merdekanews.co
Selasa, 12 Januari 2021 - 12:00 WIB

Oleh; Akhmad Sujadi

Jakarta Perlu Pemulung, Tak Harus Dirumahkan

### - merdekanews.co
Akhmad Sujadi Pemerhati Transportasi dan Masalah Sosial

Sejak dilantik Presiden Jokowi menjadi Menteri Sosial pada Rabu (23/12/2020) Tri Rismaharini yang biasa disapa Risma langsung blusukan. Target pertama di sekitar kantor barunya di bilangan Salemba, Jakarta Pusat.

Obyeknya bukan gedung mewah, namun ke kolong jembatan kali, bawah jembatan layang dan  ke daerah-daerah  kumuh untuk menemui  pemulung, pengemis,  pengamen dan gelandangan  (P3G)  yang cukup banyak  di Jakarta.

Blusukan Risma ke berbagai obyek kaum miskin kota menjadi sorotan. Tidak hanya  media yang memberitakan.

Namun kontroversi justru datang dari sejumlah politikus dan pimpinan daerah terutama DKI Jakarta menanggapinya reaktif, bukan kooperatif duduk bersama Kemensos  menjalin hubungun kemitraan positif mencari solusi untuk menata P3G di Ibu Kota yang saat ini masih banyak di Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta yang diwakili Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria beserta dinas-dinas dibawahnya bahkan seperti kebakaran jenggot. Padahal Risma sebagai Menteri Sosial dan juga seorang Ibu, dia tidak tega ketika melihat rakyatnya hidup susah.

Pemulung, pengamen, pengemis dan gelandangan  dianggap orang hidup susah karena tidak punya tempat tinggal, tidur diemper toko, tidak di rumah yang layak dan bahkan tak sedikit yang tidur diatas gerobak bersama anak-anaknya.

Masalah P3G di DKI Jakarta ini sudah menaun. Mudah dijumpai diberbagai tempat  dan tidak pernah ditangani tuntas oleh DKI Jakarta dan Kementerian Sosial.

Mereka hanya dioperasi bila ada pemberitaan negative akan dampak kehadiran mereka di Ibu Kota Jakarta. Mereka  ditangkap, dibina sementara namun tidak dicarikan solusi permanen dan  jalan keluar yang tepat.

Wilayah Jakarta tak lebih luas dari salah satu Kabupeten di Jawa Barat. Sebut saja Kabupaten Ciamis lebih luas dibanding Jakarta.

Meski tak luas,  Jakarta sebagai ibu kota negara menjadi magnet bagi  kaum urban untuk mencari nafkah, mencari rezeki bahkan Jakarta menjadi tempat menunjukkan kesuksesan seseorang akan lebih mudah dibanding di kampung yang harus susah payah menjadi buruh tani.

Dari lubuk  hati terdalam, penulis yakin blusukan Bu Risma tak ada maksud politis. Apalagi settingan seperti dituduhkan para petinggi partai. Sebagai mantan Wali Kota Surabaya dua periode Risma paham masalah perkotaan. Bahkan ia telah mempraktekkan cara menangani masalah P3G  di Surabaya.

Karenanya ketika ditunjuk Presiden Jokowi menjadi Menteri Sosial yang berkantor pusat di Jakarta, naluri keibuan Risma sebagai Ibu yang memiliki belas kasihan terkuak.
Belas kasih Risma sebagai ibu  langsung  muncul dan mengalir, sehingga setiap kegiatan Risma ke mana pun bila melihat ada P3G beliau akan dan ingin menemuainya.

Langkah Risma diawal tugasnya sudah dicerca, itu lebih baik dibanding pada masa purna tugas di penjara.

Dicerca diawal, Risma  akan dapat  bekerja  untuk mencarikan solusi terbaik bagi permasalahan yang dihadapi Kementerian Sosial untuk menyelesaikan masalah P3G tidak hanya di Jakarta, namun dapat diterapkan permanen di kota-kota besar dengan problematika yang mirip di Jakarta.

Penulis yakin Risma tak pernah berpikir dampak blusukanya akan menuai komentar dan kritik yang demikian menarik perhatian.

Meski dikritik pedas dari kalangan Parpol dan sebagian kecil  dari masyarakat Risma hanya tersenyum. Blusukan Risma telah berimbas bagi Kota Jakarta.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad  Riza Patria bahkan mengaku tak pernah mendapati atau melihat pemulung di Jalan Soedirman-Thamrin  sejak berusia 4 tahun di Jakarta. Lalu Dinas Sosial Kota Jakarta Pusat menanggapinya dan berkomentar pemulung  biasa tinggal di kolong jembatan.

Aneka komentar tak menyurutkan Risma untuk terus melangkah, mendapati, berbincang  dan menampung para pemulung, gelandangan ke tempat penampunganya di Rumah Pangudi Luhur di Bekasi.

Jakarta Perlu Rumah Pemulung.

Sebagai ibu kota negara, Wajah Jakarta tak berubah signifikan. Kekumuhan, kesemrawutan tetap tak banyak berubah drastis meskipun gubernur berganti dibanding kota-kota di China, Hongkong atau kota di Timur Tengah yang  berkembang cepat dan berubah cepat.

Kota-kota di China, Timur Tengah telah berkembang sangat  masif, sistemik, dan cepat. Apakah Jakarta perlu pemimpin seorang  Tionghoa asli Tionghoa yang punya konsep merubah dalam waktu cepat? Rumah-rumah kumuh, angkot-angkot reot, semua akan ditata habis, bahkan selokan dan sungai akan disulap dengan cepat menjadi wajah menarik bila Jakarta dipimpin seorang visioner.

