merdekanews.co
Jumat, 26 Juli 2024 - 19:20 WIB

Jangan Terjebak Kebanggaan Semu Gelar Akdemik, Mendagri: Lulusan IPDN Harus Bisa Berpikir Secara Ilmiah

*** - merdekanews.co
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. (Foto: Puspen Kemendagri)

Jatinangor, MERDEKANEWS -- Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Muhammad Tito Karnavian menjelaskan makna penting gelar akademik, baik di jenjang S1, S2, dan S3. Dia menekankan, bukan tentang meraih gelar, tetapi mengubah cara berpikir.

Adapun skripsi, tesis, dan disertasi berfungsi untuk melatih cara berpikir, berusaha mencari solusi dari suatu permasalahan dengan menggunakan metodologi ilmiah.

Hal inilah yang disampaikan Mendagri pada acara Pembekalan kepada Calon Wisudawan Program Sarjana Terapan Ilmu Pemerintahan, Program Magister Terapan Studi Pemerintahan, dan Program Doktor Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Tahun Akademik 2023/2024.

Kegiatan itu berlangsung di Gedung Balairung Rudini, Kampus IPDN Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Jumat (26/07).

“Saya ingin menyampaikan bahwa S1, S2, S3 mau belajar ini adalah mengubah cara berpikir dari non-science menjadi science, dari tidak berpikir ilmiah menjadi berpikir ilmiah, tapi ada tingkatannya. Pada saat di S1 targetnya cuma satu saja, mengubah dari cara berpikir yang non-ilmiah misalnya tebak-tebakan atau feeling-feeling-an, insting, menjadi berbasis ilmiah,” katanya.

Mendagri menjelaskan, pada tingkat S1, mahasiswa dilatih cara berpikirnya untuk menjawab pertanyaan “what”, dengan menggunakan referensi standar kemudian mendemonstrasikannya ke dalam metodologi yang paling dasar.

Selanjutnya pada tingkat S2 lebih kompleks lagi, yakni menjawab pertanyaan “how”. Pertanyaan ini membawa kepada analisis yang lebih mendalam, dengan referensi lebih banyak dan metodologi lebih kompleks.

Adapun pada tingkat S3 menjawab pertanyaan “why”. Pada tingkatan ini mahasiswa dituntut bisa menganalisis, menjawab, dan menemukan teori baru.

“Lebih hebat lagi dia mematahkan teori itu, temuan saya tidak cocok dengan teori itu, itu hebat, yang paling hebat kalau dia menemukan teori baru, itulah S3. Cara berpikir sudah menantang konsep orang lain yang melakukan penelitian juga dengan komprehensif, dan teorinya berlaku universal dan kita bisa patahkan, itu hebat,” ungkapnya.

Dirinya mengaku tidak begitu tertarik dengan problem yang dibuat dalam skripsi, tesis, maupun disertasi. Baginya yang menarik adalah bagaimana kerangka, pola, atau cara mahasiswa menyelesaikan permasalahan menggunakan referensi, studi kepustakaan, dan metodologi yang benar.

Lewat referensi, maka akan bisa dibandingkan masalah apa yang hendak diselesaikan dan bagaimana solusinya. Selanjutnya, melalui studi pustaka, mahasiswa bisa mencari teori yang relevan.

Kemudian, lanjut Tito, dengan metode yang tepat, mahasiswa dapat mencari dan mengumpulkan data yang berkualitas, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

“Kunci daripada S3 terutama adalah kemampuan metodologi, dan setelah itu, baru kita menganalisis semua temuan penelitian kita. Metodologi penelitian kita dengan referensi dan studi kepustakaan itu dianalisis, sehingga timbul, kita bisa memiliki opsi-opsi solusi pemecahan masalah jawaban atas masalah dan kita memilih yang kita anggap yang terbaik dari semua opsi itu. Itulah cara berpikir ilmiah,” jelasnya.

Mendagri menekankan kepada calon wisudawan IPDN dari tingkat sarjana hingga doktor agar tidak terjebak dengan kebanggaan semu terhadap gelar yang tidak memberikan makna apa-apa untuk diri pribadi.

Menurutnya, gelar gampang dicari tetapi cara berpikir tidak. Cara berpikir inilah yang menjadi senjata penting untuk menghadapi berbagai permasalahan yang ditemui sehari-hari.

“Nah itulah sebetulnya makna yang terpenting dari seorang sarjana. Jadi, sekali lagi bukan gelarnya S1, S2, S3, dan lain-lain, tapi adalah mengubah cara berpikir. It's not really the title you are after, what we are after is changing our way of thinking to be scientific,” pungkasnya.

(***)