merdekanews.co
Rabu, 24 April 2019 - 11:07 WIB

Oleh: Faisal Raoef, Pengamat Kepemimpinan dan Perubahan Sosial

ALANGKAH LUCUNYA NEGERIKU

*** - merdekanews.co

Pemilihan umum (Pemilu) telah diselenggarakan pada tanggal 17 April lalu. Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI, anggota parlemen baik tingkat pusat dan daerah, serta anggota senator masa bakti 2019-2024 saat ini menyisakan perhitungan suara di KPU.

 

Meski final perhitungan suara baru akan kita ketahui tanggal 22 Mei mendatang, namun kehebohan menuju ke hari penentuan tersebut sudah berlangsung sesaat pemungutan suara selesai dilakukan. Kehebohan dirasakan hampir oleh seluruh masyarakat Indonesia, baik yang memang sangat menantikan hasil perhitungan KPU, maupun yang acuh tak acuh, dapat dikatakan semuanya terkena imbas.

 

Kehebohan ini menyangkut hasil hitung cepat atau quick count (QC) beberapa lembaga survey yang memenangkan pasangan Jokowi-Maruf atas Prabowo-Sandi dengan persentase sekitar 55% berbanding 45% yang banyak diragukan berbagai pihak, khususnya dari kubu dan pendukung yang kalah, Munculnya klaim sepihak pasangan calon yang mendeklarasikan kemenangan dengan persentase kemenangan sampai 62%, persentase hoax di media sosial yang meningkat sampai 40% selepas pemungutan suara, saling serang antar pendukung di media sosial, bertebarannya foto C1 baik itu yang asli maupun editan, tuduhan pemilu curang dan direkayasa, banyaknya jatuh korban akibat kelelahan dari petugas penyelenggara pemilu, dan masih banyak kehebohan-kehebohan lainnya, yang rasanya hanya terjadi di Indonesia.

 

Saya harus mengakui bahwa disatu sisi kita mengalami kemajuan dalam berdemokrasi, namun disisi lain kita berjalan mundur dalam hal perkembangan pengetahuan dan kedewasaan menyikapi hasil yang diperoleh.

 

Kita mengalami kemajuan dalam hal penyelenggaraan pemilu, bahwa pemilu kali ini disebutkan sebagai pemilu yang paling kompleks yang pernah ada di muka bumi ini dengan menggabungkan pilpres dan pileg, dengan sebaran TPS yang luar biasa besar mencapai 810.329 TPS, jumlah partisipasi pemilih mencapai lebih dari 80% dari 192 juta DPT (Daftar Pemilih Tetap). Statement keberhasilan KPU menyelenggarakan pemilu sekompleks ini tidak hanya muncul dari dalam negeri, namun juga mendapat apresiasi dari manca negara.

 

Tentu saja keberhasilan ini tidak sepenuhnya sempurna sebab masih ada beberapa TPS yang terpaksa melakukan PSU (pemungutan suara ulang) dan pemungutan suara lanjutan dengan berbagai macam sebab, mulai dari kesalahan administrasi sampai adanya dugaan kecurangan yang terjadi pada TPS bersangkutan. Selain itu banyaknya pahlawan demokrasi yang gugur dalam melaksanakan tugasnya, yang hingga saat ini tercatat 91 petugas KPPS meninggal dunia dan lebih dari 300 orang lainnya sakit pasca pemungutan suara. Tentu saja semua bagian ini perlu mendapat evaluasi dari penyelenggara pemilu. Namun terlepas dari semua itu, KPU tetap harus mendapatkan apresiasi atas berlangsungnya pemilu kali ini tanpa gangguan berarti. Hal ini juga ditandai dengan banyaknya karangan bunga ucapan selamat yang mampir ke kantor KPU sebagai bentuk apresiasi masyarakat.

 

Ditengah proses perhitungan suara yang dilakukan KPU, kita disuguhi serentetan drama yang menurut saya sedikit terkesan lucu namun cukup menyita energi pikiran dan emosional. Beberapa fakta yang mencuat ke permukaan selepas pemungutan suara cukup membuat sebagian dari masyarakat kita tercengang atas tingkah polah para elit dalam menyikapi hasil sementara perhitungan yang ujung-ujungnya berimbas pada para pendukung.

 

Pertama, rilis QC dari beberapa lembaga survey yang memenangkan pasangan Jokowi-Maruf dengan kisaran 55% berbanding 45% untuk pasangan Prabowo-Sandi, langsung mendapat counter dari paslon 02 yang menyatakan bahwa mereka tidak mempercayai hasil QC tersebut, dan dilanjutkan dengan mendeklarasikan kemenangan dengan angka persentase yang sangat mutlak yakni sekitar 62% dengan klaim real count internal dan exit poll dari 300 ribu lebih TPS.

