merdekanews.co
Jumat, 04 Desember 2020 - 21:14 WIB

Inilah 12 Usulan Gema Perhutanan Sosial Indonesia Untuk Percepatan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial

Gaoza - merdekanews.co

Jakarta, MERDEKANEWS --  Gerakan Masyarakat (Gema) Perhutanan Sosial Indonesia merupakan salah satu dari 4 penggiat Reforma Agraria yang diundang Presiden ke istana pada Kamis, 3 Desember 2020.

 

Diwakili Ketua Umum DPP Gema Perhutanan Sosial Indonesia, Siti Fikriyah, bersama Konsorsium Pembaruan Agraria, Badan Registrasi Wilayah Adat, serta Serikat Petani Indonesia diundang dalam Rapat Internal Pembahasan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria bersama Presiden, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepala Staf Presiden dan Kapolri.

Pada pertemuan 23 November 2020 sebelumnya 10 orang penggiat merepresentasikan isu reforma agraria, perhutanan sosial, papua, masyarakat adat, serta nelayan juga telah diundang oleh Presiden untuk memberikan masukan.

Siti Fikriyah memaparkan sejumlah isu di antaranya mengenai UUCK, penyempurnaan Perpres 86 Tahun 2013 yang terkait gugus tugas reforma agraria, register adat, register adat papua, gambut,  badan khusus reforma agraria yang dipimpin Presiden, reforma agraria dari kawasan hutan, nelayan, percepatan reforma agraria pada HGU terlantar dan HGU habis, evaluasi HGU PTPN yang berkonflik dan tidak produktif, serta percepatan perhutanan sosial.

Lebih lanjut Ketua Umum DPP Gema Perhutanan Sosial Indonesia, Siti Fikriyah pada pertemuan 23 November 2020 dan 3 Desember 2020 memberi
apresiasi kepada pemerintah terhadap masuknya perhutanan sosial di dalam UUCK yaitu pada perubahan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan ditambahkannya pasal 29A dan 29B.

"Pertama, dimuatnya perhutanan sosial dalam pengaturan setingkat Undang-undang merupakan capaian dan penghormatan negara terhadap pengelolaan hutan oleh rakyat setelah 75 tahun Indonesia merdeka. Tentu ini merupakan capaian penting yang patut diapresiasi," jelas Siti Fikriyah.

Siti menambahkan, perhutanan sosial yang merupakan pengelolaan hutan oleh rakyat bukan lagi isu pinggiran, melainkan kini menjadi isu pada episentrum kebijakan pemerintah.

Berikut lanjutan terperinci usulan Gema Perhutanan Sosial Indonesia sbb:

Kedua, Gema mengapresiasi alokasi Presiden untuk perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar di luar Jawa dan sekitar 1.127.073 hektar di Jawa-(data numerik-Planologi KLHK, 2017). Ditambah dengan alokasi reforma agraria 9 juta hektar, maka total alokasi tanah untuk rakyat yang dialokasikan Presiden kurang lebih 22,8 juta hektar. Angka tersebut menunjukkan komitmen Presiden.

Ketiga, Gema mengapresiasi perubahan pasal 18 UU No 41 Tahun 1999 pada UUCK. Perubahan pasal tersebut akan menjadi pintu bagi penyelesaian konflik tenurial pada kawasan hutan di Jawa, Lampung dan Bali. Khusus di Jawa, ada sekitar 113.000 permukiman rakyat dalam kawasan hutan di Jawa akan dapat diselesaikan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan tanpa proses tukar-menukar kawasan serta tanpa mekanisme ijin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Sebagai konsekwensinya Permen LHK No 64 Tahun 2019 harus diubah.
Menurut Gema, ini adalah langkah maju bagi realisasi penyelesaian tanah (TORA) dalam kawasan hutan. Sebelumnya pada  2014 penyelesaian tanah dalam kawasan hutan baru diberi ruang penyelesaian hanya setingkat SKB 4 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umun dan Tata Ruang (PU PR) dan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pada prakteknya SKB tidak dapat dijalankan, dan tidak dapat dijadikan dasar hukum pijakan pelepasan tanah dalam kawasan hutan.
Namun dengan adanya perubahan pasal 18 UU No 41 Tahun 1999 pada UUCK, maka saat ini dimungkinkan untuk dilakukan pelepasan tanah dalam kawasan hutan atau TORA dari kawasan hutan. Pasal ini akan menjadi dasar hukum bagi penyelesaian konflik-konflik tenurial pada kawasan hutan di Jawa, Lampung dan Bali.

