merdekanews.co
Jumat, 05 Januari 2024 - 20:18 WIB

Visi Misi AMIN: Kesejahteraan Nelayan (Bagian I)

Doddi - merdekanews.co
Foto: istimewa

Jakarta, MERDEKANEWS - Dalam visi misi AMIN tercatat hal-hal yang paling urgen. Sekaligus problem komunal yang terjadi turun temurun, seperti perizinan, alat tangkap, solar, market (pasar), Nilai Tukar Nelayan-Pembudidaya (NTN-P), dan lainnya. Kendati visi misi belum lengkap bicara maritim, ruang pesisir, kelautan-perikanan, garam, pembudidaya, industri pengolahan ikan, maupun galangan kapal, dan penegakan hukum laut. Masih perlu dilengkapi. Namun, visi misi AMIN dianggap memenuhi 50% problem solving kelautan-perikanan.

Garis besar haluan visi misi AMIN seputar kelautan-perikanan, khusus stakeholders nelayan yakni “Nelayan Senang, Nelayan Untung, Nelayan Bisa Menabung.” Kalimat ini, sejurus realitas nelayan sedang mengalami stakedown dan kriminalisasi hukum atas kegiatan melaut.

Pasangan AMIN memahami, menyelami dan mencoba menjahit kembali struktur sosial ekonomi nelayan yang tercerabut dari akar aktualisasi kegiatan melaut selama 10 tahun ini. Dari kata “Nelayan Senang,” visi AMIN merajut kembali asa kebahagiaan nelayan diatas tumpukan masalah yang berakibat sengsara kehidupannya.

Ekonomi sosial nelayan terbentur oleh mayoritas kebijakan negara yang membuat kemiskinan menganga. Kesejahteraan jauh dari basis kebijakan negara yang sesungguhnya. Spirit kebijakan ingin sejahtera, tetapi realisasi kebijakan menyengsarakan. Hal ini terjadi akibat negara menyerahkan seluruh paket kebijakan ekonomi pada oligarki.

Kesenangan dan kebahagiaan nelayan terabaikan. Negara tak pernah memiliki empati dan simpati terhadap realitas kemiskinan dan kesengsaraan nelayan itu sendiri. Maka, pasangan AMIN memberi harapan dan kepastian bahwa “Nelayan harus senang dan bahagia pada masa mendatang. Tanpa harus mereduksi proses kegiatan melaut.”

Begitu juga, kalimat “Nelayan Untung”, banyak hal yang dipertimbangkan atas kalimat visi Pasangan AMIN. Problemnya, fondasi visi misi poros maritim tidak menciptakan saluran market dan alur strategis sebagai jalan kesejahteraan. Maritim Indonesia selama 10 tahun ini, justru menjadi bancakan empuk yang hanya menarik investasi tanpa tindakan memulihkan kegiatan ekonomi masyarakat pesisir dengan pasar lokal, regional maupun global.

Pasangan AMIN menyusun kembali konsep “Nelayan Untung,” yang memiliki paradigma yang kuat: pertama, untuk kemajuan. Ada banyak stakeholders yang bangga dengan visi kerja pasangan AMIN yang harus disertai atensi kerja dan mengukur indikator keberhasilan.

Pasangan AMIN, sudah membaca bahwa persepsi publik terhadap kinerja pemerintah yang dinilai buruk dalam menjamin kehidupan masyarakat pesisir. Karena, belum ada unsur perbaikan bagi masyarakat kelas bawah seperti nelayan. Model indikatornya realistis, pemerintah dinilai baik dan berhasil oleh rakyatnya ketika pembangunan dan kebijakan itu menciptakan rasa manis dan bahagia.

Pandangan kedua, untuk kedaulatan. Penenggelaman kapal sering menjadi isu bunglis (nebeng) poros maritim sebagai tafsir dan tanda berdaulatnya Indonesia dimata asing. Ini yang salah ditafsirkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pelaksana tugas dan peran kebijakan dari visi poros maritim. Agenda berantas IUUF menjadi trendmark kedaulatan. Namun tak bernilai apa-apa, karena tak seiring sejalan dengan keuntungan yang didapatkan nelayan.

Pandangan ketiga, untuk Nelayan Untung dan Sejahtera, cara merealisasikan program pemerintah kedepan, memang harus rigit hingga tercapai aspirasi masyarakat dalam kebijakan pembangunan. Tentu, semua itu untuk kesejahteraan. Namun, bisa ditelaah lebih jauh, kalau kebijakan itu tanpa ada pemetaan, riset kajian dan dampak keuntungan sosial ekonomi. Maka kebijakan itu menyakitkan sekali.

Maka kedepan, Pasangan AMIN meramu kalimat “Nelayan Bisa Menabung,” tentu memiliki spirit yang bisa meningkatkan taraf hidup nelayan. Melalui berbagai terobosan.penting seperti perizinan, pembagian alat tangkap, market (harga pasar), Nilai Tukar nelayan, nilai tukar pembudidaya, dan pemberantasan ilegal fishing.

Pasangan AMIN telah merefleksikan bahwa kebijakan yang ada selama ini sangat tidak relevan dengan kebutuhan nelayan. Walaupun semua kebijakan bermuara pada kesejahteraan. Sebaliknya terjadi kemiskinan, pengangguran dan meningkatnya kriminalitas.

Banalitas terhadap nelayan itu terjadi akibat kebijakan pelarangan alat tangkap. Ditambah lagi, kebijakan yang melibat unsur investasi oligarki yang jauh dari cita-cita kerakyatan. Kedepan Pasangan AMIN diharapkan sebagai akselerasi program kelautan dan perikanan.

Terutama yang paling menjadi sorotan saat ini, belum ada korelasi (hubungan) kesejahteraan dengan pelarangan alat tangkap nelayan, penenggelaman kapal, berantas illegal fishing. Masalahnya, tidak ada fakta kebijakan itu memberikan kesejahteraan kepada nelayan.

Pertanyaan, lalu kebijakan itu untuk siapa? Siapa yang untung dan buntung. Yang jelas, nelayan buntung dan asing yang untung. Logisnya, atas semua kebijakan itu nelayan menjadi buntung dan asing untung karena korelasi kebijakan tak menyentuh masalah perikanan untuk memberikan jalan keluar.

Maka, pasangan AMIN kedepan menyusun paket kebijakan yang objektif dan memberikan rasa baik bagi kesejahteraan nelayan. Diharapkan nelayan tak lagi rasakan kesulitan melaut, susahnya urus SIPI SIKPI, anjloknya ekspor, gagalnya peningkatan kesejahteraan, kapal mangkrak dan bantuan KKP sendiri banyak tidak menyentuh persoalan sebagai solusi.

Bagi pasangan AMIN tak boleh lagi terjadi kondisi sebelumnya. Nelayan tak boleh lagi merasa buntung dan asing untung. Nelayan harus untung, nelayan senang dan bisa menyisihkan penghasilan sebagai penunjang kesejahteraan untuk masa depannya

(Penulis: Rusdianto Samawa Fourbes Indonesia, Menulis dari Kantor Fourbes Fatmawati Cipete Raya, Cilandak Jakarta Selatan) (Doddi)