 

Secara logis, tentu ini sangat membingungkan. Di satu sisi lembaga-lembaga survey ini sudah memiliki rekam jejak dalam perhitungan quick count yang hampir selalu akurat di setiap event demokrasi akbar baik itu Pilpres ataupun Pilkada. Di sisi lain, klaim kemenangan paslon 02 yang diumumkan oleh Prabowo sekitar 5 atau 6 jam setelah selesainya pemungutan suara dengan mengatakan bahwa mereka memiliki data di lebih dari 300 ribu TPS juga menguji nalar kita. Apa benar dalam waktu sesingkat itu mereka dapat melakukan perhitungan real count untuk 300 ribu TPS? Tentu saja jika data atas klaim paslon 02 benar dan valid, tentu mereka akan sangat mudah dan terbuka menerima tantangan dari Persepi untuk buka-bukaan data, sebagaimana yang Persepi lakukan beberapa hari lalu untuk membuktikan metodologi mereka dalam melakukan QC.

 

Kedua, selain lembaga-lembaga survey yang telah memiliki rekam jejak yang kredible, disitu juga bercokol Litbang Kompas yang mengeluarkan data QC yang kurang lebih sama dengan lembaga-lembaga survey tersebut. Mungkin publik masih ingat bahwa di Maret 2019 Litbang Kompas mengeluarkan hasil survey elektabilitas terakhir yang membuat kubu 02 sumringah sebab selisih antara kedua paslon semakin tipis sekitar 10-11 persen dengan keunggulan masih ditangan paslon 01. Kubu 02 menyanjung setinggi-tingginya survey Litbang Kompas sebab di survey inilah selisih yang paling tipis terjadi dibanding survey yang dilakukan oleh lembaga lainnya. Namun ketika saat ini Kompas mengeluarkan hasil QC dengan keunggulan 01 sekitar 10%, mereka lantas tidak percaya. Tentu saja ini membingungkan. Muncul pertanyaan, apakah kubu 02 hanya akan mempercayai hasil QC ketika hasil tersebut sesuai harapan dan keinginan mereka?

 

 

Perlu diingat bahwa QC adalah metodologi ilmiah yang banyak dilakukan di berbagai negara, bukan hanya di Indonesia, namun hanya di Indonesia hasil QC dianggap sesat dan menggiring opini. QC adalah penemuan terbesar manusia dalam bidang statistik yang dapat menjadi alat kontrol dari kecurangan pemilu. Di era serba cepat seperti saat ini, pemungutan suara dan hasil perhitungan suara yang berjarak kurang lebih sebulan, jika masyarakat tidak mendapatkan gambaran dari QC, maka dapat dibayangkan akan banyak kesimpang-siuran informasi yang dapat digunakan untuk melakukan kecurangan.

 

Ketiga, Partai-partai pendukung paslon 02, khususnya PKS saat ini mungkin sedang berbunga-bunga sebab hasil QC menempatkan partai mereka sebagai salah satu partai yang lolos parliamentary threshold 4% dan bukan itu saja suara partai PKS melonjak cukup tinggi. Dari berbagai kesempatan politikus PKS di layar TV mengucapkan syukur bahwa partai mereka mendapatkan kenaikan suara yang signifikan dari hasil QC. Artinya untuk pileg mereka mempercayai hasil QC, namun mengapa untuk QC Pilpres mereka tidak mempercayainya? Ini kan lucu, sebab metode perhitungan QC untuk pileg dan pilpres adalah sama, dilakukan pada waktu yang sama dan di sample TPS yang sama.

 

Keempat, apakah benar lembaga survey melakukan penggiringan opini dengan menggunakan data palsu untuk memenangkan paslon 01? Tentu saja untuk mengetahui ini, kita harus menunggu sampai 22 Mei untuk mengetahui hasil pasti perhitungan suara sekaligus mengetahui siapa yang mengeluarkan statement keliru, apakah QC lembaga survey ataukah klaim kemenangan 02. Namun sambil menunggu, saya ingin menguji nalar publik. Apakah masuk akal bagi Anda di era keterbukaan informasi seperti saat ini lembaga survey ini berani untuk melakukan pemalsuan data? Dimana setiap rekam jejak digital dapat di tracking dan disajikan seketika. Selain itu rasanya sulit mempercayai lembaga-lembaga survey (khususnya yang masuk dalam keanggotaan Persepi) yang menggantungkan ‘dapurnya’ dari keabsahan metodologi yang mereka miliki berani untuk melakukan kecurangan dalam perhitungan QC, belum lagi jika kita tambahkan lembaga sekredible Litbang Kompas.

