merdekanews.co
Minggu, 16 Agustus 2020 - 13:55 WIB

Oleh: R. Siti Zuhro

Indonesia Milik Kita Bersama, Bukan Milik Segelintir Orang

*** - merdekanews.co

Tujuh puluh lima tahun sudah Indonesia merdeka. Merdeka sebagai negara berdaulat. Tetapi, apakah tujuan dan cita-cita kita sudah tercapai? 

Kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan bersama, penuh dengan darah dan derita. Bukan hasil sebuah hadiah dan juga bukan hasil perjuangan satu kelompok sosial. Sebab, kita memang bangsa yang majemuk, baik atas dasar agama, suku, bahasa dan budaya. 

Di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika, sejatinya kita adalah bangsa yang toleran, saling menghargai, mengutamakan kebersamaan, dan memiliki budaya gotong royong. 

Nilai-nilai luhur Pancasila sejak lama menjadi falsafah hidup kita, menjadi perekat sosial yang tangguh dan teruji sejak lama. Dengan itu pula kita mampu memerdekaan Indonesia secara bersama-sama. 

Tetapi, belakangan ini  sulit dinafikan bahwa Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa terusik, ada pihak yang mencoba menawarkan falsafah hidup lain.
 
Akibatnya, keluarga besar bangsa kita tampak terjebak dalam egosentrisme atau primordialisme, baik keagamaan, kesukuan, maupun kepentingan politik sempit dan kepentingan bisnis. Ibarat piring retak kita menyaksikan kecenderungan terjadinya fenomena keterbelahan sosial. 

Sulit dinafikan jika hal tersebut salah satu faktor utamanya dipicu oleh ketidakmampuan negara dalam mengatasi masalah kesenjangan sosial-ekonomi.
 
Perekonomian yang cenderung hanya mengejar pertumbuhan, telah membuat semakin lebarnya jurang antara yang kaya dan miskin.
 
Mengutip pernyataan Ketua KPPU, kita sukses mendorong growth, tetapi di sisi lain ketimpangan meningkat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung dinikmati oleh segelintir orang. 

Hampir semua sektor ekonomi Indonesia dikuasai oleh 5 sampai 7 pemain besar.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2020 mencapai 9,78 persen (26,42 juta orang). 

Jumlah ini meningkat 0,56 persen (1,28 juta orang) bulan September 2019 dan meningkat 0,37 persen bulan Maret 2020.
Gambaran tersebut semakin buruk dengan adanya covid. Angka pengangguran bertambah 3,7 juta orang. 

Rendahnya kadar empati dan solidaritas sosial membawa dampak sistemik terhadap integrasi dan integritas bangsa. Hal tersebut diperburuk oleh rendahnya derajat kepastian dan keadilan hukum, menurunnya nilai keadaban publik, hilangnya kejujuran, merajalelanya buta aksara moral dan rendahnya daya saing bangsa. 

Ada beberapa hal yang penting untuk direnungkan dan untuk diperbaiki bersama: 
Terkoyaknya Kohesi Sosial.

Hal ini ditandai, antara lain, oleh berkembangnya rasa saling tidak percaya, saling tidak menghormati, saling curiga, saling mencermati, di antara kelompok dalam masyarakat.  

Menguatnya Egosentrisme/Bangkitnya Primordialisme 
Egosentrisme atau primordialisme keagamaan, kesukuan, kesamaan kepentingan politik, dan kepentingan bisnis-ekonomi mengemuka dalam bentuk fanatisme, radikalisme, dan ekstremisme.

Gaibnya Keadilan 
Ketidakadilan ekonomi sangat   terasa   pada    dunia   bisnis. Sembilan puluh tujuh persen (97%) lebih   pelaku  usaha   di   Indonesia   adalah   UMKM,  namun   akses  UMKM terhadap  Lembaga Keuangan  formal  hanya 30%. 

Sementara   usaha  besar  yang jumlahnya kurang  dari   3%  menguasai  akses  permodalan   hingga  70%.   Di   sisi   lain, ketimpangan sangat memprihatinkan ketika 1% orang terkaya  menguasai 46,6% total kekayaan penduduk. 

Raibnya Keadaban Publik
Kehidupan masyarakat dewasa ini dipenuhi oleh raibnya keadaban publik. Masyarakat Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang sopan santun, ramah tamah dan penuh keadaban sekarang ini sebagian terjebak ke dalam perilaku kekerasan dan bentuk-bentuk ketidakadaban lainnya. 

Kampanye politik pada Pemilu 2019 banya diwarnai oleh saling hujat menghujat, cerca mencerca yang bersifat pribadi dan hampa substansi. Nilai etika telah tercerabut dari akar budaya politik yang telah diajarkan oleh para guru bangsa. 

Ketidakpastian dan Ketidakadilan Hukum 
Selama tahun 2018-2020 penegakan hukum untuk kepastian dan keadilan hukum masih merupakan masalah serius yang sering disebut dalam ungkapan “Tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Hal tersebut ditandai, antara lain, oleh kasus-kasus hukum yang berskala besar dan melibatkan elit politik nyaris tak tersentuh, bahkan, dilupakan. Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi, umpamanya, sering bersifat tebang pilih.  

Buta Aksara Moral 
Buta aksara moral merupakan masalah mendasar di tubuh bangsa yaitu dengan adanya pelanggaran moral oleh kaum terdidik sekalipun. Banyak kaum terdidik terjerat masalah hukum, terutama tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan oleh minimnya penekanan nilai moral dalam proses pendidikan, sistem demokrasi dengan politik berbiaya tinggi (high cost politics), serta lemahnya pengawasan dan keteladanan.  

Rendahnya Daya Saing Bangsa 

Tahun 2045 diharapkan menjadi Tahun Keemasan (golden age) bagi Indonesia. Tetapi, usaha ke arah itu tidak mudah. Saat ini daya saing bangsa Indonesia masih rendah. Salah satunya karena rendahnya kualitas SDM Indonesia. Tingkat pendidikan Indonesia masih sekitar 8 tahun. 

Distorsi wacana Kebangsaan 
Selama 2019 sangat terasa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terbelah akibat pilpres 2019. Bangunan kehidupan berbangsa, bernegara secara terus menerus dipertajam dengan slogan-slogan politik yang meminggirkan kelompok tertentu. Bahkan, para pengurus negara justru terlibat dalam kondisi tersebut, khususmya untuk kepentingan mempertahankan kekuasaannya. 

Atas dasar itu semua era pandemi covid seyogyanya menyadarkan kita semua untuk kembali pada falsafah hidup Pancasila. Dengan itu, kita bangun solidaritas, toleransi, kebersamaan, dan kepedulian dengan sesama. Tidak mementingkan diri dan kelompok sendiri, tersenyum di atas penderitaan banyak saudara kita.
Tujuh puluh lima tahun Indonesia merdeka seharusnya menyadarkan kita semua bahwa proses menjadi Indonesia harus dibangun secara substantif dan berkualitas. Usia 75 tahun juga semestinya membuat kita semakin dewasa, semakin menyadarkan kita bahwa kita adalah satu keluarga: satu keluarga besar yang menghuni Rumah Indonesia, Republik Indonesia. Mari kita kembali pada cita-cita luhur bangsa Indonesia bahwa Indonesia adalah milik bersama dan untuk bersama. (***)