilafah Itu Proyek Politik Global Khilafah Itu Proyek Politik Global Kalau ada warga bangsa yang percaya kalau khilafah itu adalah upaya untuk memperjuangkan syariat islam secara kaffah, adalah bagian dari korban dari proxy war.