Secara khusus Gema memohon agar diprioritaskan pelepasan kawasan pada permukiman-permukiman  rakyat dalam kawasan hutan.
Gema menyampaikan beberapa contoh kasus permukiman dalam kawasan di antaranya pada permukiman nelayan di Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumber Manjing Wetan, Kabupaten Malang. Kasus ini diselesaikan melalui prosedur TMKH lebih dari 20 tahun. Baru pada masa Menteri Siti Nurbaya, SK TMKH diterbitkan dan saat ini dalam proses untuk sertifikasi hampir 1.000 bidang.
Contoh lain permukiman dalam kawasan di Desa Bantar Bolang dan Desa Karanganyar, Kecamatan Bantar Bolang, Kabupaten Pemalang yang telah ada sejak 1962, juga di Dusun Mandiku, Desa Sidodadi, Kabupaten Jember yang telah bermukim sebelum Indonesia merdeka, atau pun pada permukiman akibat relokasi bencana alam seperti terjadi di Dusun Bintoro Mulyo, Desa Pranten, Kabupaten Batang yang berproses untuk mendapatkan sertifikat hak atas tanah selama 16 tahun. Dengan ketentuan baru dalam UUCK, konflik-konflik tenurial ini dapat diselesaikan segera.

Namun demikian Gema menyampaikan peringatan agar pemerintah berhati-hati dalam prosedur penetapan subjek penerima redistribusi TORa dari pelepasan dalam kawasan.

Pada beberapa kasus  di tingkat tapak pemerintah daerah dan pemerintah desa memberikan data identifikasi subjek penerima yang keliru atau berbeda nama calon penerima  dengan nama rill penggarap lahan dalam kawasan. Perbedaan data subjek ini memicu terjadinya konflik horisontal. Dalam beberapa kasus Pemerintah Daerah menjadi "bottle neck" dari proses reforma agraria.
Oleh karena itu diperlukan sikap kehati-hatian pemerintah terutama Kementerian LHK dan Kementerian ATR sangat penting.
 

Keempat, Gema menyampaikan agar pemerintah mengevaluasi HGU PTPN yang terlantar, tidak produktif, dan sudah dikelola masyarakat. Gema memohon agar HGU perkebunan negara baik PTPN dan PDP (perusahaan daerah perkebunan) serta HGU swasta yang telah habis dan terlantar dievaluasi dan dapat diredistribusi kepada petani penggarap dengan hak milik bersama dan dikembangkan menjadi cluster pertanian terpadu.

Kelima, berkaitan dengan draft RPP di bidang agraria, Gema menyampaikan agar RPP  disusun dengan nomeklatur yang langsung menunjuk pada percepatan pelaksanaan redistribusi tanah dan memuat klausul-klausul yang membebaskan belenggu atau sandera hukum yang menghambat redistribusi tanah kepada masyarakat.
Gema menyampaikan bahwa selama ini redistribusi kepada rakyat dihambat oleh prosedur bersyarat seperti penyelesaian hak tanggungan, hak keperdataan pasca habisnya Hak Atas Tanah, mediasi, proses penertiban tanah terlantar, serta proses pengadilan. Belajar dari pelaksanaan penertiban tanah terlantar pada tahun 2012 terdapat 83 SK penertiban tanah terlantar digugat pengadilan dan hampir semua kalah, kecuali lokasi eks HGU PT Tratak, Batang, Jateng. Seharus berkaca dari pelaksanaan penertiban tanah terlantar tersebut maka RPP baru memuat klausul-klausul untuk menyelesaikan masalah sandera terhadap pelaksanaan redistribusi tanah untuk rakyat.

Keenam, Gema menyampaikan bahwa RPP turun UUCK bidang agraria salah satunya mengenai penertiban tanah terlantar justru menempatkan kekuasaan besar kepada Menteri ATR untuk mendefinisikan tanah terlantar, mengambil tanah terlantar dan meredistribusikannya. Kekuasaan ini bisa membuka peluang praktek "abuse of power". Seharusnya RPP ini memberikan rambu-rambu kategori pada jenis tanah terlantar, peruntukan, dan kriteria subjek penerimanya.

Ketujuh, Gema juga memberikan masukan bahwa RPP yang disusun kementerian-kementerian justru bergerak menguatkan kedudukan dan kewenangan kementerian. Hal ini akan menyebabkan ego sektoral makin menguat. Hal ini bertolak belakang dengan UUCK yang justru dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan-hambatan pada Kementerian-kementerian. Gema menyampaikan agar RPP ini menyederhanakan prosedur kementerian, memangkas hambatan antar kementerian dan mengembalikan kekuasaan kepada Presiden, utamanya memberikan kewenangan redistribusi tanah berada di tangan Presiden.

