merdekanews.co
Sabtu, 24 Maret 2018 - 21:45 WIB

Masuk Pidana Umum dan Pidana Informatika dan Transaksi Elektronik 

Pendapat Bagir Manan Terkait Kasus Berita Bohong Indonesia Tatler 

Desy R - merdekanews.co
Mantan Ketua Dewan Pers Prof Bagir Manan

Jakarta, MERDEKANEWS -- Kasus penyebaran berita bohong pada majalah Indonesia Tatler versi vetak dan online terus menggelinding. Prof Bagir Manan menilai kasus tersebut dalam Pidana Umum dan Pidana ITE.

Bagir Manan yang juga mantan Ketua Dewan Pers itu menegaskan perusahaan yang menerbitkan media massa harus badan hukum yang bergerak dalam bidang pers. Karenanya, perusahaan atau badan hukum yang bersifat umum dan tidak memiliki izin penerbitan pers, tidak boleh menerbitkan media massa. 

''Kalau bebas, nanti perusahaan taksi boleh menerbitkan media massa,” ujar Bagir Manan,  Jumat (23/3) di Jakarta.  

Bagir menjelaskan, media massa hanya boleh diterbitkan oleh badan hukum yang bergerak dalam penerbitan pers. Perusahaan yang bukan pers namun menerbitkan media massa, dapat dipidana menggunakan undang-undang pidana umum dan pidana khusus. Atau jika penyebarannya melalui sarana online, dapat diproses berdasarkan Undang-undang Informatika dan Transaksi Elektronik ITE. 

''Jadi tidak perlu menggunakan UU Pers. Pelanggaran semacam itu bukan pelanggaran etik, tapi jelas merupakan pidana. Bisa pidana umum atau pidana ITE,” kata Bagir yang juga mantan Ketua Mahkamah Agung itu.

Anggota Pokja Hukum Dewan Pers, Chelsea

Terpisah, anggota Pokja Hukum Dewan Pers, Chelsea mengatakan, semua pengelola perusahaan yang menerbitkan media dan pengelola media, dapat diproses secara hukum jika melakukan penyebaran berita bohong atau berita yang tidak akurat. Polisi berhak melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap siapa pun yang menyebarkan berita yang tidak akurat atau berita bohong. 

''Dengan begitu siapa pun yang menyebarluaskannya, dengan metoda apa pun dan tujuan apa pun,” kata Chelsea kepada wartawan.

Kedua pendapat dari tokoh pers itu secara khusus menyinggung kasus pengaduan tentang penyebaran berita yangg tidak akurat atau bohong yang dilakukan Majalah Indonesia Tatler. Kasusnya sejak Oktober 2017 ditangani oleh pihak Polda Metro Jaya. Kebetulan majalah itu diterbitkan oleh PT Mobiliari Stephindo, yang tidak memiliki izin penerbitan pers.

Kasus bermula ketika,  Oktober 2017 Ello Hardiyanto (63), warga Jalan Guntur di Jakarta Selatan, mengadu kepada Polda Metro Jaya melalui laporan Polisi Nomor: TBL/5030/X/2017/PMJ. Ello menilai majalah tersebut bulan Mei 2017 menyebarkan berita bohong aatau berita yang tidak akurat sehingga merugikan dirinya.  

Dalam laporannya Ello menyebut, Majalah Indonesia Tatler versi cetak Edisi Maret 2017 dan versi online Edisi Maret 2017, menyiarkan sebuah foto yang berisi gambar perkawinan Adams Selamat Adi Kuasa Hardiyanto dan Clarissa Puteri Wardhana. Resepsi perkawinan tersebut berlangsung 15 Januari 2017 di Hotel Mulia, Jakarta Pusat.

Foto itu disertai teks atau keterangan dalam Bahasa Inggeris The bride and groom along with their parents yang pada pokoknya berarti ''Kedua mempelai bersama kedua orangtuanya masing-masing.'' Isi foto dalam Majalah Indonesia Tatler itu berisi gambar enam orang. Di bagian tengah tampak berdiri Adams Selamat Adi Kuasa Hardiyanto dan Clarissa (mempelai), di bagian paling kiri adalah Yansen Dicky Suseno dan Inge Rubiati Wardhana (orangtua Clarissa), dan yang paling kanan adalah dua sosok yang digambarkan majalah itu sebagai sebagai orangtua Adams.

Indonesia Tatler Menyesatkan 

Dr.Ir. Albert Kuhon MS SH, kuasa hukum Ello Hardiyanto menjelaskan, teks foto Indonesia Tatler tersebut jelas sangat tidak akurat dan mengandung kebohongan yang menyesatkan. Soalnya, orangtua Adams yang sebenarnya, Ello Hardiyanto dan Gina Kalalo, tidak hadir dalam resepsi itu. 

''Nyatanya, Managing Editor Indonesia Tatler sendiri sudah mengakui kesalahan mereka kepada Ello dan menjanjikan ralat. Ada bukti tertulisnya lho,” kata Dr Ir Albert Kuhon MS SH, advokat yang mendampingi Ello Hardiyanto.

Dr.Ir. Albert Kuhon MS SH, kuasa hukum Ello Hardiyanto

Begitu pula dengan Dewan Pers.  Dalam sidangnya pada bulan Oktober 2017, Dewan Pers  menyatakan Majalah Indonesia Tatler terbukti melakukan pelanggaran melalui pemberitaan edisi Maret 2017 itu. Dewan Pers menemukan bahwa PT Mobiliari Stephindo, perusahaan yang menerbitkan majalah itu, tidak memiliki izin sebagai perusahaan media. 

