merdekanews.co
Sabtu, 10 April 2021 - 12:49 WIB

Hadapi Terorisme, Indonesia Bisa Adaptasi Strategi CTAP Selandia Baru

SY - merdekanews.co
Kompol. Malvino Edward Yusticia SH, SIK, MH, MSS

Jakarta,MERDEKANEWS - Peristiwa serangan senjata Air Gun yang dilakukan oleh ZA di Mabes Polri tanggal 1 April 2021 lalu telah menyentak seluruh lapisan masyarakat Indonesia. 

Hal tersebut membuktikan Terorisme dalam bentuk lone wolf hidup di Indonesia dan bergerak menyebarkan ketakutan pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Target serangannya adalah aparatur Kepolisian karena dianggap sebagai representasi ‘Thagut’ di Indonesia. 

Tidak berselang lama, beberapa hari sebelumnya Lukman beserta istrinya melakukan Tindakan Bom Bunuh Diri di Gereja Katedral, Makassar. 

Lukman dan istrinya merupakan teroris yang bergabung dalam kelompok Ansharut Daulah (AD) yang memiliki visi untuk mendirikan Negara Islam Raya yang berafiliasi dengan ISIS di Timur Tengah. 

"Kedua kasus terorisme ini muncul dalam konteks waktu yang tidak terlalu jauh. Hanya berselang 3 hari antara Bom Gereja Katedral Makassar dan Serangan ke Mabes Polri" kata Kompol Marvino Edward Yusticia, SH, SIK, MH, MSS.

Hal ini menunjukkan bahwa dua serangan teror ini harus dipandang sebagai sesuatu yang siap mengancam kita kapan saja. 

Menurut Kepolisian, dua kasus terorisme ini tidak terkait satu sama lain. Kasus Bom Makassar merupakan sebuah aksi yang terencana dari kelompok AD Makassar, dan kasus penembakan oleh ZA ke Mabes Polri beberapa waktu lalu merupakan aksi seorang diri tanpa kelompok dan dengan motivasi melakukan teror sebagai balas dendam kepada Polri yang melakukan penangkapan terhadap banyak pelaku terror sejak bulan Januari hingga Maret 2021 di Indonesia. 

Kompol Marvino Edward Yusticia menjelaskan, Dua peristiwa yang terjadi baik di Makassar dan Mabes Polri mengingatkan pada persitiwa terorisme tahun 2019 di Selandia Baru. 

"Pada 15 Maret 2019 atau tepat sekitar 2 tahun yang lalu, terjadi peristiwa terorisme di Crhristchurch, Selandia Baru. Pada waktu itu Brenton Tarrant (28 tahun), seorang berkewarganegaraan Australia melakukan serangan senjata api pada Jamaah Sholat Juma’at di Masjid Al – Noor di wilayah Ricarton, Selandia Baru. Akibat serangan terror tersebut, 51 orang Jamaah Sholat Juma’at di Masjid Al-Noor meninggal dunia dan 40 orang mengalami cedera luka-luka akibat tembakan yang ditembakkan oleh Brenton" ungkapnya.

Menurut Kepolisian Selandia Baru, serangan tersebut berkorelasi dengan meningkatnya Supremasi Kulit Putih pada 2015 di Australia dan Selandia Baru.

Berdasarkan penyelidikan dari Kepolisian Selandia Baru, Brenton diketahui memiliki pandangan anti – imigran khususnya imigran Muslim yang dianggap sebagai ras teroris yang harus dibasmi oleh orang kulit putih. Secara spesifik Brenton menyebutkan hal ini sebagai Ideologi Kebab Removalist. 

Alumnus Master of Strategic Studies Victoria University ini menjelaskan, kecepatan dan ketepatan strategi penanganan dalam waktu satu jam setelah terjadinya penembakan di Selandia Baru tersebut, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengumumkan Lockdown pada wilayah Christchurch dan mengerahkan personil kepolisian, Ambulan, SAR, dan Militer untuk menstabilkan lokasi penyerangan dan melumpuhkan pelaku teror. 

"Pada masa satu jam setelah penembakan, Jacinda Ardern mengumumkan peristiwa penembakan tersebut kepada media dengan menyebutkan bahwa hari tersebut merupakan ‘the darkest day’ di Selandia baru" ujarnya.

Setelah 24 jam pasca penembakan, Pemerintahan Selandia Baru melakukan reaksi cepat terhadap korban dengan merawat korban cidera, mengunjungi keluarga korban meninggal dunia, hingga mengunjungi dan membentuk rapat antar para pemuka agama di Selandia Baru. 

Dalam waktu 1 bulan, Pemerintah Selandia Baru mengeluarkan kebijakan yang disebut dengan CTAP atau Counter Terrorism Action Plan. Dalam CTAP tersebut terdapat beberapa poin yang harus dilakukan oleh pemerintahan Selandia Baru dalam memerangi terorisme di negaranya.

