merdekanews.co
Sabtu, 20 Juli 2024 - 20:10 WIB

CrowdStrike Biang Kerok Bencana IT Global, Bikin Down Sistem Operasi Microsoft

Jyg - merdekanews.co
Sistem operasi Microsoft di berbagai negara tumbang. (Foto: istimewa)

Jakarta, MERDEKANEWS -- Sejumlah layanan Microsoft mengalami gangguan akses atau down. Dampaknya, berimbas pada penerbangan, saluran televisi, perbankan hingga sisitem pembayaran mengalami kelumpuhan.

Belakangan diketahui sistem keamanan dari CrowdStrike yang disebut-sebut sebagai dalang masalah yang melanda sistem operasi Microsoft di berbagai negara.

Melansir dari The Guardian, gangguan ini disebabkan oleh perusahaan keamanan siber, CrowdStrike. Pembaruan pada salah satu perangkat lunak CrowdStrike, Falcon Sensor yang mengalami malfungsi sehingga menyebabkan kerusakan pada komputer yang mengoperasikan Microsoft Windows dan hal itu menyebabkan kegagalan teknologi besar di seluruh dunia.

Mudahnya, perangkat lunak yang dimaksudkan untuk melindungi sistem komputer yang vital dari kerusakan dan gangguan justru membuat perangkat lunak tersebut tidak berfungsi.

CEO CrowdStrike George Kurtz telah meminta maaf atas pemadaman tersebut. Menurut CrowdStrike, hal itu disebabkan oleh kesalahan kode.

"Ini bukan insiden keamanan atau serangan siber. Masalahnya telah diidentifikasi, diisolasi, dan perbaikan telah dilakukan," tulis Kurtz melalui X (sebelumnya Twitter).

"Kami merujuk pelanggan ke portal dukungan untuk pembaruan terbaru dan akan terus memberikan pembaruan yang lengkap dan berkelanjutan di situs web kami," sambungnya.

Tak hanya itu pemadaman lainnya juga melanda layanan cloud Azure Microsoft dan menyebabkan serangkaian kegagalan tambahan. Microsoft menyatakan bahwa kedua pemadaman tersebut tidak ada hubungannya dan layanan Azure telah kembali online.

Sementara itu, Kurtz mengatakan bahwa mungkin perlu waktu sebelum sistem pulih sepenuhnya dari pemadaman yang disebabkan oleh CrowdStrike.


Mengenal CrowdStrike
CrowdStrike adalah perusahaan keamanan siber Amerika Serikat (AS) yang didirikan pada 2011 dan berbasis di Austin, Texas. Sejak didirikan, perusahaan ini telah berkembang pesat dengan mulai menawarkan serangkaian layanan keamanan menggunakan perangkat lunak berbasis cloud.

Melansir cnbcIndonesia, CrowdStrike mengumpulkan jutaan dana dari pusat-pusat kekuatan di Silicon Valley, seperti cabang modal ventura Google. Dilaporkan,

CrowdStrike telah mempekerjakan ribuan pekerja dan bisnis jasa di berbagai negara di seluruh dunia. Selain itu, CrowdStrike mengklaim bahwa pihaknya melindungi 538 dari 1000 perusahaan Fortune.

Selama beberapa dekade terakhir, CrowdStrike sangat sukses dengan nilai pasar sekitar US$83 miliar atau sekitar Rp1.345 triliun (asumsi kurs Rp16.213/US$) pada penutupan bursa Kamis (18/7/2024), meskipun harga sahamnya sempat jatuh pada perdagangan Jumat.

Dilaporkan, nilai saham CrowdStrike menurun drastis setelah pemadaman tersebut, yakn turun sebanyak 13 persen pada Jumat (19/7/2024) pagi.

Meskipun produk utama perusahaan ditujukan untuk memblokir peretas dan malware, CrowdStrike juga digunakan untuk menyelidiki pelanggaran data besar.

Pada 2016 lalu, Komite Nasional Demokrat (DNC) menugaskan CrowdStrike untuk menyelidiki peretasan server DNC oleh Rusia, sementara Sony Pictures mempekerjakan perusahaan tersebut untuk menyelidiki serangan siber 2014 yang terkait dengan Korea Utara.

Investigasi CrowdStrike terhadap peretasan DNC juga sebelumnya memainkan peran kecil, tetapi penting dalam pemakzulan pertama Donald Trump dan penyelidikan penasihat khusus terhadap campur tangan Rusia dalam pemilu 2016.

Trump, menggemakan teori konspirasi yang banyak ditolak bahwa CrowdStrike terlibat dalam upaya menutup-nutupi DNC, dengan tidak masuk akal menyarankan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy untuk menyelidiki perusahaan tersebut. Hal ini merupakan bagian dari tuduhan quid pro quo terhadap presiden AS.

(Jyg)