
Jakarta, MERDEKANEWS- Penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung adalah perkara keperdataan, bukan pidana.
Hulu perkara berkaitan dengan perjanjian utang berupa surat utang dari negara kepada obligor.Proses penerbitan SKL BLBI ini dibahas melalui serangkaian dari Jl Teuku Umar hingga Istana Negara, yang dihadiri sejumlah pejabat negara.
“Perkara ini bukan melakukan pemidanaan, yang justru kemungkinan besar malah tidak akan tercapai tujuan keadilan dan pengembalian keuangan negara yang maksimal,” kata Wakil Direktur Indonesia Advocacy and Public Policy Hendra Hidayat kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (6/7).
Menurutnya, masyarakat sebaiknya lebih teliti dan cermat memandang perkara tersebut. SKL BLBI merupakan produk kebijakan negara yang diputuskan setelah melalui proses pembahasan lintas-lembaga. Bukan keputusan personal.
“Oleh karena itu, memidanakan seseorang dalam kasus ini harus hati-hati. Potensi salah orang atau error in persona sangat mungkin terjadi,” katanya.
Sifat keperdataan itu tersirat dari keterangan mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri yang juga menjabat Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Kwik Kian Gie dalam persidangan, Kamis (5/7/2018).
“BLBI itu keluarnya surat utang, yang proses pengucurannya berlangsung selama 3 hari sebesar Rp144,5 triliun," kata Kwik.
Ketika di kemudian hari terjadi permasalahan dalam hal pengembalian utang tersebut, Kwik mengatakan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Awalnya, prinsip yang dipegang oleh Kwik adalah pengembalian berupa uang tunai.
“Buat saya ukurannya ada uang tunai yang masuk atau tidak,” kata Kwik.
Perkembangan berikutnya, pengembalian utang itu dilakukan juga dengan penyerahan aset milik para obligor dengan memperhatikan asas komersial dan prospek usaha. Selain itu, Kwik juga menekankan adanya jaminan personal (personal guarantee), dari obligor. “Buat saya itu penting,” ujarnya.
Pada bagian lain, Kwik menceritakan tentang proses penerbitan SKL bagi para obligor yang ternyata dilakukan melalui serangkaian pembahasan yang melibatkan sejumlah pejabat. Saat itu, Kwik menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Menurut Kwik, pertemuan pertama sempat berlangsung di rumah Presiden Megawati Soekarnoputri, Jl. Teuku Umar, Jakarta Pusat, dihadiri oleh Menko Ekuin Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Menteri Keuangan Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, dan Jaksa Agung MA. Rahman.
Hasilnya, disepakati penerbitan SKL untuk debitur kooperatif, meskipun Kwik berposisi menolak SKL. Pertemuan kedua di Istana Negara. Pertemuan ketiga di Istana Negara dihadiri pejabat yang sama plus Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra.
“Hampir semua setuju SKL kecuali saya. Yang agak netral Bambang Kesowo (Menteri Sekretaris Negara),” kata Kwik.
Berkaitan dengan Sjamsul Nursalim (SN), menurut Kwik, pertemuan tersebut tidak membahas khusus. Jadi, lanjut Kwik, ketua BPPN menandatangani SKL itu berdasarkan pada Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dan keputusan-keputusan KKSK, terutama keputusan 17 Maret 2004. “Tanda tangan ketua BPPN atas dasar Inpres hingga keputusan-keputusan KKSK, apabila semua kewajiban dipenuhi,” kata Kwik.
Dalam persidangan, Syafruddin mengatakan, semua yang ditugaskan oleh KKSK kepada dirinya selaku ketua BPPN sudah dilaksanakan serta diverifikasi oleh tim hukum dan KKSK.
“Kami mengambil alih 12 perusahaan milik SN. Suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh ketua BPPN mana pun sejak zaman Gus Dur,” katanya.
Aset Dijual Murah
Saksi selanjutnya, adalah Rizal Ramli, mantan Menko Ekuin , dan Menteri Keuangan. Rajawali Ngepret ini menekankan, pada kerugian negara yang jauh lebih besar ketika aset petambak Dipasena dijual murah oleh Menkeu Sri Mulyani pada tahun 2007.
Menurut Rizal, kewajiban SN sebesar Rp28,5 triliun termasuk utang petambak. BPPN mengusulkan restrukturisasi. Utang petambak dikurangi menjadi Rp100 juta/orang sehingga total 11 ribuan petambak menjadi Rp1,35 triliun.
“Tahun 2005, nilai aset yang diserahkan Rp4,5 triliun. Aneh bin ajaib, tahun 2007 dijual Rp200 miliar oleh Menkeu Sri Mulyani. Ini kerugian yang jauh lebih besar,” tegas Rizal.
(Aziz )
-
Marimutu Sinivasan Ditangkap, Menkumham Apresiasi Petugas Imigrasi PLBN Entikong keberhasilan ini menunjukkan tingkat integritas yang tinggi dari petugas imigrasi di perbatasan
-
Hendak Nyebrang ke Malaysia, Buronan BLBI Marimutu Sinivasan Ditangkap di PLBN Entikong! Imigrasi Entikong mengamankan obligor BLBI yang merupakan bos Texmaco
-
Satgas BLBI Sita The East Tower Milik Obligor Bank Asia Pacific Senilai Rp786 Miliar Penyitaan tersebut dilaksanakan sebagai bagian upaya negara mendapatkan kembali dana BLBI yang telah dikucurkan kepada bank pada saat terjadi krisis moneter beberapa waktu lalu
-
Tiru AS, Obligor Nakal Sebaiknya Dibangkrutkan Ketimbang Disita Asetnya Presiden Direktur Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri gemes melihat penanganan aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Pemerintah.
-
KPK Ditantang Bongkar Semua Kasus BLBI Bongkar kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), KPK jangan hanya ditingkat Sjamsul Nursalim dan isterinya, Itjih Nursalim saja.Semua penikmat BLBI harus diungkap secara trasnparan tanpa tebang pilih.