merdekanews.co
Rabu, 04 Juli 2018 - 00:39 WIB

Peraturan KPU Yang Menabrak UUD 1945, Menkum HAM: KPU Tidak Bisa Mengundangkan

Ira Safitri - merdekanews.co
Menteri Hukum dan HAM Yosanna Laoly

Jakarta, MERDEKANEWS - Gonjang-ganjing soal larangan mantan napi koruptor terus bergulir. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dituduh menabrak UUD 1945.

Menteri Hukum dan HAM Yosanna Laoly menyesalkan langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang langsung menabrak undang-undang. Padahal mestinya mentaati azas perundang-undangan sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 12 tahun 2011.

“DPR kan dulu tidak setuju dengan mantan nara pidana korupsi dilarang menjadi calon legislatif (caleg), karena aturannya dinilai menabrak undang-undang. Fraksi-fraksi juga banyak yang tidak setuju terhadap napi narkoba, koruptor, pelecehan anak, teroris, ini kan tidak setuju,” jelas Yosanna di Jakarta, Selasa (3/7).

Yang jelas, kata Yasonna, semua sudah sepakat supaya jangan ada caleg yang mantan narapidana itu mencalonkan. “Intinya kan semua sudah sepakat tinggal sekarang caranya bagaimana,” katanya.

Menurut Yosanna, ada beberapa yang mengusulkan partai politik membuat fakta integritas. Kemudian usulan lain dengan mengumumkan seseorang di daftar pencalegkannya. Laoly juga menegaskan bahwa KPU tidak punya hak untuk mengundangkan, kendati sebagai lembaga independen.

“KPU tidak bisa mengundangkan, (walau lembaga independen) mana ada yang independen terhadap undang-undang?” pungkasnya.

Baca Juga: Nasib Caleg Koruptor dan Aturan KPU Yang Dinilai Menabrak UU

Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin, menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) menempuh cara yang salah untuk melarang mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri pada Pemilu 2019. KPU memilih memuat aturan tersebut dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 20 Tahun 2018.

"Saya menolak KPU hanya pada soal caranya. Cara membatasi hak dipilih melalui PKPU dan bukan melalui undang-undang itulah yang saya tidak setuju karena bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945," kata Said dalam keterangan tertulisnya, Selasa (3/7).

Dia mengatakan, tidak seharusnya KPU melarang dengan menggunakan PKPU. Menurutnya, UUD 1945 adalah peraturan perundang-undangan yang ada di dalam sistem hukum yang ditempatkan pada jenjang yang tertinggi di RI.

Selain itu, ia mengatakan, ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa hak asasi manusia boleh dibatasi, tetapi dengan syarat. Syarat itu, yakni hanya boleh dilakukan melalui undang-undang.

"Undang-undang itu produk legislasi. Pembentuknya lembaga legislator, yaitu DPR sebagai legislator dan presiden sebagai co-legislator,” kata dia.

Dengan demikian, ia mengatakan, hanya kepada kedua lembaga itulah UUD 1945 memberikan kewenangan untuk membatasi hak asasi manusia tersebut. “Termasuk hak untuk dipilih dalam Pemilu,” kata dia.

Karena itu, ia mengatakan, pembatasan yang dilakukan oleh lembaga Penyelenggara Pemilu melalui PKPU jelas tidak berdasarkan atas hukum karena bertentangan dengan UUD 1945. KPU, ia melanjutkan, adalah lembaga regulator yang produk peraturannya disebut dengan regulasi.

Ia menambahkan KPU bukan lembaga regulator yang berwenang membentuk produk legislasi atau undang-undang. "Jadi saya menolak pembatasan hak dipilih yang dilakukan KPU bukan karena maksud KPU tidak baik. Masyarakat tentu harus diberitahu tentang latar belakang caleg yang pernah menjadi koruptor dan pelaku kejahatan luar biasa lainnya.” (Ira Safitri)