
Bogor, MERDEKANEWS - Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut tertuang dalam PP 71/2014 jo PP 57/2016, memberikan rasa jerih kepada investor.
Kondisi ini berlawanan dengan keinginan Presiden Joko Widodo yang ingin inevstasi masuk deras ke tanah air. Termasuk dari sektor perkebunan. Hal ini mengemuka dalam Seminar Nasional Refleksi Kebijakan Pengelolan Lahan Basah Indonesia yang diselenggarakan Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) di Bogor, Jawa Barat, Kamis (7/12/2017).
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Riyanto mengingatkan, pemerintah perlu bersikap rasional dalam penerbitan regulasi, agar tidak mengganggu investasi yang sudah berjalan.
“Apa gunannya membangun infrastruktur jika regulasi yang ada justru membuat para investor ketakutan. Pemerintah harus rasional untuk melihat bahwa PP ini belum menjadi instrumen yang mampu mendukung kegiatan ekonomi dan konservasi secara simultan,” kata Riyanto.
Diungkapkan, tujuan regulasi ini, untuk menurunkan bencana kebakaran lahan dan hutan (karhutla). “Kalau melihat tujuan, seharusnya yang perlu diatur adalah manajamen penanggulangan kebakaran,” kata Riyanto.
Riyanto menganalogikan pompa bensin yang berada di kawasan umum, justru lebih memiliki risiko kebakaran yang tinggi. Serta dampak luar biasa ketimbang hutan. Hanya saja, karena ada manajemen yang baik, berbagai persoalan itu bisa diatasi dengan tingkat pengawasan yang nyaris sempurna.
Seharusnya pemerintah mempunyai manajemen yang baik terkait pengelolaan lahan gambut agar tidak mengganggu kepentingan investasi yang sudah berjalan. “Aturan yang tidak pro investasi ini, tentu berdampak signifikan terhadap perekonomian, terutama jika banyak lahan gambut diubah menjadi fungsi lindung," kata Riyanto.
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap dampak ekonomi, aturan dalam PP 57 berdampak langsung pada pengurangan luasan lahan dan penyediaan bahan baku.
Pada industri sawit, aturan ini berdampak pada penurunan tenaga kerja sebanyak 1.116.170 jiwa, penurunan pendapatan masyarakat sekitar Rp15 triliun, penurunan PDB Nasional Rp46 triliun dan penurunan output nasional sejumlah Rp76,5 triliun. "Di sisi lain, industri ini mampu menyerap tenaga kerja sekitar 5,3 juta jiwa serta menghidupi lebih dari 21 juta orang," kata Riyanto.
Sedangkan terhadap Hutan Tanaman Industri, PP 57 mengakibatkan penurunan produksi kayu sebagai bahan baku industri dan kertas sebesar 26,46 juta m3 kayu. Jika dirupiahkan setara dengan Rp76 triliun, serta jumlah tenaga kerja yang akan kehilangan mata pencahariannya mencapai 610ribu jiwa.
Direktur Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB, Dodik Ridho Nurrochmat, mengatakan, banyak regulasi yang tidak sinkron dengan kebutuhan negara ini. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman dari para pembuat kebijakan. “Kebijakan seperti ini berbahaya karena membuat arah pembangunan negara menjadi tidak jelas karena tumpang tindih aturan,” kata dia. (Setyaki Purnomo)
-
Kemenperin Pacu Nilai Tambah Kelapa Sawit Penuhi Kebutuhan Industri Batik Kemenperin Pacu Nilai Tambah Kelapa Sawit Penuhi Kebutuhan Industri Batik
-
Presiden Jokowi Bantah Buka Ekspor Pasir Laut, Ini Penjelasannya Sekali lagi, bukan (pasir laut), nanti kalau diterjemahkan pasir beda loh ya
-
Industri Kelapa Sawit Komitmen Capai NZE Lewat Hilirisasi dan Pengelolaan Biomassa Berkelanjutan Industri Kelapa Sawit Komitmen Capai NZE Lewat Hilirisasi dan Pengelolaan Biomassa Berkelanjutan
-
Presiden Jokowi Berkantor di IKN Mulai Hari Ini Hingga Sehari Jelang Purnatugas Presiden Jokowi bakal berkantor di IKN, Kalimantan Timur, mulai Selasa (10/09), sampai sehari jelang akhir masa jabatannya
-
Sebut Semua Orang Bisa Jadi Jurnalis di Era Digital, Jokowi: Harus Cek dan Ricek Berita Hoaks Harus cek dan ricek mana yang benar dan mana yang hoaks atau berita bohong