merdekanews.co
Sabtu, 10 Februari 2018 - 05:20 WIB

Wall Street Effect Jungkalkan Pasar Saham Sejumlah Negara

Setyaki Purnomo - merdekanews.co

Beijing, MERDEKANEWS - Sejumlah pasar utama saham di dunia, kini dilanda aksi jual yang cukup tajam sejak Jumat (9/2/2018). Didorong penjualan besar-besaran di Wall Street.

Nikkei Jepang mengalami keterpurakan hingga 2,3%. Berdampak kepada kerugian mingguannya sebesar 8,1%. Kini, Nikkei berada di tingkat belum terlihat sejak pertengahan Oktober. Sebelumnya, pada Selasa (6/2/2018), saham-saham Jepang mengalami kerugian paling parah. Di mana, Nikkei tersungkur hingga 4,7%.

Pasar saham Hong Kong pada Jumat (9/2/2018), sami mawon. terjadi penurunan di atas 3%. Menempatkannya di jalur untuk menghapus keuntungan 2018. Pada Kamis (8/2/2018), Dow Jones dan S&P 500, mencatat penurunan hingga 10% dari posisi tertinggi mereka pada penutupan. Selanjutnya, memasuki wilayah koreksi, menurut definisi tradisional Wall Street.

Indeks Dow ditutup jatuh sebesar 4,1% pada Kamis (8/2/2018). Atau turun lebih dari 1.000 poin, terjadi dua kali dalam sepekan ini. Indeks-indeks utama di Eropa juga turun tajam pada Kamis (8/2/2018). Misalnya, FTSE-100 Inggris rontok 1,5%; DAX-30 Jerman kehilangan 2,6%; sementara CAC-40 Prancis turun 2,0%. Pasar saham Eropa melanjutkan penurunan pada perdagangan Jumat.

Lalu apa pemicu longsornya sejumlah pasar saham dunia? Konon kabarnya, penurunan tersebut mengikuti hari yang mengerikan bagi para investor di Amerika Serikat (AS) pada Senin (5/2/2018).

Di mana, Dow Jones merosot 1.175 poin, atau setara 4,6%. Sejumlah saham saham unggulan alias bluechips mengalami kemerosotan dalam nilai yang signifikan. bahkan disebut-sebut yang terbesar dalam satu hari.

Memburuknya Wall Street, segera  menjalar ke seluruh dunia, karena AS adalah ekonomi terbesar di dunia dan merupakan rumah bagi pasar-pasar keuangan terbesar. Selain itu, dolar AS adalah mata uang referensi bagi investor di seluruh dunia.

Para analis mencoba untuk mencari tahu apakah ini adalah koreksi jangka pendek untuk pasar yang telah mencapai rekor tertinggi. Atau pertanda pembalikan pasar. Bisa jadi, kekhawatiran yang melanda pelaku pasar mendorong aksi jual dalam jumlah besar.

Jumat pekan lalu (2/2/2018), Departemen Tenaga kerja AS merilis laporan pekerjaan yang positif. Memaparkan adanya kenaikan upah yang terlalu cepat, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan melonjaknya inflasi.

Kekhawatiran lainnya adalah ekonomi AS bisa over heating, sehingga memaksa bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) mempercepat kenaikan suku bunga.

Imbal hasil (yield) obligasi bertenor 10 tahun AS yang dijadikan acuan, melonjak ke level tertinggi dalam empat tahun. Yakni di angka 2,85%.

Kalau itu terjadi maka aksi jual di pasar saham menjadi tak bisa dihindari. Lantaran para pemilik modal akan mengalihkan duitnya untuk memborong obligasi itu.

Bruno Braizinha, analis suku bunga AS dan alokasi aset global di Societe Generale, mengatakan, aksi jual yang terjadi, menimbulkan sejumlah resiko. Yakni, sentimen risiko global didorong ekuitas AS, ekuitas AS didorong imbal hasil obligasi AS, dan imbal hasil obligasi mempengaruhi tingkat signifikan imbal hasil zona euro inti.

Apa yang terjadi saat ini, kata Bruno: "Seluruh dunia mencoba untuk menormalkan kebijakan, dan pasar berada dalam lingkaran umpan balik negatif di mana ia akan bereaksi dengan keras," katanya.

Bruno menambahkan: "Bank-bank sentral di dunia, harus memberi nuansa pesan sedikit-sedikit, dan kemudian kita akan menemukan beberapa konsolidasi."

Beberapa ahli berpandangan lebih optimistis. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan secara serius. Dasar-dasar ekonomi Amerika Serikat, Eropa Barat dan Tiongkok semua ada dan semua bagus. Pemangkasan pajak (Trump) tidak akan hilang," kata Peter Costa, Presiden Empire Executions. (Setyaki Purnomo)