merdekanews.co
Selasa, 16 November 2021 - 12:38 WIB

Pengamat: Tiga Kali Di-Prank, Moeldoko Lebih Baik Di-reshuffle

Atria Aji - merdekanews.co
KSP Moeldoko

Jakarta, MERDEKANEWS - Ditengah menghangatkannya isu reshuffle kabinet seiring pergantian Panglima TNI, Presiden Jokowi diminta untuk turut mengganti Moeldoko sebagai Kepala Staf Presiden. Moeldoko dinilai terlalu sering melakukan blunder yang merugikan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, ditengah upaya menyiapkan warisan (legacy) kepemimpinan menjelang pergantian tahun 2024 nanti.

Pengamat politik dari UNPAD Firman Manan mengingatkan bahwa keputusan Mahkamah Agung (MA) untuk menolak permohonan judicial review terhadap AD ART Partai Demokrat, merupakan blunder Moeldoko yang kesekian kalinya. 

"Penolakan MA ini merupakan tamparan tersendiri. Konstruksinya saja sudah tidak lazim. KSP Moeldoko memotori gugatan terhadap Menkumham yang nota bene adalah sesama anggota kabinet. Objek gugatannya juga problematik. Tidak terbayang kekacauan hukum yang terjadi jika AD/ART organisasi boleh digugat sembarang orang. Andai dikabulkan, ini tentu mengancam kebebasan berserikat yang dijamin konstitusi," kata Firman.

"Ditengah menumpuknya kasus-kasus peradilan yang belum selesai dan rasa keadilan masyarakat yang terluka, permohonan judicial review atas AD/ART Partai Demokrat ini sesungguhnya pemborosan sumber daya hukum," lanjut Firman, "Moeldoko kena prank tiga kali. Sebelumnya oleh Darmizal dan Jhony Allen Marbun, sekarang oleh Yusril (Ihza Mahendra). Moeldoko makin kelihatan tidak kompeten sebagai Kepala Staf Presiden."

Soal ini juga menjadi atensi Ubedilah Badrun, pengamat politik dari UNJ. "Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama," kata Ubedilah menyitir pepatah, "Presiden biasanya ingin dikenang baik setelah usai menjabat. Ditengah terus menurunnya citra Jokowi, sayangnya langkah-langkah yang diambil KSP Moeldoko lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan Presiden Jokowi dalam menyiapkan legacy pemerintahannya."

Ubedilah mengingatkan bahwa bukan hanya dalam kasus Demokrat, Moeldoko melakukan manuver yang merugikan reputasi Pemerintah. 

"Dalam kasus Jiwasraya, terdakwa Hary Prasetyo pernah direkrut Moeldoko sebagai tenaga ahli. Pada saat itu, manipulasi keuangan para nasabah sudah dan sedang terjadi. Mustahil sebagai  Kepala Staf Presiden dan mantan Panglima TNI, Moeldoko tidak melakukan background check. Kalau Moeldoko berdalih tidak tahu, berarti kemampuan intelijennya lemah. Apapun alasannya, ini menunjukkan Moeldoko tidak kompeten sebagai pembantu Presiden."

Selain itu, lanjut Ubedilah, "Masih ada dugaan kasus Ivermectin yang berujung gugatan pada ICW. Ada dua pertanyaan besar yang belum dijawab Moeldoko: bagaimana ia menjelaskan potensi konflik kepentingan yang terjadi sebagai pembuat kebijakan di satu sisi dan sebagai pihak yang berpotensi menerima manfaat (beneficial ownership) dalam bisnis distribusi Ivermectin? Perpres no 13/2018 yang ditandatangani Presiden tegas mengatur soal ini. Selain itu, kenapa ia merespon riset ICW justru dengan gugatan pengadilan?"

Ubedilah, yang juga analis sosiologi-politik, sepakat dengan banyak politisi dan pengamat yang menyarankan agar Presiden Jokowi me-reshuffle Moeldoko jika tidak ingin citranya makin memburuk. 

"Saya banyak tidak setuju dengan sejumlah kebijakan Jokowi, tapi saya tahu ia pasti ingin meninggalkan legacy yang baik sebagai Presiden dengan caranya sendiri. Dalam konteks ini, manuver-manuver Moeldoko saya cermati lebih menjadi beban (liabilities) ketimbang aset bagi Jokowi dan pemerintahannya," tutup Ubedilah. (Atria Aji)