merdekanews.co
Kamis, 12 Mei 2022 - 20:50 WIB

Jaga Wibawa Peradilan PKPU, Kuhon Laporkan Hakim dan Panitera ke Komisi Yudisial

Hadi Siswo - merdekanews.co
Ilustrasi

Jakarta, MERDEKANEWS - Advokat Dr. Ir. Albert Kuhon MS SH dan Guntur Manumpak Pangaribuan SH menegaskan, pengaduan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku yang dilakukan hakim dan panitera pengganti ke Komisi Yudisial adalah tindakan yang terpaksa dilakukan. 

Sebelumnya, keberatan sudah berkali-kali disampaikan secara tertulis maupun secara lisan dalam sidang. Tetapi tidak mempan.
Seakan-akan persidangan perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau kepailitan justru memungkinkan debitor atau orang yang berutang bisa seenaknya lolos dari kewajiban membayar utang. 

“Banyak putusan perkara PKPU dan Kepailitan yang justru memungkinkan pihak yang mengemplang uang orang, memperoloeh sejenis sertifikat halal buat tidak bayar utangnya,” kata Kuhon dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (12/5). 

Berkedok Investasi

Kedua advokat mengadukan Hakim Pengawas PKPU Mochammad Djoenaidie SH MH karena dinilai memasukkan kreditor ‘pendukung’ PT Asa Inti Utama ke dalam daftar tagihan kreditor. Padahal, Kuhon dan Pangaribuan selaku kuasa hukum dari sejumlah kreditor, sudah berkali-kali menolak dicantumkannya PT Wahana Bersama Nusantara sebagai kreditor.

Mereka juga mengadukan majelis hakim serta panitera pengganti yang menangani PT Asa Inti Utama pada Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

Gugatan perkara PKPU itu diajukan oleh Yuliana dan Anna Fransiska. Kedua perempuan itu berinvestasi di PT Asa Inti Utama senilai Rp 2 miliar, dengan iming-iming bunga investasi yang cukup tinggi. 

Kenyataannya, setelah berinvestasi beberapa bulan, bunga tidak dibayar dan investasinya amblas. Setelah berkali-kali menagih dan gagal, akhirnya kedua korban dengan didampingi Advokat Dr. Ir. Albert Kuhon MS SH dan Guntur Manumpak Pangaribuan SH mengajukan gugatan PKPU.

Dukungan Suara

Salah satu hal yang ditentang Kuhon dan Pangaribuan adalah akal-akalan PT Asa Inti Utama selaku debitor, memasukkan sejumlah kreditor guna menjadi pendukungnya. Dukungan itu diperlukan dalam pemungutan suara pada penentuan naskah perdamaian dan beberapa kesempatan yang memungkinkan lolosnya kewajiban pembayaran utang.

Kuhon sangat keras menolak PT Wahana Bersama Nusantara didaftarkan sebagai kreditor PT AIU. Katrena perusahaan itu mengajukan tagihan setelah tenggat atau batas waktu pendaftaran tagihan pajak dan kreditor (Kamis 17 Februari 2022, pukul 17.00 WIB) terlampaui. 

Kuhon dan Pangaribuan sudah berkali-kali menegaskan keberatan dan penolakannya dalam berbagai rapat dan pertemuan dengan Tim Pengurus PKPU PT Asa Inti Utama, yang juga dihadiri oleh Hakim Pengawas Mochammad Djoenaidie. “Saya tidak peduli nilai utangnya, yang jelas pengajuannya sudah tidak sah,” Kuhon berargumen.

Soal tenggat waktu tersebut sudah diumumkan melalui iklan di Harian Rakyat Merdeka dan Radar Bogor tanggal 31 Desember 2021. Kenyataannya Hakim Pengawas malah menyetujui dan menerima PT WBN sebagai kreditor, serta mencatatnya dalam daftar tagihan tetap. 

“Kehadiran WBN sebagai kreditor, membuat PT AIU selaku debitor punya tambahan dukungan suara,” ujar Kuhon. “Hal itu muloai terukti ketika Hakim Pengawas membuka peluang pemungutan suara buat perpanjangan PKPU sesuai yang diminta debitor.”

Hadirin atau Nilai

Menurut Kuhon, akibat dicatatnya PT WBN sebagai kreditor, maka majelis hakim menilai perpanjangan waktu PKPU yang diminta oleh debitor didukung 5.488 suara (setara utang sebanyak Rp 54,886 milyar) sedang yang menolak cuma 1,419 suara (setara utang Rp14,19 miliar). 

“Padahal yang menolak berjumlah sembilan kreditor, yang mendukung juga sembilan kreditor. Tapi majelis hakim menghitung dari nilai utang hyang dikonversikan menjadi nilai suara,” kata Kuhon.

Pasal 229 ayat (1a) UU No 37 tentang Kepailitan dan PKPU menegaskan bahwa perpanjangan masa PKPU seharusnya hanya bisa diberikan jika mendapat persetujuan lebih dari separuh jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling tidak 2/3 dari seluruh tagihan. “Kan berbeda jika ditafsirkan sebagai jumlah kreditor yang hadir dengan ditafsirkan sebagai jumlah suara yang diwakili,” ujar Kuhon pula.

Kiat buat menghadirkan dukungan suara terhadap debitor, sangat terlihat jelas. Baik dengan akal-akalan maupun dengan penerapan kewenangan atau kekuasaan. “Akibatnya, yang kita anggapan kejanggalan malah dinyatakan sebagai suatu kewajaran. Dengan cara-cara begitulah para pengutang atau pengemplang uang orang bisa lolos dari kewajibannya membayar utang,” Kuhon menjelaskan.

Kejanggalan

Mestinya Hakim Pengawas PKPU PT AIU dengan mudah bisa melihat banyak kejanggalan dalam pengakuan utang-piutang antara PT WBN dengan PT AIU. Transaksi utang PT Asa Inti Utama (AIU) kepada PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) yang nilainya Rp 50 milyar hanya didasarkan pada dua-tiga lembar perjanjian bawah tangan. Ada transfer sebelum perioda perjanjian, yang diperhitungkan njuga sebagai utang. “Pokoknya banyak yang aneh!” kata Albert Kuhon.

Pangaribuan dan Kuhon menilai, jika hal seperti ini dibiarkan maka PKPU bukan lagi suatu proses penyelesaian utang yang sederhana dan cepat. “Tapi jadi proses debitor meloloskan diri secara ‘dilegalkan’ sehingga para kreditor jadi korban.” ujar Guntur Pangaribuan. 

Advokat Dr. Ir. Albert Kuhon MS SH dan Guntur Manumpak Pangaribuan SH juga mengadukan H. Dariyanto SH MH, Bambang Sucipto SH MH, dan Heru Hanindyo, SH MH LLM selaku majelis yang mengadili perkara Nomor: 485/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. Selain itu, Tambat Akbar SH MH yang menjadi panitera pengganti dalam perkara itu, juga diadukan karena dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku. “Supaya wibawa peradilan Kepailitan dan PKPU bisa terjaga,” kata Guntur Pangaribuan SH. (Hadi Siswo)






  • Kasus Indonesia Tatler Macet di Polda Metro Kasus Indonesia Tatler Macet di Polda Metro Advokat Dr Ir Albert Kuhon MS SH menyayangkan pernyataan Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Adi Deriyan, yang menilai kasus penyebaran berita bohong yang melibatkan Majalah Indonesia Tatler sebagai masalah keluarga.