merdekanews.co
Rabu, 13 Mei 2020 - 07:25 WIB

Oleh : Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. Direktur HRS Center

Kepastian Hukum Kegentingan Memaksa Perppu Corona

### - merdekanews.co
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. Direktur HRS Center

Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan, kini telah disahkan menjadi undang-undang. Perppu a quo mengandung ketidakjelasan tujuan. Syarat, “hal ihwal kegentingan yang memaksa” menurut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 tidak terpenuhi. Kita ketahui, selain pandemi COVID-19, keberlakuan Perppu menunjuk pula adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, namun tidak ada kejelasan perihal ancaman yang dimaksudkan.

Lazimnya, suatu ancaman menunjuk gejala atau fakta tertentu. Terlebih lagi, ancaman disini bukan merupakan peristiwa alam. Ancaman tentu menunjuk pada perbuatan subjek hukum, bisa orang atau badan hukum. Perbuatan subjek hukum yang manakah yang dianggap sebagai ancaman? Selanjutnya, penting dipertanyakan, bagaimana kekuatan deklarasi bencana nasional dalam Keppres Nomor 12 Tahun 2020 yang notabene diterbitkan setelah Perppu? Diterbitkannya Perppu didasarkan pada deklarasi kedaruratan kesehatan masyarakat melalui Keppres Nomor 11 Tahun 2020, yang sejatinya untuk melindungi keselamatan jiwa masyarakat, bukan ditujukan untuk kepentingan ekonomi.

Kedua Keppres tersebut memiliki ‘kandungan’ yang berbeda. Keppres Nomor 11 keberlakuannya menunjuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adapun Keppres Nomor 12 didasarkan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Menjadi jelas bahwa penetapan status bencana nasional dimaksudkan sebagai dalil pembenar adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Hal ini guna memenuhi parameter “kegentingan yang memaksa”.

Tidak dapat dipungkiri, jika acuan Perppu untuk penanganan darurat ekonomi mendasarkan pada kedaruratan kesehatan masyarakat tentulah tidak memenuhi syarat. Kedaruratan kesehatan masyarakat sangat ‘muskil’ untuk dihubungkan dengan terancamnya perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Di sisi lain, status bencana nasional dideklarasikan pasca terbitnya Perppu dan tentunya tidak dapat menjadi alasan yuridis. Kondisi demikian, menunjukkan adanya kekacauan logika kerangka berpikir pemerintah.

Mengacu kepada pentahapan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan sepertinya dimasukkan ke dalam pengertian ruang lingkup “tanggap darurat” dan “pascabencana” sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Tegasnya, kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan termasuk dalam kedua pengertian tersebut. Dapat dikatakan adanya agenda ‘terselubung’ di balik deklarasi bencana nasional dan berkorespondensi dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Pantaslah dalam Keppres Nomor 12 tidak lagi mencantumkan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan sebagai butir mengingat. Pemerintah telah melakukan ‘analogi’ penanggulangan kebencanaan – yang sejatinya diperuntukkan untuk bencana alam – sama dengan penanggulangan terhadap keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang terpuruk. Oleh karena itu, terbitnya Keppres Nomor 12 lebih dimaksudkan mempertegas alasan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai bidang yang harus ditangani dengan cara-cara luar biasa dan menyimpang dari regulasi yang ada. Tidaklah mengherankan beberapa ketentuan dalam 12 (dua belas) Undang-Undang telah dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan Perppu a quo.

Perppu telah ‘mendompleng’ pandemi COVID-19. Dengan kata lain, Perppu telah menjadikan penanganan pandemi COVID-19 sebatas ‘etalase’ belaka. Kepentingan kedaruratan kesehatan masyarakat relatif minimalis. Berbading terbalik dengan kepentingan oligarki korporasi. Dipastikan masyarakat akan kembali mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi, sebab bertentangan dengan aksiologi hukum “kepastian hukum yang adil” sebagaimana disebut dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

(###)