merdekanews.co
Selasa, 19 Desember 2017 - 11:15 WIB

Tahun Baru, Kabinet Baru

Setyaki Purnomo - merdekanews.co

Jakarta, MERDEKANEWS - Perombakan (reshuffle) Kabinet Kerja Jilid Dua, sulit dihindari Presiden Joko Widodo. Perkirannyannya, bongkar pasang kabinet terjadi paling cepat akhir 2017, atau paling lambat awal 2018.

Adalah majunya Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa (KIP) di kontestasi pemilihan gubernur Jawa Timur 2018. Konsekuensinya, perlu penguatan sektor ekonomi.

Alasan lainnya, evaluasi atau uji kekompakan Koalisi Partai Pendukung Pemerintah (KPPP), sejumlah regulasi di DPR. Semisal, pembahasan RUU MD3, atau RUU Parpol menjadi catatan penting presiden.

Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak (Bupati Trenggalek) dipastikan maju dalam pilkada. Keduanya berturut-turut mendapatkan tiket untuk maju sebagai cagub-cawagub dari Partai Demokrat (13 kursi DPRD Jatim), Senin malam (20/11/2017). Menyusul Partai Golkar (11 kursi DPRD Jatim) menyatakan dukungan pada Rabu siang (22/11/2017).

Dukungan dua parpol itu, sejatinya sudah mencukupi sebagai tiket duet Khofifah-Emil maju dalam Pilgub Jatim. Karena, syaratnya minimal seperlima dari total kursi DPRD Jatim (100 kursi), atau setara 20 kursi.

Angka dukungan untuk Khofifah-Emil belum ditambah dukungan dari Nasdem (4 kursi DPRD Jatim), PPP (5 kursi DPRD Jatim), dan Hanura (2 kursi DPRD Jatim).

Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada Tahun 2018, pendaftaran pasangan calon 8-10 Januari 2018.

Jika melihat tanggal pelaksanaannya, Khofifah dan Emil akan berpacu dengan waktu. Keduanya harus segera melakukan konsolidasi kekuataan. Untuk mengejar ketertinggalan elektoral dari rival beratnya yakni Saefullah Yusuf dan Azwar Anas.

Majunya KIP--demikian Khofifah biasa dipanggil, berkontraksi dengan susunan Kabinet Kerja. Berungkali Ketua Umum Muslimat NU ini, menyampaikan keinginan untuk mengundurkan diri secara resmi.

Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan sempat bilang, jika ada menteri yang ingin maju menjadi kepala daerah, harus segera mengundurkan diri. Agar Presiden Joko Widodo bisa segera melantik menteri baru. Kini, tiket maju di pilgub Jatim sudah dikantong KIP. Episode kirim surat juga sudah dilakukan.

Genjot Ekonomi Demi Elektoral

Kinerja Tim ekonomi Kabinet Kerja, sepertinya tetap menjadi perhatian utama dari pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Berbagai proyek yang diharapkan menjadi pendulang elektoral, misalnya, proyek tol lintas Jawa dan Sumatera, dikebut agar bisa rampung pertengahan 2018.

Otomatis, untuk menjamin keberlangsungan pendanaan proyek infrastruktur yang angkanya Rp5.000 triliun itu, tim ekonomi Kabinet Kerja harus pinter-pinter putar otak. Khususnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang kini banyak disorot.

Pola atau strategi seperti ini lazim digunakan oleh petahana. Untuk maju di ronde kedua masa berkuasa, maka modal ekonomi menjadi senjata andalan. Bukan lagi bergantung kepada modal sosial dan politik, seperti masa pertama kontestasi.

Sementara, dari beragam laporan survei, menyabut angka elektabilitas Jokowi berada di interval 40-50 persen. Angka eletabilitas di interval tersebut belum bisa disebut modal bagus bagi Jokowi memasuki tahun politik.

Jika merujuk, era sebelumnya yakni SBY, angka elektabilitas Jokowi, kalau mau aman, harus berada di rentang 55-60 persen. Sementara, setahun sebelum SBY memasuki tahun politik, angka elektabilitasnya mencapai 50 persen-an.

Untuk menggenjot angka elektabilitas ini, perlu memerhatikan tingkat kepuasaan publik terhadap pemerintahan. Kisaran angka saat ini berada di atas 60%. Persoalannya, bagaimana cara mendorong sektor ekonomi sebagai senjata andalam dalam mendulang elektoral?

Disiplin Koalisi Jokowi-JK Jeblok
 
Tahun 2018, dapat dikatakan sebagai tahun politik. Ada sejumlah hajat politik yang bakal menyedot energi besar parpol. Yakni Pilkada Serentak 2018. Ditambah, pembahasan RUU MD3 atau RUU Parpol. Diprediksi, hasil dari kedua isu tersebut akan berkontraksi langsung dengan peta koalisi di Pilpres 2019.

Saat ini, kekuatan Koalisi Partai Pendukung Pemerintah (KPPP) di DPR sebesar 68.9 persen dari total kursi di DPR. Praktis, dengan kekuatan mayoritas seperti itu, pemerintah akan lebih mudah dalam mengambil kebijakan. Namun, kenyataan bergerak sebaliknya. Koalisi pemerintah acapkali berbenturan, sehingga sulit melahirkan suatu keputusan. Semua lantaran, rendahnya tingkat disiplin fraksi yang tergabung dalam KPPP.

Untuk mengukur tingkat disiplin fraksi koalisi, bisa memanfaatkan Rice Index. Yang dipopulerkan Stuart Rice pada 1925. Index ini lazim digunakan pada parpol yang bergabung dalam suatu koalisi di parlemen.

Pada kasus KPPP, tingkat displin fraksi dapat dilihat dari lima (5) kasus. Satu pembahasan RUU, dan empat (4) pembahasan Perpu. Objeknya adalah fraksi PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasdem, Partai Hanura, PAN, Partai Golkar, dan PPP. Bobot nilai nilai Rice Index, terdiri dari lima jenis. Untuk bobot nilai 100-91 kategori sangat tinggi. 90-81 kategori tinggi. 80-61 kategori rendah. 60-41 kategori sangat rendah. Di bawah 40 kategori tidak kompak.

Ambil contoh pembahasan Perppu No 1 Tahun 2015 Tentang KPK. Seluruh anggota KPPP solid mendukung pemerintah menerbitkan Perppu. Nilai Rice Index pada pemungutan suara Perppu ini mencapai 100 persen.

Begitu juga pada pemungutan suara saat pengesahan Perppu No 1 Tahun 2016 tentang Hukuman Kebiri dan Perppu No 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Pajak, Rice Index-nya 100 persen.

Namun, pemungutan suara saat pengesahan RUU No 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilu dan Perppu No 2 Tahun 2017 Tentang Ormas, tingkat disiplin fraksi koalisi KPPP, melorot menjadi 73,33 persen.

Pada pemungutan suara pembahasan dua regulasi tersebut, PAN mengambil langkah politik berbeda. Walhasil, PAN mendapat cibiran dari kolega koalisi. Sontak saja, muncul dorongan agar JKW-JK melakukan reshuffle dengan mencopot perwakilan PAN di Kabinet Kerja.

Saat pembahasan RUU MD3, atau RUU Parpol, diperkirakan akan menjadi preferensi politik Jokowi dalam membangun koalisi di pilpres mendatang. Apakah koalisi yang dia bangun saat ini masih efektif, atau tidak. Corak itu akan terlihat jelas saat pengambilan suara di dua regulasi tersebut.

Penulis: Dian Permata,
Peneliti Senior Founding Fathers House (FHH)

 

  (Setyaki Purnomo)