merdekanews.co
Selasa, 19 Maret 2019 - 14:13 WIB

Oleh: Faisal Raoef

Jokowi Vs Prabowo, Otentik ataukah Pencitraan?

*** - merdekanews.co
Faisal Raoef, Pengamat Kepemimpinan dan Perubahan Sosial

Beberapa linimasa di medsos dan komentar di portal berita online tentang presiden kita, Joko Widodo (Jokowi) yang pulang berdesak-desakan dalam KRL ke Bogor beberapa waktu lalu, cukup merangsang keingintahuan saya. Bukan keingintahuan tentang apa yang dilakukan Jokowi (sebab bagi saya, hal ini sudah lazim beliau lakukan), melainkan keingintahuan tentang komentar cukup banyak orang yang mengatakan bahwa itu adalah bagian dari pencitraan. Apa salahnya dengan pencitraan? Dan mengapa istilah pencitraan saat ini cenderung berkonotasi negatif?

Selain itu, hal menarik lainnya adalah kata atau istilah pencitraan ini mencuat semenjak Jokowi muncul dalam panggung politik nasional, sebagaimana istilah ‘blusukan’. Sebelumnya istilah ini tidak pernah mendapatkan animo yang begitu tinggi dari masyarakat. Hampir tidak pernah terdengar ketika SBY menjadi kandidat presiden atau bahkan setelah menjadi presiden selama 10 tahun istilah pencitraan ini mengemuka di hadapan publik. Pertanyaannya, kenapa sekarang? Mengapa istilah ini baru mengambil pentas ketika Jokowi bertarung dalam pilpres dalam dua kesempatan? Kenapa pula pencitraan cenderung dialamatkan pada Jokowi ketimbang Prabowo?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, pencitraan berasal dari kata ‘citra’ yang secara umum dapat berarti rupa atau gambaran yg dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Lebih jauh, dalam konteks politik, KBBI mengartikan kata ini sebagai ‘gambaran diri yg ingin diciptakan oleh seorang tokoh masyarakat’.

Menilik pengertian diatas, kita dapat mengambil kesimpulan sementara bahwa citra atau pencitraan bisa bermakna positif atau negatif. Dan citra atau pencitraan dapat terbentuk dengan rekayasa _(by design)_ ataupun tanpa rekayasa alias terbentuk sendirinya dalam persepsi publik terhadap seseorang, organisasi atau bahkan produk. Masih ingat tentang slogan dari brand tertentu tentang keampuhan produk yang mereka iklankan? Ini adalah contoh citra yang di desain secara spesifik. Sementara citra yang terbentuk sendirinya dalam persepsi publik seperti, “mobil sejuta umat”, atau “Da’i sejuta umat”. Bisa lihat bedanya bukan?

Mengapa citra menjadi sesuatu yang penting? Jawabannya sederhana, sebab manusia adalah  makhluk visual dan otak manusia memproses gambar 60 ribu kali lebih cepat dari text ataupun kata-kata, bahkan 90% informasi yang diterima otak berbentuk visual atau diubah dalam bentuk visual dalam pikiran. Dengan demikian tampilan, cara berbusana, gesture atau bahasa tubuh seperti cara duduk, cara berjalan, cara berjabat tangan, senyuman dan sejenisnya menjadi informasi yang cepat mendapat atensi. Dari fakta inilah, pencitraan menjadi alat ‘propaganda’ yang maknyus untuk dilakukan. 

Cukup dengan penjelasan ilmiahnya, sebab saat ini saya memiliki citra bahwa kening Anda mulai berkerut dan saya tidak ingin Anda menjadi bosan dengan tulisan ini! Hehehe. Sebaiknya Anda mulai menyeruput kopi dan cemilan kecil disamping Anda, sebab sebentar lagi kita akan masuk ke hal yang menarik bagi Anda!

*Jokowi Vs Prabowo, siapa yang melakukan Pencitraan?*

Sebelum mulai, marilah bersepakat dan mengambil asumsi publik bahwa istilah pencitraan dalam konteks politik cenderung berkonotasi negatif, yang berarti citra yang ditampilkan oleh tokoh umumnya tidak sesuai dengan citra sejati dari tokoh tersebut. Sehingga jika citra yang ditampilkan sesuai dengan citra sejati yang dimiliki oleh tokoh tersebut, maka itu bukanlah pencitraan, melainkan karakter yang otentik dan melekat pada dirinya. Jika Anda sepakat, mari kita lanjutkan!

Pertanyaan pentingnya kemudian apakah Jokowi melakukan pencitraan ataukah tindakan yang Jokowi lakukan adalah karakter yang otentik dan melekat pada dirinya?

