merdekanews.co
Sabtu, 03 Mei 2025 - 13:15 WIB

Oleh: Akhmad Sujadi

Implementasi Permenhub 94/2018 Perlintasan Sebidang Beban atau Peluang

### - merdekanews.co
Akhmad Sujadi, Pemerhati Masalah Transprotasi dan Sosial

Masalah perlintasan sebidang kereta api dalam dua bulan belakangan ini masih hangat menjadi perbincangan terutama bagi KAI maupun Rekan-rekan  pekerja kereta api yang tergabung dalam organisasi Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA).

SPKA bahkan menghimbau kepada internal KAI agar acara-acara yang bersifat seremonial ditunda hingga 40 hari pasca gugurnya seorang ASP, asisten masinis alm. Abdillah Ramdan yang menjadi korban dalam  tragedi KA Commuter Jenggala di Indro-Kandangan , Gresik pada 8 April 2025.

Salah satu bentuk keprihatinan  SPKA, mereka   menyelenggarakan Forum Group Disccusion (FGD) antara SPKA dan managemen. Dalam diskusi internal ini  beberapa peserta diskusi meminta ijin SPKA akan turun ke Pemda-pemda untuk membereskan perlintasan sebidang.

Bila Pemda tidak mengurus perlintasan sebidang, SPKA meminta perlintasan itu segera ditutup agar kecelakaan di perlintasan yang mengancam keselamatan pekerja kereta api sebidang dapat dicegah.

Kenapa SPKA akan mendatangi ke Pemda?  Apakah SPKA salah alamat mendatangi Pemda?

Sama sekali  tidak salah alamat karena berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor. 94 Tahun 2018,  tentang Peningkatn Keselamatan Perlintaan Sebidang Antara Jalur Kereta Api dengan Jalan,  Menhub mengeluarkan peraturan mengenai tanggung jawab keselamatan perlintasan sebidang menjadi tanggung jawab  berdasarkan pada kelas jalan.

Pertama untuk jalan Nasional menjadi tanggung jawab Menteri, dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum (PU). Kedua  untuk jalan provinsi tanggung jawab dibebankan kepada Gubernur. Sedangkan ketiga jalan kabupaten/kota menjadi tanggung jawab Bupati atau Walikota  yang dalam wilayahnya  terdapat perlintasan sebidang.

Meskipun Permenhub sudah dikeluarkan sejak tahun 2018 alias sudah berjalan 7 tahun, dari realisasi terwujudnya perlintasan sebidang yang aman, nyaman dan berkeselamatan belum teruwujd. Fakta di lapangan,  masih terdapat banyak perlintasan resmi dan perlintasan liar yang tidak dijaga.

Perlintasan resmi dan liar yang tidak dijaga ini tidak ada yang mengurus, dibiarkan saja. Perlintasan-perlintasan ini akan ramai dibicarakan apabila ada kecelakaan mobil tertabrak kereta api, apalagi kalau ada kornban jiwa akan terus dibicarakan dibicarakan.

Seolah tidak pernah serius dan belajar. Semua masih sekedar membicarakan belum ada langkah konkrit mengurusi perlintasan tersebut hingga menjadi perlintasan yang aman dan selamat  dilewati masyarakat.  

Setelah kejadian hingga hari ini perlintasan tersebut  kembli didiamkan tanpa ada yang mengurus. Paling KAI sebagai salah satu korban akan menutup pintu perlintasan tersebut.

Dalam Permenhub 94/2018 yang mengatur teknis pemasangan, permintaaan ijin, hingga teknis membuat gardu, lampu sirine, bahan-bahan pembuatan palang pintu serta dilampiri jumlah serta status ribuan perlintasan di Jawa dan Sumatera tersebut hanya memberikan perintah kepada Menteri PU, kepada para Gubernur, para Bupati dan Wali Kota untuk mengurus tanggung jawab perlintasan sebidang tanpa memberi Solusi pembiayaanya.

Karena tanpa memberikan solusi pendanaan untuk  pengadaan pembuatan gardu, biaya perawatan dan gaji para penjaga pintu, hal ini oleh Pemda tidak akan diurus serius.

Fakta menunjukkan perlintasan sebidang bila jalan aspalnya rusak tidak segera diperbaiki. Bila ada mobil nyerobot perllintasan tidak ada yang mengingatkan, sehingga kecelakaan di perlintasan masih terus terjadi.

Lain cerita bila dalam peraturan Menteri Nomor 94/2018 diberikan pasal yang mengatur pendanaan, misalnya “Guna mencegah kecelakaan lalu lintas di perlintasan sebidang, gubernur/bupati/wali kota dapat memungut pajak kendaraan bermotor di wilayahnya setiap tahun. Dana hasil pajak perlintasan dipergunakan khusus untuk membangun, biaya perwatan gardu dan jalan di perlintasan serta gaji untuk penjaga pintu”.

Kalimat ini mungkin akan menarik bagi Pemda untuk bersemangat dalam mencegah kecelakaan lalu lintas di perlintasan sebidang. Berapa jumlah perlintasan yang ada di wilayahnya perlu diinventarisir, disurvei mendalam agar perencanaan dapat segera terealisasi.

Dalam membangun gardu-gardu perlintasan mungkin para Gubernur bisa mengkordinir dana CSR dari Perusahaan. Kita ambil contoh dana CSR PT. Gudang Garam, PT Djarum yang memproduksi rokok ini cukup besar. Demikian pula Perusahaan Perbankan misalnya bisa  dimintai dan TJSL  untuk membangun seluruh gardu perlintasan.

Kita cek berapa pintu dibagi masing-masing provinsi 1 perusahaan rokok, misanya Djarum untuk Provinsi Jawa Tengah. Gudang Garam untuk Provinsi Jawa Timur untuk membiayai pembangunan perlintasan di jalan provinsi dan kabupaten/kota.

Imbalan bagi Perusahaan yang membiyai pembuatan gardu diberikan untuk memasang iklan di gardu perlintasan, di jalan menjelang perlintasan diberikan jangka waktu tertentu sesuai tarif iklan di kota tersebut. Sedangkan bila kontrak sudah habis boleh diperpanjang atau diberikan kepada pemasang iklan baru.

Dengan demikian gardu dan palang pintu yang semula menjadi beban bisa menjadi peluang untuk pendapat asli daerah (PAD).

Sedangkan pendapatan dari pajak untuk menggaji penjaga pintu, biaya perawatan jalan, biaya perawatan gardu agar selalu dalam kondisi baik sehingga mudah dilewati pengguna sepeda motor atau mobil, sehingga dapat menciptakan keselamatan bersama.

Dengan demikian perlintasan sebidang yang semula dipandang sebagai  beban akan menjadi peluang sumber dana yang positif bagi Pemda.

Ayo siapa yang mau inisiatif? Gubernur, Bupati. Wali Kota atau DJKA sebagai pemilik prasarana? ###

(###)