Poin tersebut terdiri dari: 1.) penguatan intelejen, 2.) penguatan kapasitan penegakan hukum dalam penanggulangan terorisme seperti dalam aspek ke-imigrasian, kepemilikan senjata api, hingga komitmen penegakan hukum yang adil bagi semua orang, 3.) pelibatan tokoh agama dan kelompok keagamaan untuk mengkampanyekan ide perdamaian dan toleransi, serta 4.) kerjasama internasional untuk memerangi ekstrimisme agama yang berhaluan dengan penggunaan kekerasan. 

Kompol Marvino Edward Yusticia mengutip Rhys Ball (2020), seorang akademisi dari Massey University dalam tulisannya yang berjudul New Zealand’s Counter Terrorism: A Critical Assessment memperlihatkan bahwa CTAP sebagai kebijakan anti terorisme yang fundamental telah mengarahkan diri pada pendalaman pencegahan terorisme ketimbang pendalaman pada penindakan. 

"Hampir semua enerji politik, institusi pemerintahan, dan institusi sosial dikeluarkan untuk memastikan bahwa kejadian serangan terror pada tahun 2019 tidak terjadi lagi pada masa yang akan datang" imbuhnya.

Pendekatan baru ini memberikan sebuah kerangka kerja bagi Selandia Baru untuk memerangi terorisme dengan mengedepankan komitmen yang kuat bagi seluruh institusi sosial dan politik di Selandia Baru untuk menyampaikan literasi perdamaian dan menguatkan kembali kehadiran negara dalam memastikan bahwa semua Agama berperan pembawa kebaikan di New Zealand. 

Di Indonesia, kebijakan penanggulangan terorisme diemban oleh BNPT sebagai amanah dari Perpres No. 46 Tahun 2010. Sejak tahun 2010, BNPT telah menyusun kebijakan, strategi, dan program dalam hal penanggulangan terorisme hingga saat ini.

"Namun pada sisi yang lain, terorisme di Indonesia terus bertumbuh. Berdasarkan informasi dari Densus 88 AT, jumlah tersangka terorisme setiap tahunnya selalu mencapai 100-200an orang setiap tahunnya tanpa ada indikasi penurunan jumlah pelaku terorisme di tanah air setiap tahunnya. Artinya program, kebijakan, dan strategi yang ditawarkan oleh BNPT sejak tahun 2010 tidak berkorelasi langsung dengan adanya penurunan jumlah pelaku terorisme di Indonesia" tutur Kompol Marvino Edward Yusticia.

Inefektifitas kebijakan, program, maupun strategi perlu menjadi pembahasan serius dengan dua peristiwa terrorisme yang terjadi pada Maret-April 2021 lalu. 

Peserta pendidikan Sespimmen Polri Dikreg 61 TA 2021 ini menyebutkan, Secara garis besar berdasarkan UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme terdapat dua pokok utama strategi penanggulangan terorisme. 

"Dua pokok utama strategi tersebut terdiri dari Penegakan Hukum dan Pencegahan – Deradikalisasi." Ungkapnya. 

Dalam aspek penegakan hukum, jika sekilas dievauasi maka dapat dikatakan berada dalam posisi yang cukup optimal. 

Hal ini dapat diperlihatkan dari kuantitas penangkapan melalui strategi Preventive Strike yang dilakukan oleh Polri yang berkisar di angka 100-200an tersangka setiap tahunnya. Namun, dalam pelaksanaan pencegahan dan deradikalisasi pelaksanaannya belum efektif. 

Hal ini dibuktikan dengan adanya 60-an mantan napiter yang melakukan pidana terorisme kembali sejak tahun 2015 dan masih banyaknya orang-orang yang tergabung dalam kelompok terorisme yang tersebar di Indonesia. 

Indonesia melalui BNPT sejak terjadinya dua peristiwa terror pada Maret dan April lalu seharusnya juga membentuk reaksi dan strategi tepat sehingga peristiwa yang sama tidak terjadi kembali di kemudian hari. 

Reaksi tersebut harusnya dapat dimulai dengan mengevaluasi seluruh program, kebijakan, dan strategi yang telah dilaksanakan dalam penanggulangan terorisme. 

"Dengan evaluasi tersebut, maka pembentukan strategi baru penanggulangan terorisme dapat diformulasikan kembali sehingga strategi nasional dalam penanggulangan terorisme dapat berlangsung lebih komprehensif, tepat sasaran, dan terintegrasi sebagaimana CTAP yang diimplementasikan di Selandia Baru saat ini telah berhasil membawa banyak perubahan" tandasnya.  (SY )