
Jakarta, MERDEKANEWS - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), menilai, rencana Kementerian Perdagangan menurunkan Harga Eceran Tertinggi (HET) di Indonesia Barat tidak masuk akal. Sama halnya dengan memukul angin, tak akan ada hasilnya, malah capek sendiri.
Kepala Penelitian CIPS, Hizkia Respatiadi di Jakarta, Senin (28/5/2018), mengatakan, sejak awal penerapan HET tidak akan efektif untuk menurunkan harga karena hanya bertujuan meredam harga di tingkat konsumen tanpa memikirkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan para pedagang dan petani.
"Langkah ini hanya akan semakin memberatkan para petani dan pedagang, terutama pedagang kecil. Keuntungan petani tidak akan meningkat karena beras hasil panen sudah dipatok sesuai dengan Harga Pokok Pembelian (HPP). Sementara itu pedagang kecil dipaksa menurunkan harga jual padahal biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan beras sudah lebih dari besaran HET itu sendiri," papar Hizkia.
Menurut Hizkia, penerapan HET juga berisiko memunculkan adanya risiko pencampuran beras berkualitas tinggi dengan beras berkualitas rendah demi menghindari kerugian. Selain itu, ujar dia, ada biaya yang harus ditanggung pada pedagang eceran saat bertransaksi dengan pedagang di tingkat grosir, seperti biaya transportasi dan upah tenaga kerja. Biaya tambahan tersebut, lanjutnya, juga tidak diperhitungkan pemerintah saat menetapkan HET beras.
Ia berpendapat bahwa daripada menurunkan daripada menurunkan besaran HET, pemerintah sebaiknya fokus membenahi rantai distribusi beras yang panjang. Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VI DPR, Dito Ganinduto menyatakan perlunya keseimbangan dalam menentukan harga beras di tengah masyarakat. Agar tidak memberatkan warga dan merugikan petani yang memproduksinya. "Yang terpenting sekarang adalah menjaga harga beras ke konsumen bagus, begitu juga dengan harga dari petani ke produsen bagus," kata Dito.
Menurut Dito, dengan demikian maka usaha petani juga bakal bertumbuh kepada petani dan kebijakan yang ada tidak hanya memberikan harga murah kepada warga yang menjadi konsumen. Politisi Golkar itu juga mempertanyakan mengenai rencana Kementerian Perdagangan yang kembali bakal mengimpor beras padahal Bulog menyatakan bahwa ketahanan pangan saat ini cukup.
Sebagaimana diwartakan, Perum Bulog berencana menjual beras renceng dalam bentuk sachet agar masyarakat kelas terbawah tetap bisa mengonsumsi nasi dengan harga yang relatif terjangkau.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso dalam audiensi dengan media di Kantor Perum Bulog, Jakarta, Senin (14/5), mengatakan beras renceng akan dijual dalam kemasan 250 gram dan 500 gram dengan harga termurah Rp2.000 per bungkus.
Ia menjelaskan solusi beras renceng ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan beras harus terjangkau seluruh lapisan masyarakat dan tersedia bahkan di warung-warung kecil, layaknya kopi dan mie instan yang sudah pasti tersedia. (Eko Satria)
-
Evaluasi Total Buntut Pesta Miras di Lapas Sebabkan Dua Napi Tewas! tragedi pesta minuman keras oplosan yang mengakibatkan dua orang narapidana meninggal dunia dan 23 orang napi lainnya keracunan
-
Berantas Korupsi ke Akar-akarnya!Legislator Dukung Niat Presiden Prabowo Soal RUU Perampasan Aset Ini perlu sekali untuk, bagaimana kita di dalam rangka memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya
-
Aksi Premanisme Berkedok Ormas Ganggu Iklim Investasi, Revisi UU Ormas Perlu Atau Tidak? Aksi premanisme berkedok organisasi masyarakat (ormas) belakangan banyak dilaporkan mengganggu iklim investasi di Indonesia
-
Mbah Tupon Jadi Korban: Jangan Sampai Tanah Rakyat Habis Dicuri Mafia Tanah! Dia pun meminta Polri dan Kementerian ATR/BPN menaruh atensi penuh terhadap kasus tersebut, karena jangan sampai tanah rakyat habis dicuri oleh mafia tanah
-
Mendikdasmen Paparkan Pelaksanaan Program Prioritas Pendidikan Bermutu untuk Semua Mendikdasmen Paparkan Pelaksanaan Program Prioritas Pendidikan Bermutu untuk Semua