Berkaitan dengan hal tersebut Gema menegaskan permohonan agar Presiden memimpin langsung pelaksanaan Reforma Agraria termasuk redistribusi tanah untuk rakyat dan Perhutanan Sosial. Presiden dapat membentuk tim khusus Percepatan Penyelesaian Reforma Agraria-Redistribusi Tanah dan Perhutanan Sosial.

kedelapan, terkait RPP turunan UUCK di bidang Kehutanan, Gema menyampaikan apresiasi terhadap inisiatif Menteri LHK memuat pasal-pasal yang menjadi pintu penyelesaian konflik tenurial dalam kawasan hutan dan percepatan pencapaian perhutanan sosial. Gema memberikan beberapa masukan terkait ketentuan mengenai Peta Indikatif Perhutanan Sosial (PIAPs) dan mengusulkan kategori Piaps tambahan berupa lahan konflik tenurial lahan garapan, lahan pengganti pinjam pakai kawasan hutan (tmkh), hutan di dalam kawasan desa atau permukiman, konflik pengelolaan lahan hutan, lahan inisiatif agroforestry rakyat, serta areal pemegang Sk IPHPS dan kemitraan Kulin NKK dan usulan areal IPHPS, kemitraan Kulin NKK, Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang telah berproses secara otomatis masuk dalam PIAPS.

Kesembilan, khusus berkaitan dengan perhutanan sosial di Jawa, Gema menyampaikan kekecewaan karena progres capaian IPHPS selama 2 tahun stagnan di angka kurang lebih 26.127 Hektar. Terdapat banyak usulan perhutanan sosial yang macet berproses selama 2 sampai 3 tahun. Kemacetan terjadi pada birokrasi teknis yaitu Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), sehingga Gema mengusulkan evaluasi Dirjen PSKL.
Gema meminta agar Menteri KLHK menambah jumlah Balai Perhutanan Sosial di Jawa dan luar Jawa untuk percepatan perhutanan sosial, atau dibentuk badan khusus percepatan perhutanan soal berbentuk badan non departemen atau pun badan layanan umum. Dua alternatif tersebut dapat dipertimbangkan oleh Menteri LHK.

Kesepuluh, Gema meminta percepatan terbitnya SK Perhutanan Sosial, segera. Dari 63 usulan yang disampaikan kepada KLHK serta telah disampaikan kepada Presiden pada 10 Oktober 2019, baru 2 terbit SK.

Kesebelas, menyampaikan bahwa pengembangan ekonomi perhutanan sosial dapat dibina dengan kolaborasi Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Pertanian untuk penyediaan pupuk dan bibit serta Kementerian PU PR untuk penyediaan embung dan infrastuktur jalan produksi tani.

Keduabelas, Gema meminta Presiden mengkonsentrasikan target pencapaian  perhutanan sosial dan penyelesaian konflik agraria sebelum 2024.

Berkaitan dengan beberapa substansi paparan seluruh peserta undangan rapat, Presiden menyampaikan komitmen pada pelaksanaan reforma agraria, redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria, pelaksanaan perhutanan sosial termasuk pengembangan ekonomi perhutanan sosial dan reforma agraria.

Presiden menyampaikan bahwa salah satu maksud UUCK adalah untuk melakukan percepatan penyelesaian konflik agraria, reforma agraria dan perhutanan sosial serta masyarakat adat.

Presiden meminta setiap kementerian menyempurnakan RPP berorientasi lapangan agar mampu menjawab masalah-masalah lapangan. Presiden juga meminta agar RPP tidak menguatkan sektoralisme Kementerian dan menghilangkan potensi abuse of power.

Presiden meminta agar dilakukan penyelesaian konflik agraria berdasar prioritas penyelesaian. Presiden juga memberikan sejumlah catatan penting terkait tindaklanjut penyelesaian konflik di kawasan hutan dan perkebunan, termasuk terhadap perkebunan negara.

Presiden akan menindaklanjuti dengan ratas beruntun untuk segera menyelesaikan persoalan reforma agraria dan perhutanan sosial serta masyarakat adat, termasuk pengembangan ekonomi perhutanan sosial, serta berkeinginan agar di 2021 dapat kembali menyerahkan redistribusi tanah untuk rakyat dan perhutanan sosial.

Terhadap pernyataan Presiden, Gema Perhutanan Sosial Indonesia menyambut baik dan bersedia untuk memberikan dukungan terhadap percepatan pelaksanaan reforma agraria-redistribusi tanah dan perhutanan sosial.

"Pernyataan ini merupakan catatan dari Gema Perhutanan sosial dan tidak merupakan representasi dari pandangan seluruh peserta rapat baik dari penggiat Reforma Agraria  mau pun Presiden," tutup Siti Fikriyah. (Gaoza)