Apakah Jokowi melakukan pencitraan ketika ia ikut berdesak-desakan dalam KRL pulang ke Bogor? Bagi yang percaya itu sebuah pencitraan, maka mereka perlu melihat jejak yang Jokowi tinggalkan dalam infrastruktur transportasi, yang sebagian orang menilai bahwa itu proyek yang ambisius dan tendensius. Jika Jokowi melakukan inspeksi secara langsung dalam pengerjaan tol, pengerjaan MRT, bahkan mengendarai motor saat melintasi jalan trans Papua, lantas apa bedanya ketika beliau ingin mengetahui situasi riil KRL di jam-jam sibuk? apakah asumsi mengenai pencitraan masih bisa dikatakan sebagai penilaian objektif?

Ketika Jokowi mengundang founder & CEO Bukalapak, Achmad Zaki berkunjung ke istana selepas insiden twit CEO Bukalapak yang viral beberapa waktu lalu, juga dikatakan sebagai pencitraan? Ayolah, apakah Anda masih percaya dengan tudingan tersebut? Jika masih percaya bahwa itu pencitraan, silahkan _browsing_ bagaimana kebijakan pemerintahan Jokowi terhadap industri digital, silahkan lihat beberapa potongan video pidato beliau di beberapa kesempatan membahas transformasi digital, dan yang paling segar ketika beliau menanyakan ke kandidat 02 dalam debat capres bulan lalu, soal bagaimana cara mendukung perkembangan _‘yang online-online itu’!_ Kesemua fakta ini menunjukkan keseriusan beliau terhadap perkembangan industri digital di Indonesia. 

Baiklah agar tidak terlalu panjang, sekarang kita bergeser ke Capres Prabowo. 

Masih lekat diingatan ketika pertama kali pasangan Prabowo-Sandi terbentuk, saat itu Sandi melontarkan sebuah slogan “The New Prabowo”, sebuah slogan yang di disain untuk menunjukkan citra humanis dari sang Capres. Sayangnya slogan ini kemudian menghilang entah kemana, bisa jadi slogan tersebut kurang tepat menunjukkan citra yang Prabowo inginkan atau bisa jadi memang tidak sesuai atau otentik, sehingga ditinggalkan.  

Lantas bagaimana citra Prabowo sebagai presiden pilihan ulama, yang berulang-ulang digaungkan baik oleh tim sukses kandidat 02 maupun pendukungnya. Citra yang ingin ditunjukkan oleh slogan ‘Presiden pilihan Ulama’ secara sederhana adalah Prabowo sebagai representasi pemimpin muslim terbaik yang diinginkan. Apakah ini otentik? Apakah sebuah hal yang keliru ketika kemudian muncul tantangan ngaji atau keinginan untuk melihat Prabowo memimpin sholat? Mungkin memang tidak substansial dan kedengaran sepele, tapi saya menyerahkan pada Anda untuk menilainya!

Bagaimanapula ketika Prabowo berupaya mencitrakan dirinya sebagai pejuang keadilan dengan mengungkapkan disparitas atau kesenjangan ekonomi yang terjadi dengan berulang kali mengutarakan bahwa kekayaan di negeri ini dikuasai oleh 1% elite? Menurut Anda, apakah kemudian publik percaya bahwa beliau adalah pejuang keadilan? Sekali lagi saya menyerahkan pada Anda untuk menilai sendiri!

Lantas bagaimana kita dapat menyimpulkan bahwa sebuah perilaku, kata-kata, slogan atau kemasan apapun yang ditunjukkan ke publik bukan sebuah pencitraan? Atau dengan bahasa yang lain, bagaimana kita mengetahui bahwa apa yang ditunjukkan oleh seseorang adalah citra sejati dari dirinya?

Jawabannya sederhana, *Konsistensi!* Ya Anda tidak salah baca, hanya konsistensi yang dapat membedakan apakah sebuah citra yang ditunjukkan oleh seorang tokoh adalah pencitraan ataukah citra sejati yang dimilikinya.

Akhir kata, Apa yang muncul dalam pikiran Anda ketika saya mengatakan “Mobil sejuta Umat?” atau misalnya “Da’i sejuta umat?” Kemungkinan besar pernyataan pertama saya akan memunculkan satu jenis brand kendaraan yang sangat familiar, dan pernyataan kedua akan memunculkan satu nama yang juga sangat dikenal. Bukan begitu?! 

Bagaimana jika saya mengatakan *“Presiden seluruh umat?!”*

 

Penulis: Faisal Raoef, Pengamat Kepemimpinan dan Perubahan Sosial  (***)






  • Disrupsi Politik Itu Bernama Jokowi Disrupsi Politik Itu Bernama Jokowi Mungkin kita masih merasakan saat ini betapa semakin mudahnya aktivitas kita dengan keberadaan gojek atau grab untuk kemana-mana, bukalapak atau tokopedia untuk berbelanja, atau mungkin airy room atau traveloka ketika ingin bepergian atau berlibur.