merdekanews.co
Minggu, 18 Februari 2024 - 08:55 WIB

Cooling System di Era Post Truth 

Viozzy - merdekanews.co
Ilustrasi post truth.(SHUTTERSTOCK/ FRANKHH)

Lembah Someah, MERDEKANEWS -- Konflik sosial pada umumnya karena perebutan sumber daya atau perebutan pendistribusian sumber daya. Bisa juga dikarenakan masalah harga diri. 

Suatu konflik terjadi sebenarnya merupakan puncak gunung es. Permasalahan-permasalahan yang tidak terselesaikan sudah menumpuk dan tinggal menunggu ada triger untuk leledakannya. 

Permasalahan yang tidak terselesaikan akan menimbulkan kekecewaan hingga kemarahan walaupun masih dapat dipendam. Sejatinya akan terus di omongkan ke mana-mana dan bagi orang yang tidak pernah mengalamipun bisa ikut menceriterakan. Dari mulut ke mulut ditambah-tambahi dan saling memiliki penafsir berbeda dari faktanya. Ini gosip. Semakin digosok semakin sip. 

Gosip ini tatkala berlapis-lapis dan terus-menerus dilakukan ini akan menjadi labeling. Pemberian label ini bisa untuk perorangan bisa untuk kelompok. Tatkala labeling ini terus dihembuskan seolah olah mjd kebenaran maka akan menjadi kebencian. 

Apa yang dilakukan di atas ini sangat mudah memicu konflik sosial apalagi tatkala dikaitkan atau dihubung-hubungkan dengan primordialisme. Primordial merupakan hal yang utama dan pertama bisa sara bisa juga komunitas atau kelompok kelompok kategorial (bisa dikatakan SARA : suku, agama, ras dan antar golongan). 

Di dalam primordial, emosional, spiritual diutamakan dan kadang mengabaikan rasionalitas. Pokok e atau dengan semangat siap membantu mengeroyok atau balas dendam dan menyerbu. Kelompok primordial tatkala sudah saling melabel saling membenci dari konflik perorangan pun bisa terjadi. 

Primordial dipilih atau digunakan karena untuk mendapatkan legitimasi walau hanya pada pembenaran bukan kebenaran. Apalagi kebenaran yang tidak berbasis hal-hal yang hakiki hanya berdasarkan persepsi. Kambing tatkala diteriaki orang banyak sebagai anjing, bisa saja semua meyakini itu anjing. 

Di dalam masyarakat yang majemuk, primordialisme sangat mudah untuk memecah belah atau mengadu domba satu sama lain. Antar suku, antar ras, antar agama, antar kelompok menjadi basis solidaritas pokok e yang sebenarnya pekok e. 

Rasionalitasnya koprol dibuang. Yang ada dikepalanya hanyalah hajar serbu hancurkan mereka musuh menghina kita. Spirit premanisme muncul walau kembali dengan keroyokkan dan pengkambinghitaman. Siapa yang lemah disalahkan dan ditumbalkan. 

Tatkala kelompok-kelompok primordial ini bersatu dan sudah menjadi crowd, maka akan muncul gerakkan anarkisme walaupun hanya dengan hembusan bullshit. Congohnya si c mengaku dikeroyok si a dan si b atau mengarang kejadian seolah dirinya teraniaya. Sifat orang orang yang cengeng, daya nalar rendah, tingkat emosionalnya tinggi, mudah di berdayakan untuk membakar amarah. 

Sikap ksatria rela digantungkan untuk diganti nalar koprol, mereka saat itu seakan penuh jiwa yang heroik walaupun melakukan hal-hal yang di luar nalar. Otaknya seakan dibekukan dicocok hidungnya diseret untuk mengamini anarkisme. Kesadaran kolektif sudah tidak mampu lagi dikendalikan. Seakan orang mabuk ia lupa dengan dirinya dan sadar menyesal dibelakang hari.

Di era digital, post truth melalui media semakin meraja lela. Post truth sebenarnya sudah dilakukan sejak jaman dahulu walaupun tidak separah di era digital apalagi pada media sosialnya. Menghasut memecah belah untuk saling membenci. Kita bisa belajar dari pemberontakan-pemberontakan mulai dari Ken Arok, hingga penyerbuan tentara China ke Kediri, pengusiran pasukkan Khubilaikan, pemberontakkan jaman Majapahit, masa kolonialisme, masa pra kemerdekaan hingga masa kini terus saja ada. 

