merdekanews.co
Sabtu, 24 Maret 2018 - 00:55 WIB

Survei Ini Jujur atau Bohong? KPU-Pun Tak Bisa Jamin

Joko Umbaran - merdekanews.co

Jakarta, MERDEKANEWS - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatur lembaga survei melalui Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2017 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum (Pemilu).

Dalam peraturan tersebut di Pasal 49 dikatakan, hasil survei atau jajak pendapat diumumkan ke publik dengan pemberitahuan sumber dana, metodologi, jumlah responden, dan tanggal pelaksanaan. Peraturan KPU itu belum sepenuhnya bisa menelisik, apakah produk riset dari sebuah lembaga survei dikatakan tidak membohongi para pemilih.

Ya, jelaslah karena aturan itu sebatas untuk memaksa lembaga survei untuk memenuhi tuntutan akuntabilitas dari produknya. Contohnya, melalui tehnik pertanyaan (question wording) yang disampaikan ke responden. Jika A (nama samaran kepala daerah saat ini atau petahana) berhasil mengurangi angka penggangguran, siapakah yang akan bapak atau ibu pilih sebagai calon kepala daerah pada pilkada mendatang?

Pilihan jawabannya, ada kandidat A, B, C, dan seterusnya. “Di sini, responden atau pemilih sudah mulai digiring pada pilihan kandidat A. Atau ada menempatkan angka yang salah. Seperti angka tingkat kesukaaan publik lebih tinggi daripada angka tingkat keterkenalan seorang tokoh.

Di kode etik World Association Public for Association Opinion Research (WAPOR) contohnya. Perihal yang disebutkan PKPU tersebut sudah jelas dan rinci. Dari urusan sumber dana, metpen, jumlah responden, level of confidence, margin of error, tanggal pelaksanaan, wilayah riset, dan lainnya. Sudah detil di sana.

Pengaturan seperti yang dinyatakan dalam PKPU itu, merupakan perulangan dari kedua rezim komisioner sebelumnya di KPU. Di rezim Abdul Hafiz Anshari (2007-2012) persoalan ini pernah diulas.

Begitu pula di rezim Husni Kamil Malik (2012-2017). Di kedua rezim isu tersebut menimbulkan pro dan kontra. Di rezim Husni Kamil Malik, lembaga survei diminta untuk mendaftarkan diri ke KPU sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dan pertanggungjawaban publik.

Maka lembaga yang sudah mendaftarkan ke KPU diberikan semacam sebuah piagam yang menyatakan berhak melakukan jajak pendapat atau survei Pemilu 2014. FFH adalah salah satu lembaga yang mendapatkan pernyataan tertulis itu dari KPU.

Kembali hidupnya pasal pengaturan itu, dilatarbelakangi maraknya hasil survei seliweran di ranah publik. Pangkal persoalannya adalah kerap adanya perbedaan di antara hasil riset yang dilakukan oleh sejumlah lembaga riset. Perbedaan itu tidak kali ini saja. “Ilmu ini tergolong baru. Dan tengah membentuk dirinya. Terkait hasil survei biarlah masyarakat yang menilai”.

Untuk memitigasi isu itu, FFH sudah pernah memberikan pelatihan bagaimana mendeteksi dini dan mengidentikasi secara sederhana mnegenai hasil riset yang dilaksanakan oleh lembaga survei pada rezim pemilu.

Saat itu, para wartawanlah yang diberikan pelatihan. Alasan pemilihan wartawan, karena merekalah garda terdepan dalam memublikasikan hasil riset dari lembaga survei. Dengan begitu, para wartawan sudah tahu secara sederhana dengan produk riset yang dihasilkan. “Ini seperti peraturan Zombie. Hidup di kala rezim pemilu. Tapi semangatnya baik dan harus didukung. Karena untuk melindungi publik dari serbuan informasi.”

Ada cara cepat dan sederhana bagaimana menilai sebuah produk riset dari lembaga survei. Lihat komponen utama. Pertama, jumlah responden. Kedua, level of confidence (tingkat kepercayaan). Ketiga, margin of error (Moe). Jika ketiga saling berisan maka secara metodologi dapat dipertanggungjawabkan. Untuk cara cepatnya publik dapat menggunakan fasilitas hitung cepat di http://www.raosoft.com/samplesize.html.

Karena itu, jika KPU mau lebih maju, maka harus menjalankan advokasi hal ini kepada pemilih atau publik. Tentu saja bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan kerjasama dengan pelbagai pihak agar lebih maksimal dan tidak ditangani sendiri. “Soal hasil lembaga riset yang bodong dan kw bakal hilang dengan sendirinya. Toh sudah banyak contohnya.”

Meskipun demikian, baiknya penyelenggara pemilu fokus saja dengan core businessnya. Seperti bagaimana KPU sukses mencapai target tingkat partisipasi 77.5 persen yang telah dipatok. Kemudian soal pendapilan kabupaten-kota yang tengah dinantikan publik.

Lalu, Bawaslu sebagai Badan Pengawas Pemilu. Bagaimana Bawaslu menerjemahkan definisi operasional seperti kampanye politik uang yang gencar dilakukan belakangan ini. “Sudah menentukan di mana pattern (corak) segmentasi masyarakat yang rentan terhadap politik uang dan di mana locusnya (wilayah). Berdasarkan gender, usia, pendidikan, atau profesi?"  Jadi jangan mengikuti agenda setting dari publikasi pemberitaan yang tengah ramai. Mereka harus punya agenda setting sendiri.

Penulis: Dian Permata, Peneliti Senior dari The Founding Fathers House (FFH)

  (Joko Umbaran)