Jakarta, MERDEKANEWS --- Film bisa dikembangkan menjadi alat diplomasi pemerintah kepada dunia internasional. Sayangnya, pemerintah Indonesia belum mengoptimalkan industri film nasional, sehingga film belum mampu membantu diplomasi pemerintah, apalagi sebagai alat propaganda.
“Di Amerika Serikat, pemerintahnya bisa berdiplomasi lewat film. Dengan film, Pemerintah Amerika menunjukkan kekuatan alutsistanya. Mereka menunjukkan independensi perempuan juga lewat film. Film selain sebagai alat diplomasi juga alat propaganda. Tapi, itu tidak terjadi di Indonesia.” Demikian dikemukakan Anggota Komisi X DPR RI Venna Melinda kepada parlementaria di ruang kerjanya, komplek parlemen, Senayan, Selasa (10/4/2018).
Dikatakan Venna, saat ini APBN belum menganggarkan secara khusus industri film nasional. Di sinilah perhatian pemerintah tak maksimal. Ini bisa terlihat dari Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang diamanatkan UU No.33/2009 tentang Perfilaman untuk mengurus industri film nasional tak mendapat anggaran dari APBN. Jadi, tak banyak yang bisa diperbuat. “BPI diamanatkan untuk mengurusi film Indonesia. Tapi tak mendapat dana apa pun dari APBN. Ini jadi masalah,” imbuhnya.
Sebetulnya, sambung politisi dari dapil Jatim VI ini, ada banyak badan yang bersentuhan dengan industri film nasional. Selain BPI, ada Pusbang Film Kemendikbud, dan Bekraf. Ketiganya harus bersinergi membangun industri film nasional yang berkualitas penuh nilai edukasi dan menghibur penontonnya. Dan sampai saat ini belum ada badan yang mengukur kualitas film Indonesia. Para investor mengukur kualitas film dari banyaknya penonton. Padahal, bukan itu ukurannya.
Anggota F-PD DPR ini berharap, pemerintah memberi dukungan infrastruktur industri film agar film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Infrastruktur film yang dimaksud adalah membangun sekolah dan perguruan tinggi dengan program studi perfilman. Dengan begitu, kelak akan lahir banyak SDM film yang profesional sekaligus mampu membendung infiltrasi asing lewat film.
Persaingan industri film, sambung Venna, begitu ketat sejak dibukanya daftar negatif investasi (DNI) oleh pemerintah. Film nasional head to head menghadapi serbuan film impor dari Hollywood maupun Bollywood. Walau ada regulasi yang mengatur peredaran film, yaitu film nasional 60 persen dan film impor 40 persen, tetap saja film nasional kalah bersaing. Masih banyak isu yang harus dibenahi dari industri film nasional. Komisi X sudah membentuk Panja Perfilman yang isi rekomendasinya merevisi UU lama perfilman.
“Film nasional harus seperti di Korea Selatan. Di sana BPI-nya berfungsi dan didukung oleh negara. Pajak film yang selama ini dikutip juga harus kembali ke industri film. Ini memang harus diatur. Banyak sekali menurut saya uraian perfilaman di RUU Perfilman. Nanti UU Perfilman yang baru harus punya PP atau Permen. Jangan mengulang tahun 2009 yang tidak ada PP dan Permennya. Akhirnya, film nasional tidak ada yang mengurus,” tutup Venna.
(Kinanti Senja)
-
Komisi X DPR RI Dorong RUU tentang Bahasa Daerah Dapat Dituntaskan pada Masa Pemerintahan Berikutnya RUU tersebut sebagai komitmen nyata dalam pelindungan dan pengembangan bahasa daerah yang sejalan dengan upaya penyediaan guru bahasa daerah yang kompeten
-
Ditjen Hubdat - Komisi V DPR RI Tinjau Terminal Tipe A Purboyo Madiun Terminal Tipe A Purboyo nantinya akan dikembangkan lagi dengan melakukan pemisahan jalur ke barat (Jakarta) dan ke Timur (Surabaya), mengingat potensi pergerakan di Madiun ini sangat banyak
-
Sambangi SPKT Polda Jambi, Komisi III DPR RI: Layak Jadi Role Model Gedung baru ini luar biasa. Dihadirkan untuk pelayanan masyarakat. Sudah mendapat apresiasi juga dari Kompolnas. Baru satu-satunya yang ada di tanah air. Bisa menjadi role model (panutan) untuk polda lainnya
-
Komisi II DPR RI dan Pemerintah Sepakati RUU Perubahan UU IKN Dibawa ke Rapat Paripurna Ibu kota Nusantara dibangun sebagai bagian dari upaya dalam mencapai target visi Indonesia 2045, yaitu Indonesia sebagai negara Nusantara yang berdaulat, maju dan berkelanjutan
-
DPR: OKI Harus Bersatu Melawan Kebrutalan Donald Trump Anggota Komisi III DPR RI Jazilul Fawaid mengecam tindakan brutal Presiden AS Donald Trump dan sekutunya, karena telah membabi-buta mengembom Suriah atau Ash-Sham.