Primordialisme menjadi pilihan apalagi kalau sudah mengatasnamakan apa saja apalagi yang berkaitan dengan harga diri ini mudah memicu konflik. Kadang kala pelakunya bisa dari orang gila. Tatkala diperiksa dinyatakan gila. Ini putus mata rantainya. 

Konflik sosial ini by design walaupun kadang tanpa kesengajaan. Bullshit di era post truth seolah kebenaran walaupun sarat trik intrik pembenaran. Memang ujung ujungnya juga kekuasaan penguasaan pendominasian sumber daya.

Masyarakat majemuk memerlukan adanya suatu pencerdasan hingga mampu menggunakan nalar atau logikanya secara baik dan benar sehingga tidak mudah dikoprolkan. Paradigma multikulturalisme ini mungkin mampu merasukkan kebanggaan akan kebhinekaan. Patriotisme cinta bangga akan bangsa dan negara tatkala bukan pada solidaritas semu apalagi dengan berbagai hal yang menjurus kepada premanisme. 

Kekuatan massa khususnya bagi masyarakat suatu bangsa dan negara layak untuk dijaga atau ditumbuh kembangkan kekayaan seni budayanya dalam konteks karakter bangsa bagi hidup tumbuh dan berkembangnya. Multikulturalisme ini menjadi kekuatan bagi pelestarian kebhinekaan dan mencerdaskan untuk memberdayakan melestarikan salah satunya melalui masyarakat sadar wisata. Kesadaran akan wilayahnya orang-orangnya suku bangsa bahasa dan seni budayanya menjadi aumber daya baru. Penanaman cinta bangsa bukan lagi doktrin namun penumbuhkembangan nalar dan daya logika waras. Lagi-lagi ujungnya memang politik sehat waras lah yang mampu menjaga dan membawa suatu bangsa maju dan sejahtera. 

Di era post truth, Plintiran dengan memanipulasi sesuatu dengan menambahkan, mengurangi, merubah,dsb sebagai pembenaran yang berdampak :

1. Salah persepsi

2. Memfitnah

3. Membodoh bodohi

4. Mengadu domba

5. Saling menghakimi

6. Munculkan solidaritas sosial yang kontra produktif

7. Merusak citra 

8. Menghilangkan rasa saling percaya

9. Tergerusnya kepercayaan publik

10. Memicu konflik sosial

Jaman edan post truth kebohongan diagungkan. Kebohongan dikemas sedemikian rupa walau dengan fakta dijadikan suatu pembenaran yang terus menerus diviralkan, dihembus-hembuskan agar diyakini sebagai kebenaran bahkan sampai si pembuatnya mempercayai kebohongannya itu sebagai suatu kebenaran. 

Situasi dan kondisi masyarakat majemuk yang kental dengan primordial tatkala dihembusi kebohongan diacak-acak emosinya bahkan jiwanya hingga tidak lagi tahu mana yang benar mana yang salah. 

Platon dalam bukunya the republik menganalogikan masyarakat sebagai binatang yang besar buas dan liar, kesenanganya makan minum dan sex (big animal and beast), para pawang pengendali binatang (kaum sofis) atau kaum pllitikus atau kaum yang tahu cara memgendalikan atau menyenang-nyenangkan binatang tadi. Tahu bagaimana memberi kesukaan atau kesenangan binatang tadi. Tahu kapan mengalah saat binatang itu ngamuk bahkan tahu bagaimana memgancam atau menakut-nakuti hingga memberdayakan si binatang tadi.

Colling system di era post truth untuk menjaga keteraturan sosial dan perdamaian diperlukan adanya pendinginan atau cooling system, yang setidaknya melakukan langkah-langkah :

1. Membuat event-event dengan berbagai program yang membuat happy dan mencerahkan

2  Membuat dan berdayak area publik atau tempat-tempat nongkrong untuk interaksi sosial

3. Membuat model dialog langsung atau melalui media

4. Membuat model-model komunitas

5. Membuat kesepakatan melalui berbagai cara untuk tetap rasional dan penyelesaian masalah dengan mengedepankan cara-cara damai

6. Memberdayakan soft power dan smart power 

7. Memberdayakan seni budaya

8. Membuat model-model counter issue yang mendamaikan, mendinginkan dan mencerdaskan

9. Membangun role model dari tokoh-tokoh formal dan non formal yang inspiratif

10. Memberdayakan sistem edukasi formal maupun non formal

Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan dalam menjaga keteraturan sosial membangun cooling system.  

 

Penulis

Cdl

Kasespim Lemdiklat Polri Irjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si. (Viozzy)