 

Menurut saya, ini bukan lagi perang metodologi, melainkan perang kepercayaan. Publik tentu masih ingat bagaimana lembaga survey bernama IRC, JSI, LSN, dan Puskaptis yang di pilpres 2014 lalu menyajikan data yang berbeda dengan lembaga survey lainnya, dengan memenangkan Prabowo-Hatta atas Jokowi-JK, sementara lembaga survey lain menyajikan data QC yang berseberangan. Saat ini keempat lembaga survey tersebut sudah tidak kedengaran lagi sebab sudah tidak mendapatkan kepercayaan. Selain tiu, lembaga-lembaga survey seperti LSI Denny JA, Indobarometer, Charta Politika, Poltracking, SMRC, dan lainnya telah melakukan buka-bukaan data untuk memberikan akses kepada publik untuk menguji metodologi mereka. Hal ini patut diapresiasi sebab itu adalah langkah yang perlu dilakukan untuk meredam spekulasi bahwa mereka dianggap menggiring opini.

 

Kelima, mengenai klaim kemenangan paslon 02, menurut saya sah-sah saja dilakukan untuk menjaga mentalitas para pendukung agar tetap setia mengawal perhitungan suara di berbagai level, mulai dari TPS, kecamatan, Kab/Kota, Propinsi hingga ke tingkat nasional, apalagi jika kita menilik jejak Capres Prabowo di pilpres 2014 yang juga melakukan hal serupa. Yang menjadi berbahaya ketika klaim kemenangan tersebut dibumbui narasi-narasi yang menebar provokasi seolah-olah telah terjadi kecurangan yang massif dan terstruktur atas penyelenggaraan pemilu, dan kemudian dilanjutkan dengan munculnya sentimen people power. Meski dalam klaim kemenangan tersebut Prabowo selalu menegaskan mengenai ‘gerakan konstitusional’, namun di akar rumput agak sulit memahami hal tersebut, sebab klaim kemenangan yang dilakukan sampai beberapa kali memiliki kesan untuk mendelegitimasi hasil penyelenggaraan pemilu, jika mereka kalah, dan semakin membuat potensi konflik horizontal semakin meninggi.

 

‘Kelucuan-kelucuan’ yang terjadi pasca pemungutan suara mungkin hanya terjadi di negeri kita tercinta. Dan sudah seharusnya para elite politik mengambil peran untuk mengembalikan nalar dan akal sehat ke tempat seharusnya untuk menyikapi secara arif dan bijak perkembangan situasi yang muncul, sebab sikap dan perilaku elite politik mencerminkan kedewasaan berpikir masyarakat secara umum.

 

Kita sebagai masyarakat, pemilik demokrasi terbesar juga perlu lebih jernih melihat situasi, kalah menang adalah hal yang lumrah dalam demokrasi, kekecewaan ketika yang didukung kalah tentu pasti ada, namun janganlah kekecewaan itu kemudian membuat kita gelap mata dan gelap hati, dan kemudian bersikap tidak rasional.

 

Tudingan kepada KPU yang dianggap melakukan kecurangan besar membutuhkan bukti-bukti konkrit, tidak cukup hanya dengan mengupload form C1 yang entah itu benar atau editan, dan kemudian memenuhi linimasa media sosial dan menggeneralisir bahwa telah terjadi kecurangan massif. Sadarkah kita bahwa tekanan yang kita berikan kepada penyelenggara pemilu, mungkin tidak secara langsung membebani mereka, baik secara fisik dan mental, yang membuat mereka lupa makan, lupa beristirahat hanya untuk meyakinkan publik bahwa pekerjaan yang mereka lakukan sudah benar. Mungkin tekanan ini adalah hal biasa bagi penyelenggara di tingkat pusat, namun bagaimana dengan masyarakat di tingkat bawah, di tingkat TPS, yang sudah meluangkan waktu dan energinya untuk turut berpartisipasi dan menyukseskan event akbar demorasi ini, menjadi petugas pemilu (KPPS), dan kemudian mereka masih dianggap melakukan hal-hal yang tidak mereka lakukan sehingga membuat mereka tertekan secara psikologis. Meski tidak ada data yang membuktikan, namun saya merasa bahwa tekanan publik yang cukup tinggi, turut mempengaruhi banyaknya korban petugas pemilu yang meninggal ataupun sakit.

 

Simpati saya kepada petugas pemilu, ditengah hiruk pikuk yang terjadi saat ini, mereka masih mau mengambil peran, meski dengan upah yang tidak sebanding.

 

 Inna lillahi wa inna ilaihi raji,un, Al-fatihah. Semoga para pahlawan demorasi Indonesia, yang gugur mengemban tugas maha penting ini, mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT.

 

 

 

 

  (***)