merdekanews.co
Selasa, 12 Maret 2019 - 19:26 WIB

Oleh: Faisal Raoef

Disrupsi Politik Itu Bernama Jokowi

*** - merdekanews.co
Faisal Raoef, Pengamat Kepemimpinan dan Perubahan Sosial

Mungkin kita masih merasakan saat ini betapa semakin mudahnya aktivitas kita dengan keberadaan gojek atau grab untuk kemana-mana, bukalapak atau tokopedia untuk berbelanja, atau mungkin airy room atau traveloka ketika ingin bepergian atau berlibur. Perusahaan yang saya sebutkan adalah contoh gerbong yang membawa angin perubahan dalam lanskap bisnis yang belakangan ini sering disebut sebagai penanda era disrupsi di tanah air.

Disrupsi (disruption), sebuah kata populer saat ini yang awalnya dikenalkan oleh Clayton Christensen, seorang profesor ‘selebritis’ Harvard Business School untuk menggambarkan fenomena hadirnya startup atau perusahaan kecil/ rintisan yang kemudian ‘mengganggu’ atau menggoyang hegemoni korporasi-korporasi besar di sektor bisnis dan industri. Karena popularitasnya, kata ini seringkali dijadikan referensi dalam perbincangan dan kosakata bisnis, namun sangat jarang atau bahkan mungkin tidak ada yang menyadari jika istilah ini juga tepat untuk menggambarkan fenomena politik nasional kita.

Disrupsi dalam politik nasional tepatnya hadir di tahun 2014 ketika Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai Presiden RI. Seorang pemimpin sederhana yang jauh dari gambaran seorang tokoh yang memiliki riwayat yang selama ini diunggulkan untuk menduduki posisi CEO atau eksekutif tertinggi di negeri ini.

Mengapa terpilihnya Jokowi sebagai Presiden RI sebagai penanda terjadinya disrupsi dalam kancah politik Indonesia? Sangat jelas!, sebab Jokowi hadir dan berhasil mengganggu hegemoni elit politik yang selama ini dikenal dan pantas untuk menjadi tokoh sentral dalam kancah politik. Meski tidak ada persyaratan tertulis, namun sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa jangankan untuk menjadi presiden, untuk menjadi kandidat presiden saja maka Anda haruslah memiliki setidaknya karir cemerlang dalam militer atau jika dari kalangan sipil maka paling tidak menjadi tokoh pergerakan politik yang panjang atau punya background keluarga yang terpandang di negeri ini.

Tentu Anda tahu bahwa Jokowi tidak memiliki karir militer, bukan pula seorang tokoh politik (bahkan seringkali disebut hanya sebagai petugas partai oleh lawan politiknya untuk menekankan rendahnya pengaruh politik yang dimilikinya), apalagi seorang yang ‘berdarah’ birokrat ataupun teknokrat, dan yang pasti tidak memiliki latar keluarga yang terpandang di negeri ini. Singkatnya Jokowi adalah rakyat jelata yang merintis eksistensi awalnya sebagai pengusaha mebel dan kemudian tergerak menjadi pemimpin kota kecil bernama Solo hanya karena terdorong oleh visi sederhana untuk melihat kotanya memiliki trotoar yang layak dan indah untuk dipandang. Namun dewi fortuna rupanya masih terus menaungi kiprah politiknya hingga kemudian terpilih menjadi Gubernur DKI dan tentu Anda tahu kelanjutannya.

Saya yakin Jokowi tidak pernah terpikir akan menjadi tokoh yang pas dan tepat untuk menggambarkan sedikit bergesernya kosakata disrupsi ke ranah politik. Tak pernah disangka seorang yang kurus kerempeng yang hobinya blusukan ke pasar, lobi sambil makan siang, nyemplung ke selokan kotor, dan bergaya Dilan 90, yang sangat jauh dari gambaran ideal seorang pemimpin sentral sebuah negara, untuk saat ini begitu mengganggu para elit politik.

Lazimnya startup company yang berhasil mengiritasi hegemoni dan market share korporasi besar meninggalkan paling tidak 2 ciri spesifik, yakni durasi atau waktu yang dibutuhkan untuk tumbuh berkembang dan dipandang sebagai pemain yang kompeten dengan cepat dan kemampuannya ‘berenang’ di digitalisasi pasar. Jokowi-pun tak terlepas dari ciri ini,  ia praktis dapat dikatakan bak roket yang melesat jika menilik karir politiknya dan kemampuannya menjadi media darling bagi pemburu berita.

Jadi cukup wajar kiranya jika dianalogikan Jokowi adalah startup ‘ojek ber-helm hijau’ yang telah menggoyang digjayanya perusahaan transportasi besar. Dan seperti awalnya startup ojek ber-helm hijau ini di demo berkali-kali karena menggangu kinerja perusahaan transportasi yang telah mapan, Jokowi-pun tak lepas didemo berjilid-jilid oleh kelompok yang merasa terganggu dengan kehadirannya karena dianggap merusak tatanan politik usang (baca: budaya korupsi, birokrasi yang selow dan tidak peka terhadap perubahan, … silahkan isi sendiri) yang masih coba dipertahankan.

Masih ingat bagaimana tindak-tanduk Jokowi sepanjang kiprahnya menjadi presiden? Ia dengan begitu luwes berinteraksi dengan masyarakat dimanapun ia berada yang membuat paspampres perlu melakukan penyesuaian protap pengamanan, Ia tanpa khawatir melakukan perampingan proses perijinan usaha yang dulu butuh waktu lama sampai berbulan bulan menjadi kurang dari seminggu, merubah mindset birokrat dari dilayani menjadi melayani, merubah citra birokrasi yang rigid dan kaku menjadi lebih luwes dan fleksibel, dan sebentuk gangguan lainnya yang merusak konstelasi yang telah ada sebelumnya dalam wajah birokrasi dan pemimpin nasional. Inilah bentuk disrupsi nyata yang terjadi dan membuat para elit, khususnya yang berlawanan paham politik dengannya begitu merasa terancam.

Dan peluang Jokowi untuk terus mengganggu kemapanan para elit politik kemungkinan besar akan berlanjut ke periode berikutnya di pilpres tahun ini. Jika benar ini terjadi, maka pantaslah Jokowi disebut sebagai ‘unicorn’ atau mungkin ‘decacorn’ politik nasional.

Nah sebagai penutup, bagi Anda yang masih merasa terganggu dengan kepemimpinan Jokowi, siap-siaplah untuk ter-disrupsi untuk kedua kalinya! 

Penulis: Faisal Raoef, Pengamat Kepemimpinan dan Perubahan Sosial, Tinggal di Jakarta (***)






  • Jokowi Vs Prabowo, Otentik ataukah Pencitraan? Jokowi Vs Prabowo, Otentik ataukah Pencitraan? Beberapa linimasa di medsos dan komentar di portal berita online tentang presiden kita, Joko Widodo (Jokowi) yang pulang berdesak-desakan dalam KRL ke Bogor beberapa waktu lalu, cukup merangsang keingintahuan saya.