
Jakarta, MERDEKANEWS -- Wakil Menteri Sosial (Wamensos) RI, Agus Jabo Priyono, buka suara soal perbedaan standar kemiskinan yang diterapkan pemerintah di Indonesia. Ia menilai, standar kemiskinan itu berbeda dengan Bank Dunia, karena harga kebutuhan pokok dengan Eropa pun berbeda.
Menurut Agus, Indonesia menetapkan kemiskinan ekstrem berdasarkan pengeluaran individu per bulan. Terdapat perbedaan pengeluaran antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat di luar negeri.
"Standar orang miskin atau tidak miskin yang dipakai World Bank berbeda dengan BPS. BPS itu miskin ekstrem yang pengeluarannya sebesar Rp 400 ribu per bulan, sedangkan kategori miskin umum di angka Rp 600 ribu," kata Agus di Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), Kamis lalu.
"Kenapa kemudian angkanya berbeda? Karena pengeluaran per hari per individu di negara barat berbeda. Saya juga baru tahu," lanjutnya.
Agus mengatakan, standar kemiskinan yang digunakan pemerintah mengacu pada kondisi riil di lapangan, termasuk daya beli masyarakat dan harga kebutuhan pokok di Indonesia.
"World Bank kan standarnya 2,1 sekian dolar, karena standar yang dipakai World Bank dengan sini berbeda. Kita belanja di sini tidak semahal dengan yang dibelanjakan di tempat lain," ujarnya.
Perbedaan ini, menurutnya, penting dipahami agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi dalam membaca data dan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Agus menambahkan, data yang digunakan Kemensos saat ini sedang bertransisi dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ke Data Terpadu Citra Lestari (DTCL). Klasifikasi masyarakat dilakukan berdasarkan desil atau kelompok pengeluaran, dari desil 1 yang paling miskin hingga desil 10 yang paling kaya.
"Kalau presiden bicara tentang negara yang maju itu pendapatan per harinya per individu 8 dolar. Mudah-mudahan kita dengan program yang disusun Presiden mulai dari hilirisasi sampai sekolah rakyat secepatnya kita bisa up, supaya masyarakat mendapat pendapatan yang tinggi, bisa mandiri," tuturnya.
Sebelumnya World Bank mengungkap, lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan pada 2024. Data tersebut berbeda jauh dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, perbedaan angka itu tidak saling bertentangan meski terlihat berbeda cukup besar. Perbedaan disebut muncul karena adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan untuk tujuan yang berbeda.
"Perbedaan angka ini memang terlihat cukup besar, namun penting untuk dipahami secara bijak bahwa keduanya tidak saling bertentangan. Perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda," ujar Amalia dalam keterangan tertulis, Jumat (02/05).
-
Bank Dunia: 60,3 Persen Masyarakat Indonesia Merupakan Penduduk Miskin sebanyak 60,3% atau sekitar 171,91 juta penduduk Indonesia dari jumlah penduduk pada 2024 sebesar 285,1 juta jiwa, masuk dalam kategori miskin
-
Jadi Ancaman Serius Ekonomi, Jokowi Sebut Biang Kerok 9,48 Juta Kelas Menengah Turun Kasta jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia terus mengalami penurunan sejak lima tahun terakhir
-
Lampaui Capaian Ekonomi Global, Bank Dunia Apresiasi Kinerja Perekonomian Indonesia World Bank juga mengapresiasi program-program yang dilakukan oleh Pemerintah antara lain pengurangan kemiskinan dan juga program-program yang terkait dengan infrastruktur untuk pertanian termasuk dengan irigasi
-
Percepat Elektrifikasi dan Pengembangan EBT, PLN Raih Pendanaan World Bank USD581,5 Juta World Bank siap mendukung komitmen Pemerintah Indonesia untuk mencapai 100 persen elektrifikasi. Tingkat elektrifikasi rumah tangga yang lebih besar, khususnya di Kepulauan Bagian Timur, akan memberikan peluang ekonomi tambahan, terutama bagi perempuan