merdekanews.co
Minggu, 02 September 2018 - 13:09 WIB

Jangan Tabrak UUD dan HAM, KPU Harus Patuh Keputusan Bawaslu DKI

Sam Hamdan - merdekanews.co
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)

Jakarta, MERDEKANEWS -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta patuh atas keputusan sidang adjudikasi. Sebab, mencoreng keputusan hukum sama dengan melanggar hukum dan bisa diancam pidana.

Hal ini dikatakan pengamat hukum, RBJ Bangkit dalam siaran pers yang diterima wartawan pada Minggu, 2 September 2018. "Semua pihak harus patuh dengan keputusan Bawaslu," tegasnya. 

Keputusan KPU yang melarang mantan narapidana korupsi maju sebagai caleg kata Bangkit, bertentangan dengan UUD dan Hak Azasi Manusia (HAM). "Kalau KPU tidak patuh mereka telah melanggar UUD. Jadi keputusan Bawaslu itu sudah benar dan sah secara hukum," ungkap pengacara jebolan magister hukum UI ini. 

Forum Diskusi Jurnalis Jakarta (FDJJ) menilai, keputusan Bawaslu sudah tepat dan tidak menyalahi aturan.  Untuk itu FDJJ meminta kepada semua pihak tidak bermain opini. Karena pelarangan caleg yang pernah tersangkut pidana sangat menyalahi aturan. Dan biarkan rakyat yang memilih. 

Sebagai penyelenggara pemilu, kata FDJJ, KPU harus konsen mengurus urusan yang lebih besar seperti soal DPT, Pilpres dan Pileg. 

Seperti diberitakan penyelesaian sengketa proses pemilu antara politisi Partai Gerindra Moh. Taufik dan KPU DKI Jakarta diputus setelah sebelumnya Majelis Sidang Ajudikasi Bawaslu DKI Jakarta mendengarkan saksi ahli yang diajukan oleh kedua belah pihak.

“Memutuskan menerima permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Puadi membacakan putusan sidang ajudikasi.

Menyatakan bakal calon kepersertaan pemilu legislatif DPRD DKI Dapil 3 No urut 1 dari Partai Gerindra M. Taufik memenuhi syarat vetifikasi, keabsahan dokumen oleh KPU DKI Jakarta”.

Ketiga memerintahkan KPU DKI untuk melaksanakan putusan ini untuk di tindak lanjuti, dalam bacaan putusan oleh Ketua Majelis Puadi, di kantor Bawaslu DKI, Jalan Danau Agung Sunter, Jakarta Utara pada Jumat, 31 Agustus 2018.

Menanggapi putusan tersebut, Dosen Sekolah Kajian Strategic dan Global Universitas Indonesia, Dr Mulyadi, M.Si menegaskan bahwa sudah semestinya putusan ajudikasi tersebut tidak dipengaruhi oleh opini publik yang tidak merepresentasikan kehendak umum (volente generale).

“Kasus ini adalah konsekuensi logis atau akibat terduga dari tindakan nekat KPU yang disetujui Kementerian Hukum dan HAM dan DPR menentang UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 melalui Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018”, kata Dr Mulyadi, Pengajar Manajemen Sekuriti dan Sekuriti Fisik di Kajian Ilmu Kepolisian SKSG UI.(1/9)

Mengenai rencana Menteri Polhukam Wiranto memanggil Bawaslu terkait putusan Sidang Ajudikasi Bawaslu DKI Jakarta yang memenangkan politisi Partai Gerindra Moh Taufik, Mulyadi meminta agar semua pihak menghormati putusan tersebut.

“Tidak ada justifikasi untuk setiap tindakan atau upaya yang ingin menekan, mempengaruhi, atau mengubah posisi hukum dan politik yang telah dipilih Bawaslu. Secara hukum sikap Bawaslu yang merujuk pada UU Pemilu No.7 Tahun 2017 sudah tepat, karena selain kedudukan UU itu lebih tinggi dari PKPU, juga PKPU merupakan objek pengawasan Bawaslu”, kata Mulyadi.

Menurut Peneliti Senior di CEPP Fisip UI, PKPU itu juga sudah sangat jauh menyimpang dari moralitas hukum dan politik, karena telah memberi sanksi tambahan yang tak semestinya.

“Tidak satupun hukum di dunia ini yang membenarkan warga negara dapat dijatuhi hukuman tambahan berdasarkan hukum formal di luar pengadilan hanya karena desakan opini publik”.

Biarkan pemilih sendiri yang menjatuhkan sanksi moral pada pemilu nanti”, kata Mulyadi yang juga pengajar Partai Politik dan Pemilu di Program Pascasarjana Ilmu Politik Fisip UI.

Tentang opini publik bentukan gerakan anti-korupsi yang cenderung menyudutkan Bawaslu, Mulyadi mengingatkan semua pihak agar menghormati kaidah proses dan hasil yang benar,

“Cara yang saya tawarkan mungkin lebih masuk akal yaitu dengan menghukum mati atau penjara seumur para koruptor agar tidak memiliki peluang ikut pemilu. Sebab, dari sudut pandang politik, mencabut hak politik warga negara merupakan kejahatan politik yang sulit diterima oleh nalar politik,” kata Mulyadi yang pernah menjadi Tenaga Ahli Bawaslu. (Sam Hamdan)