merdekanews.co
Selasa, 10 April 2018 - 16:08 WIB

Venna Melinda: Film Bisa Jadi Alat Diplomasi

Kinanti Senja - merdekanews.co
Anggota Komisi X DPR RI, Venna Melinda (F-PD)

Jakarta, MERDEKANEWS --- Film bisa dikembangkan menjadi alat diplomasi pemerintah kepada dunia internasional. Sayangnya, pemerintah Indonesia belum mengoptimalkan industri film nasional, sehingga film belum mampu membantu diplomasi pemerintah, apalagi sebagai alat propaganda.

“Di Amerika Serikat, pemerintahnya bisa berdiplomasi lewat film. Dengan film, Pemerintah Amerika menunjukkan kekuatan alutsistanya. Mereka menunjukkan independensi perempuan juga lewat film. Film selain sebagai alat diplomasi juga alat propaganda. Tapi, itu tidak terjadi di Indonesia.” Demikian dikemukakan Anggota Komisi X DPR RI Venna Melinda kepada parlementaria di ruang kerjanya, komplek parlemen, Senayan, Selasa (10/4/2018). 

Dikatakan Venna, saat ini APBN belum menganggarkan secara khusus industri film nasional. Di sinilah perhatian pemerintah tak maksimal. Ini bisa terlihat dari Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang diamanatkan UU No.33/2009 tentang Perfilaman untuk mengurus industri film nasional tak mendapat anggaran dari APBN. Jadi, tak banyak yang bisa diperbuat. “BPI diamanatkan untuk mengurusi film Indonesia. Tapi tak mendapat dana apa pun dari APBN. Ini jadi masalah,” imbuhnya.

Sebetulnya, sambung politisi dari dapil Jatim VI ini, ada banyak badan yang bersentuhan dengan industri film nasional. Selain BPI, ada Pusbang Film Kemendikbud, dan Bekraf. Ketiganya harus bersinergi membangun industri film nasional yang berkualitas penuh nilai edukasi dan menghibur penontonnya. Dan sampai saat ini belum ada badan yang mengukur kualitas film Indonesia. Para investor mengukur kualitas film dari banyaknya penonton. Padahal, bukan itu ukurannya.

Anggota F-PD DPR ini berharap, pemerintah memberi dukungan infrastruktur industri film agar film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Infrastruktur film yang dimaksud adalah membangun sekolah dan perguruan tinggi dengan program studi perfilman. Dengan begitu, kelak akan lahir banyak SDM film yang profesional sekaligus mampu membendung infiltrasi asing lewat film.

Persaingan industri film, sambung Venna, begitu ketat sejak dibukanya daftar negatif investasi (DNI) oleh pemerintah. Film nasional head to head menghadapi serbuan film impor dari Hollywood maupun Bollywood. Walau ada regulasi yang mengatur peredaran film, yaitu film nasional 60 persen dan film impor 40 persen, tetap saja film nasional kalah bersaing. Masih banyak isu yang harus dibenahi dari industri film nasional. Komisi X sudah membentuk Panja Perfilman yang isi rekomendasinya merevisi UU lama perfilman.

“Film nasional harus seperti di Korea Selatan. Di sana BPI-nya berfungsi dan didukung oleh negara. Pajak film yang selama ini dikutip juga harus kembali ke industri film. Ini memang harus diatur. Banyak sekali menurut saya uraian perfilaman di RUU Perfilman. Nanti UU Perfilman yang baru harus punya PP atau Permen. Jangan mengulang tahun 2009 yang tidak ada PP dan Permennya. Akhirnya, film nasional tidak ada yang mengurus,” tutup Venna. 
  (Kinanti Senja)