Ironisnya, Majalah Indonesia Tatler, sampai pertengahan Maret 2018 belum memenuhi hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pers No 09/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab, Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik dan Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Padahal, sejak awal Mei 2017 Managing Editor majalah itu sudah mengakui kesalahan pihaknya dalam memberitakan. Oktober 2017, pihak majalah itu hanya menyelipkan sepotong informasi yang menyatakan bahwa Ello Hardiyanto adalah orangtua biologis Adams. 

''Redaksi Indonesia Tatler sama sekali tidak minta maaf kepada para pembaca maupun kepada Ello Hardiyanto. Dan pemuatan hak jawab serta koreksi itu sama sekali tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangan yang berlaku,” kata Kuhon.

Menyinggung kasus tersebut, Chelsea mengatakan, bila ada perusahaan yang tidak memenuhi permintaan hak jawab, padahal sudah menyebarkan berita yang tidak akurat atau berita bohong, maka pengelolaa perusahaan dan pengelola media itu dapat dipidana. ''Bisa kena pidana penjara dan pidana denda,” tegas Chelsea.

Bukan Perusahaan Pers

Sampai pertengahan Februari 2018, sejumlah pemimpin di lingkungan redaksi dan perusahaan penerbit Majalah Indonesia Tatler telah diperiksa penyidik. Dari pihak Redaksi Majalah Tatler dan PT Mobiliari Stephindo, penyidik antara lain sudah minta keterangan Maina Harjani (Redaktur Pelaksana), Paulina Nani (Pimpinan Produksi), dan Oktaviana Subarjo (Sekretaris Redaksi). Maina adalah pimpinan majalah yang awal Mei 2017 menjawab email Ello dan mengakui kesalahan pihak redasksi serta menjanjikan pemuatan hak jawab sebagaimana diminta Ello.

Selain menerbitkan Majalah Indonesia Tatler, PT Mobiliari Stephindo juga menerbitkan sejumlah majalah ekslusif lain. Di antaranya majalah bergengsi Forbes Indonesia. Penyidik Dit.Reskrimsus Polda Metro Senin (19/2) siang memeriksa Millie Stephanie, pemimpin Majalah Indonesia Tatler yang merangkap sebagasi pemilik saham PT Mobiliari Stephindo, perusahaan yang menerbitkan majalah itu. Diperoleh informasi, pemeriksaan Millie hanya berlangsung sepintas, jauh lebih singkat dibandingkan dengan pemeriksaan terhadap anggota redaksi lainnya.

Teks pada foto (kiri atas) yang dipersoalkan Ello Hardiyanto.

Kuhon menduga ada ‘sesuatu’ yang menyebabkan Millie Stephanie, pemilik saham dan pimpinan PT Mobiliari Stephindo yang juga merupakan pimpinan tertinggi di lingkungan redaksi Majalah Indonesia Tatler, hanya diperiksa sekadarnya pertengahan Februari lalu di Subdit Cyber Reskrimsus Polda Metro Jaya. “Kita lihat sajalah. Masak hukum dan kebenaran bisa dikalahkan,” ujarnya.

Adams yang menjadi mempelai, pertengahan Maret 2018, juga diperiksa polisi. Sebelumnya, dalam pemeriksaan Dewan Pers, Sekretaris Redaksi Oktaviana Subarjo mengajukan bukti bahwa Adams pernah mengirim email minta pihak Majalah Indonesia Tatler tidak mengabulkan hak jawab yang diajukan Ello. 

Kemudian, Dewan Pers Oktober 2017 menetapkan bahwa redaksi Majalah Indonesia Tatler terbukti melakukan pelanggaran. Selain itu, Dewan Pers juga menemukan bahwa PT Mobiliari Stephindo tidak memiliki izin sebagai perusahaan penerbitan pers. Karenanya, Dewan Pers merekomendasikan agar Ello memroses kasus tersebut melalui jalur hukum. 

“Dewan Pers menemukan bidang usaha PT Mobiliari Stephindo antara lain travel dan perdagangan. Sama sekali bukan izin penerbitan media massa,” tutur Kuhon.

Berkaca pada kasus tersebut, Bagir Manan dan Chelsea menegaskan bahwa perusahaan yang memang menyatakan kegiatannya adalah penerbitan media, diancam pidana denda Rp 500 juta jika tidak melayani hak jawab. Dalam akta pendirian harus disebutkan kegiatannya sebagai perusahaan pers.

Bagi yang dalam pasal 3 akta pendiriannya tidak menyebutkan kegiatan usaha sebagai penerbitan pers, maka penyebaran berita yang tidak akurat dapat diproses menggunakan peraturan hukum pidana umum atau pidana khusus seperti UU ITE. 

“Kalau perusahaan media, pelanggarannya merupakan pelanggaran etik. Tapi kalau bukan perusahaan pers, yaaa pakai hukum pidana umum atau Undang-undang ITE saja,” pungkas Bagir. (Desy R)






  • Dewan Pers: Pemda Dilarang Beri THR kepada Wartawan   Dewan Pers: Pemda Dilarang Beri THR kepada Wartawan   Dewan Pers dalam waktu dekat ini akan membuat surat edaran untuk seluruh pemerintah daerah (pemda), surat tersebut berisi larangan memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada wartawan atau organisasi pers atau wartawan.