Jakarta dengan sejuta problematikanya perlu dirubah dengan tangan besi dalam merubah wajah ibu kota. KAI bisa, Jakarta bisa.

Masalah pemulung, pengemis, pengamen dan gelandangan (P3G) di Ibu Kota Jakarta sudah ada sejak lama. Gubernur silih berganti. Menteri Sosial sebagai penanggung jawab masalah juga telah berkali-kali berganti orang.

Mungkin Bu Risma yang paling tepat dan dapat menyelesaikan persoalan secara permanen. Menteri Sosial  sebelumnya, maaf  belum pernah ada yang menyentuh pada  substansi dalam P3G, khususnya di DKI Jakarta.

Risma telah memulai. Tak boleh berhenti. DKI melalui dinas sosial, Satpol PP juga langsung reaksi.

Dalam beberapa hari ini Dinas Sosial aktif operasi P3G. Mereka yang terjaring ditampung di Gedung KONI  Jakarta Pusat. Mereka diasessment, ditampung, dikasih makan. Bagi yang akan pulang kampung akan disiapkan transportasi. Itukah solusinya? Belum tentu tepat.

Pada 2005-2007 penulis yang waktu sebagai Humas KAI Daop 1 Jakarta pernah menangani pembongkaran bangunan liar di kolong jalan layang kereta api (KA) antara Manggarai-Gambir-Jakartakota. Juga menangani Pasar Gaplok. Pasar ditengah Rel didaerah Tanah Tinggi, Pasar Senen Jakarta. Tepatnya menjelang masuk Stasiun Pasarsenen dari arah Jatinegara.

Saat itu kami menanganinya  bersama-sama dengan  Wali Kota Jakarta Pusat Pak Muhayat dan Dirjen Perkeretaapian Pak Soemino Eko Saputro dan Dirut KAI Ronny Wahyudi  di Pasar Gaplok. 

Kemudian ketika membongkar bangunan liar di bawah jalan layang  KA, kami bersama Ibu Silviana Murni yang saat itu menjadi Walikota Jakarta Pusat menggantikan Pak Muhayat.

Disamping mereka terlibat mendampingi tim bongkar bersama pimpinan KAI waktu itu, mereka juga membantu tanaman melalui Dinas Pertanaman. Lalu membangun jalan tembus antar stasiun di bawah jalan layang.

Kemudian di kolong jalan layang banyak ditemukan pria  wanita sebatang kara. Sanak saudara mereka telah tiada, mereka makan diberi tetangga dan hidup bertahun-tahun dibangunan kumuh di bawah jalan layang KA.

Melalui kerjasama apik antara  KAI dan DKI dengan bantuan Dinas Sosial Jakarta Pusat dan Jakarta Barat kami memulangkan lebih dari 50  keluarga ke kampung halaman karena rumah mereka dibongkar.

Kami bersama Camat Sawah besar kala itu memulangkan warga naik Bus ke daerah Tegal-Brebes-Pekalongan, Bogor  dan Banten sekalian dengan truk pembawa alat rumah tangga.

Dengan kolaborasi KAI- DKI kala itu bangunan di bawah jalan layang KA antara Manggarai-Jakaratkota yang sebelumnya dipenuhi bangunan liar dan ribuan penghuni, kini telah bersih. Bahkan Stasiun Cikini, Gondangdia, Juanda, Sawahbesar, Mangga Besar telah difungsikan menjadi perkantoran  PT. KAI Daop 1, dan perkantoran  anak perusahaan KAI.

Sebelumnya stasiun-stasiun itu menjadi tempat tidur dan tempat penampungan barang bekas P3G di DKI Jakarta.
Masalah P3G di DKI Jakarta ada disetiap Kecamatan, Kelurahan.

Mereka memulung membantu Kota Jakarta mengais sampah laku jual. Tidak semua orang mau menjadi pemulung.

Pemulung ini banyak tinggal sementara di Jakarta. Mereka menghidupi keluarga di kampungnya. Ada yang dari Brebes, Tegal, Banyumas, Bojonegoro, Madura dan banyak lagi dari  kota lainnya. Penghasilan mereka sehari bisa Rp250 ribu hingga Rp300 ribu.

Penghasilan pemulung  cukup besar dibanding menjadi buruh tani di kampung. Mereka tinggal di sekitar lapak-lapak pengepul barang bekas.

Mereka punya penghasilan, hanya saja tidak punya rumah. Hingga akhirnya mereka tidur sekenanya beralaskan kardus.

Mereka butuh tempat penampungan  didalam kota Jakarta, bukan di Bekasi.

Mereka bisa disediakan rumah sewa sederhana untuk tinggal sementara bersama para pemulung lain.

Mereka juga seperti pegawai kantoran. Bila uang sudah terkumpul mereka pulang kampong. Duit hasil kerja digunakan untuk membangun rumah, membeli ternak dan biaya anak sekolah.

Problem berikutnya masalah gelandangan, pengamen dan pengemis. Kalau masalah ini perlu ditampung di rumah penampungan Pangudi Luhur di Bekasi agar bisa berubah mental dan syukur diberi pekerjaan  seperti gelandangan yang ditemui Risma di Soedirman-Thamrin diperkejakan di salah satu anak perusahaan BUMN.

P3G bukan hanya seorang, jumlahnya ratusan, bahkan bisa ribuan. Perlu diselesaikan bersama secara komprehenshif. Duduk bareng Kemensos-DKI Jakarta.

Sudah saatnya mencari solusi bukan mengomentari. Salam Perubahan. 

(###)