merdekanews.co
Senin, 02 Juli 2018 - 18:11 WIB

Polda Sumut Lamban Usut Aksi Anarkis di Pilkada Taput, Kapolri Didesak Turun Tangan

doci - merdekanews.co
Kapolri Tito Karnavian/ist

Jakarta, MERDEKANEWS - Kapolri Jenderal Tito Karnavian didesak segera turun tangan mengatasi persoalan Pilkada di Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) Provinsi Sumut. Campur tangan Kapolri sangat dibutuhkan mengingat lambannya aparat polisi setempat dalam mengamankan proses pilkada hingga menimbulkan kericuhan massa. Kapolda Sumut Irjen Paulus Waterpauw dinilai kurang serius menanggapi persoalan yang berpotensi mengganggu ketertiban di Taput.

Demikian ditegaskan Roder Nababan selaku Kuasa Hukum dari pasangan nomor urut 1 Nikson Nababan-Sarlandy Hutabarat dalam siaran persnya, Senin (2/7/2018). Roder mengaku kecewa terhadap kinerja Polres Taput maupun Polda Sumut yang cenderung melakukan pembiaran terhadap aksi anarkis dari massa pasangan nomor urut 2, JTP-Frens. “Kenapa polisi belum menindaklanjuti dan menangkap pelaku serta aktor intelektual kericuhan itu? Kami meminta agar Kapolri segera turun tangan,” tegas Roder.

Roder menuturkan, awalnya proses pencoblosan hingga penghitungan suara sampai penandatanganan formulir C-1 oleh Pelaksana Pilkada, bersama para saksi dari setiap paslon, berjalan aman dan tertib. Seluruh pihak menyetujui form C-1 yang memuat data rekap seluruh proses di Tempat Pemungutan Suara (TPS). “Artinya semuanya setuju, mulai dari Daftar Pemilih Tetap (DPT), jumlah pemilih yang datang ke TPS, jumlah surat suara batal, jumlah surat suara sah dan jumlah perolehan suara masing masing paslon,” paparnya.

Namun selanjutnya, salah satu paslon diduga telah memobilisasi massa dan menyeruduk kantor Kecamatan Siborongborong di Taput. Mereka pun menyasar tempat penyimpanan kotak suara dari TPS. Di Kantor Camat itu, tempat penyimpanan kotak suara dibanting oleh massa yang berjumlah ratusan. Mereka meminta bertemu camat dan pelaksana pilkada di kecamatan.

Bahkan, salah satu kotak suara sempat dibuka paksa tim sukses paslon yang bernama LN atas perintah BP. LN diminta membawa pergi amplop berisikan hasil perhitungan kotak suara. “LN sempat salah pengertian, dia kembalikan amplop itu ke dalam kotak suara. Namun BN kembali memerintahkan LN mengambil amplop dari kotak suara dan menyuruhnya pergi," kata Roder.

Selanjutnya, massa yang hadir berteriak dan membanting kotak suara kosong itu. Aksi itu direkam dan dibagikan ke media sosial facebook. Seolah-olah, massa menemukan adanya kotak suara yang kosong, sambil menuding paslon lain telah bertindak curang. Padahal, kotak suara itu jelas tidak kosong. “Kami menduga ada paslon memobilisasi massa setelah tahu kalah perolehan suara," tegas Roder.

Roder melanjutkan, selama aksi pembukaan paksa kotak suara tersebut, terlihat juga sejumlah personel kepolisian yang memang ditugaskan mengamankan kotak suara. Namun anehnya, aparat kepolisian tidak melakukan tindakan apapun dan malah ikut menyaksikan aksi anarkis massa. “Ini yang sangat disesalkan. Ada apa dengan polisi. Kok diam saja?” Roder mempertanyakan.

Menanggapi hal ini, Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Bekto Suprapto juga sudah angkat bicara. Bekto menegaskan, aparat kepolisian, TNI, dan ASN dilarang terlibat dalam politik praktis. “UU Pilkada harus menjadi rujukan dalam penanganan masalah Pilkada,” ujar Bekto kepada wartawan di Jakarta, Senin (2/7/2018).

Terkait adanya dugaan keberpihakan polisi, Bekto menyarankan agar tidak ragu-ragu melaporkannya kepada Propam Polda Sumut atau langsung ke Mabes Polri. “Yang penting laporan harus disertai dengan fakta hukum,” ujar Bekto. (doci)