merdekanews.co
Rabu, 10 Maret 2004 - 06:00 WIB

Ternyata, Ada Salah Perhitungan di Impor Beras Era Jokowi

Alisya Purwanti - merdekanews.co

Jakarta, MERDEKANEWS - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai impor 500.000 ton beras untuk stabiisasi harga dalam negeri pada Februari 2018, tidak akan efektif. Karena waktunya tidak tepat.

Ketua Dewan Pembina CIPS, Saidah Sakwan di Jakarta, Jumat (9/3/2018), menyatakan, impor beras dilakukan saat Indonesia belum memasuki masa panen raya. Sedangkan Indonesia biasanya memasuki masa paceklik beras pada September 2017 hingga Januari 2018.

Saidah juga mengemukakan bahwa pada periode Februari hingga Agustus 2018, Indonesia mulai memasuki masa panen. Pada saat beras impor mulai memasuki Indonesia, yang dimulai pada Februari dan masih berjalan hingga Maret, Indonesia belum memasuki panen raya, baru beberapa daerah saja yang mengalami panen.

"Akibatnya daerah-daerah yang mengalami panen ini diserbu dan hal ini membuat harga beras stok menjadi mahal. Misalnya saja saat Demak sedang panen, maka pedagang akan menyerbu Demak. Besoknya kalau ada daerah lain yang panen, maka mereka akan menyerbu daerah tersebut," ungkapnya.

Untuk itu, ujar dia, ada sejumlah hal yang harus dibenahi pemerintah terkait tata niaga beras, antara lain perlunya pembenahan dalam manajemen stok beras dan neraca beras nasional, karena hingga saat ini masih ada kesenjangan antara data produksi dan konsumsi.

Saidah menyatakan pemerintah harus berhati-hati dalam melakukan intervensi melalui kebijakan karena hal tersebut dinilai bakal memengaruhi harga beras di pasar.

Ia mencontohkan, seperti saat ini disaat akan panen raya harga beras tetap tinggi karena ada kebijakan fleksibilitas harga pembelian oleh Bulog sebesar 20%. "Problemnya, Bulog diperbolehkan untuk menggunakan flksibilitas harga sebesar 20 persen dari HPP. Harga Bulog itu menjadi referensi secara nasional. Lalu bagaimana kalau harganya tinggi atau di atas HPP? Hal ini akan berakibat pada kenaikan harga beras di pasar karena semua akan ikut naik menyesuaikan harga Bulog," katanya.

Saidah mengingatkan bahwa ketika harga Bulog mahal maka hal ini akan memengaruhi harga di tingkat konsumen. Ia juga menyoroti persoalan data terkait beras yang seringkali berbeda-beda antara satu institusi dengan institusi lainnya.

Sebelumnya, Ketua Bidang Ekonomi Keuangan, Industri, Teknologi dan Lingkungan Hidup DPP PKS Memed Sosiawan menyatakan jika data dari Kementerian Pertanian akurat maka seharusnya tidak perlu impor beras. "Jika data dari Kementan ini tepat dan akurat, tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk meneruskan kebijakan Impor beras," kata Memed Sosiawan.

Memed mengingatkan, pada periode akhir Januari hingga Maret 2018 para petani sedang memasuki masa panen raya beras di beberapa lokasi sentra produksi beras, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lainnya di seluruh Indonesia.

Ia juga mengingatkan, berdasarkan data Kementan, produksi padi selama panen raya antara bulan Januari hingga Maret 2018 akan melimpah. Diperkirakan pada Januari 2018 produksi padi diprediksi mencapai 4,50 juta ton dengan ketersediaan beras sebanyak 2,80 juta ton dan konsumsi beras 2,50 juta ton.

Pada bulan Februari 2018 produksi padi diprediksi meningkat menjadi 8,60 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) dengan ketersediaan beras sebanyak 5,40 juta dan konsumsi beras 2,50 juta ton. Pada bulan Maret 2018 produksi padi diprediksi kembali meningkat 11,90 juta ton GKG, dengan ketersediaan beras sebanyak 7,47 juta ton dan konsumsi 2,50 juta ton. Artinya, produksi beras akan mengalami surplus sekitar 4,97 juta ton. (Alisya Purwanti)