
Dulu zaman pemerintahan Orde Baru, pemilu tidak seru. Belum keluar hasilnya, pemenangnya kita sudah tahu. Salah satu caranya, penguasa menguasai lembaga penyelenggara pemilu.
Namanya Lembaga Pemilihan Umum, disingkat LPU.
Para pejabat pemerintah dari kementerian dan lembaga ditugaskan di sana mengurus pemilu.
Ada orang dagri, depkeu, dephub, deplu dan bahkan dari institusi telik sandi.
Tentu saja tidak ada independensi.
Pemilu berintegritas jauh panggang dari api.
Fraud kerap kali terjadi. Lebih-lebih lagi aparat pemda, kecamatan, hingga desa diinstruksikan memenangi kekuatan politik jagoan pemerintah.
Bila tidak melaksanakan perintah, karier mereka bakal dibikin susah.
Alhasil 6 kali pemilu yang dinamai pesta demokrasi (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) pemenang pemilu partai itu-itu saja.
Akhirnya, akibat krisis ekonomi tahun 1998 rezim Orde Baru tumbang.
Reformasi datang.
Pemerintah reformasi dipimpin Presiden B.J. Habibie memimpin perbaikan sistem dan proses pemilu.
Pemilu harus "free and fair".
Pemilu harus jujur dan adil, tidak hanya sekedar LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
Pemilu harus demokratis.
Dan itu berhasil diwujudkan melalui keberhasilan pemilu 1999. Pemilu demokratis terbaik, setelah pemilu pertama Indonesia tahun 1955.
Bagaimana resepnya?
Salah satu adalah dengan mengubah LPU menjadi KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang diatur dalam UU Pemilu No 3 Tahun 1999.
Dari lembaga penyelenggara pemilu yang memihak kekuasaan diubah jadi lembaga yang independen, mandiri, dan non partisan.
Sikap KPU itu harus dijaga terus sejak sekarang ketika pansel menyeleksi komisioner, hingga mereka menjadi anggota KPU yang berwenang memutar roda pemilu.
Kekuasaan siapapun hendaknya tidak merusak independensi dan kemandirian KPU yang susah payah kita bangun di awal reformasi dulu.
Hanya dengan begitu, kita bisa membuat pemilu bermutu.
*) Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN, Anggota Tim Tujuh penyusun UU Bidang Politik, Mantan Kepala Biro Humas KPU pada Pemilu 1999
-
Pemimpin Rasa Boss Management By the Boss (MBB) atau pemimpin rasa boss yang berdasarkan pada prinsip "whatever the leader or boss says, just follow", lazim diterapkan dalam suatu organisasi yang ingin mengejar target dan kecepatan dalam mencapainya, lebih-lebih dalam keadaan "emergency", krisis, mendesak atau darurat seperti pada masa wabah pandemi dewasa ini.
-
Prof Djohermansyah: Publik Pertanyakan Pengangkatan 5 Penjabat Gubernur Yang Dinilai Tidak Transparan Pakar Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA mengatakan, bahwa publik mempertanyakan pengangkatan 5 penjabat gubernur yang dinilai tidak transparan.
-
Eloknya Demokrasi Demokrasi banyak disoal belakangan ini. Gara-gara ulah penguasa yang tak berbudi, tak pandai berterima kasih alias tak tahu diuntung.
-
Prof Djo: Tak Ada Peluang Ahok Mengisi Kekosongan Jabatan Gubernur DKI Jakarta Pakar Otonomi Daerah, Prof.Dr. Djohermansyah Djohan MA memberikan tiga pilihan dalam mengisi kekosongan jabatan Gubernur DKI Jakarta dan daerah lainnya.