merdekanews.co
Senin, 15 Juli 2024 - 12:10 WIB

Hentikan Proses Pengangkatan Guru Besar yang Melanggar Etika dan Merusak Pendidikan Tinggi di Indonesia

Viozzy - merdekanews.co
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Jakarta, MERDEKANEWS -- Terkait maraknya pelanggaran etika serius dalam pengangkatan guru besar, serta maraknya pejabat dan politisi yang menjadi profesor dengan cara-cara yang melanggar aturan, Aliansi Akademisi Indonesia yang didukung oleh 1180 akademisi dari ratusan perguruan tinggi Indonesia dan luar negeri menyampaikan keprihatinannya.

Dalam keprihatinannya, Aliansi Akademisi Indonesia mengungkapkan bahwa telah terbongkar banyak kasus pengajuan guru besar (GB) yang terindikasi melanggar etika akademik secara serius, bahkan dapat diduga melanggar hukum (Tempo 8 Juli 2024).  Kasus semacam ini menurut AAI telah terjadi bertahun-tahun.

Terdapat gejala semakin banyak pejabat dan politisi yang berminat (dan berhasil), dengan segala cara, memperoleh gelar professor. Hal ini dilakukan tanpa tujuan akademik yang jelas dan tanpa memahami dampak kerusakannya bagi dunia ilmu pengetahuan Indonesia.

Masyarakat luas, bahkan kalangan kampus sendiri, belum memahami makna GB atau professor– yang artinya adalah guru—dan apa tujuannya. GB atau Professor adalah jabatan dan bukan gelar.

Tradisi universitas di seluruh dunia memberi jabatan GB hanya kepada dosen yang mengajar di universitas, yang bersifat sementara dan akan berakhir seiring masa tugasnya (alih profesi, pension, wafat, dll).

Aliansi Akademisi Indonesia menjelaskan, sejumlah  persyaratan akademik melekat pada seorang profesor, yang harus dipenuhinya, seperti:

a) Memegang tenurial atau legacy keilmuan tertentu yang menjadi tanggungjawabnya dan sudah ditekuninya dalam masa yang panjang selama kariernya, dan dikembangkan melalui pengajaran, riset, dan publikasi;

b) Melakukankaderisasikepadamahasiswadoktoralataugenerasilebihmudaagar legacy keimuan itu tetap hidup;

c) Bertanggungjawab mengembangkan keilmuannya dengan mengajak mahasiswa berjejaring dengan komunitas ilmiah di dalam negeri dan di luar negeri;

d) Bertanggungjawab memperkenalkan keilmuan dan universitas tempat dia bernaung ke komunitas ilmiah di dunia, agar terjalin kolaborasi transdisiplin dan menghasilkan riset-riset dengan temuan terdepan demi kemaslahatan kemanusian lintas batas;

e) Menjadi intelektual publik karena melalui ilmunya telah melakukan sejumlah kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Menurut Aliansi Akademisi Indonesia, biasanya kegurubesaran diajukan oleh peer keilmuan di program studi/ departemen ke fakultas, selanjutnya ke universitas dan negara, karena memang seorang calon dianggap akan memberi manfaat besar bagi institusinya apabila ia diberi jabatan profesor. Pihak yang mendapat manfaat dari kegurubesaran terutama adalah institusi, dan tentunya diri yang bersangkutan. Oleh karena itu yang mengusulkan kegurubesaran seseorang adalah institusi.

Apakah berbagai persyaratan dan kondisi ini dipahami oleh mereka yang berupaya (dan berhasil) menjadi guru besar secara nir etika dan nir kehormatan? 

Persyaratan menjadi guru besar di Indonesia direduksi sedemikian rupa oleh berbagai regulasi, yang intinya semata diletakkan pada persyaratan kuantitatif.Persyaratan tersebut jelas mereka meliputi pemenuhan sejumlah kum tertentu (minimal 850 SKS), memiliki setidaknya satu artikel jurnal terindeks Scopus sebagai penulis pertama. Tidak dipersoalkan bagaimana cara memperoleh jumlah kum dan artikel jurnal.Kondisi ini sangat mudah dimanipulasi sebagaimana diberitakan media secara luas.

Aliansi Akademisi Indonesia menyatakan, kejadiannya terus berlangsung sehingga yang diketahui publik hanyalah fenomena puncak gunung es. Sementara pihak pemerintah nampak melakukan pembiaran atas terjadinya tindakan tercela ini, bahkan ditenggarai dilakukan oleh oknum di kementrian sendiri berkonspirasi dengan oknum di universitas serta para oknum (calon) guru besar yang bersangkutan.

Menyikapi kondisi tersebut, Aliansi Akademis Indonesia dalam pernyataan Sikapnya menyatakan bahwa proses pencapaian guru besar dengan cara-cara curang adalah suatu pelanggaran akademik yang serius yang bisa menjurus perbuatan melanggar hukum dan merugikan bangsa, karena merupakan:

a) Bentuk pembohongan dan telah menciptakan kredensial palsu yang membahayakan sendi-sendi kehidupan universitas dan para ilmuwannya, juga masyarakat luas.

b) Penodaan terhadap kerja keras para dosen yang berintegritasnya dalam menjalankan profesinya memproduksi ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan masyarakat.

c) Penyebab terjadinya “inflasi” atas kualitas guru besar di Indonesia d) pencemaran nama baik universitas dan ilmuwan Indonesia di mata internasional

Aliansi Akademis Indonesia menyampaikan seruan dan desakan bahwa dengan ini menyerukan:

Pertama, para civitas akademika perguruan tinggi tetap memegang teguh integritas dan etika akademik dalam mengupayakan capaian jenjang kepangkatan yang lebih tinggi terutama guru besar.

Kedua, pemerintah cq. Kemendikburistek segera mencabut regulasi yang memudahkan seseorang yang tidak berprofesi sebagai pengajar di perguruan tinggi dengan mudah mendapatkan guru besar.

Ketiga, pemerintah segera melakukan reformasi manajemen dan proses pengelolaan kenaikan jenjang dosen, berdasarkan koreksi total atas segala kelemahan sistem yang selama ini dibiarkan.

Keempat, pemerintah segera mencabut jabatan profesor mereka (baik pihak luar maupun dalam kampus) yang sudah berhasil mendapatkannya dengan cara-cara curang berdasarkan investigasi yang dapat dipertanggungjawabkan

Kelima, pemerintah dan universitas menghukum kelompok atau individu yang memiliki kepentingan dan mendapat keuntungan finansial maupun kekuasaan dari tindakan curang ini, termasuk agen jaringan penerbit jurnal predatory internasional.

Kami menantikan langkah nyata dari pemerintah cq Mendikbudristek dalam merespon masalah amat serius dalam dunia pendidikan tinggi. (Viozzy)