merdekanews.co
Senin, 28 Agustus 2023 - 17:26 WIB

Ini Jawaban Kenapa Presiden Jokowi Tidak Minta Maaf Soal Peristiwa 1965

Jyg - merdekanews.co
Menkopolhukam, Mahfud Md. (foto: istimewa)

Jakarta, MERDEKANEWS -- Menko Polhukam, Mahfud Md menjelaskan alasan pemerintah hanya mengakui dan tidak meminta maaf terkait pelanggaran HAM berat masa lalu.

Mahfud merespons eksil korban pelanggaran HAM, Sungkono yang menyinggung Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak meminta maaf soal peristiwa 1965, dalam tanya jawab di Amsterdam, Belanda, Minggu (27/08).

Proses tanya jawab itu disiarkan melalui konferensi secara virtual di KBRI Den Haag. Mahfud bersama Menkumham Yasonna Laoly menemui korban peristiwa 1965 yang tinggal di Belanda. Hal itu dilakukan dalam rangka Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM).

Mulanya, salah seorang eksil, Sungkono, menyampaikan terima kasih kepada Presiden Jokowi, yang telah mengakui ada 12 pelanggaran HAM berat masa lalu. Sungkono menyebut Jokowi telah berbuat kemanusiaan karena tidak melupakan itu.

"Pertama-tama, saya akan menyampaikan penghargaan saya kepada Presiden RI Bapak Joko Widodo yang telah mengakui terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat. Wah, ini luar biasa. Sudah 57 tahun, mungkin lebih, hal ini sudah ditelantarkan, direkayasa, dan dilupakan. Ini Pak Jokowi mengakuinya bahwa itu terjadi di Indonesia. Pak Jokowi telah berbuat sesuatu untuk kemanusiaan," kata Sungkono.

Akan tetapi, Sungkono merasa ada yang belum lengkap dengan pernyataan Jokowi yang disampaikan kepada publik itu. Sungkono menyebut Jokowi tidak meminta maaf terkait 12 pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Tapi, saya merasa pernyataan Pak Jokowi masih belum lengkap. Kalau sudah mengakui dosa sekian besarnya, kok tanpa minta maaf, hanya menyesali," imbuh Sungkono.

Pernyataan Sungkono itu langsung dijawab Mahfud Md. Mahfud mengatakan pemerintah tidak perlu meminta maaf karena pemerintah reformasi-lah yang menjatuhkan rezim Orde Baru.

"Pemerintah sekarang ini itu pemerintah reformasi, memaksa pemerintah Orde Baru itu turun dan kita sudah memaksanya turun. Lalu kita disuruh meminta maaf kepada siapa, wong kita sudah turunkan mereka yang seharusnya minta maaf. Seharusnya mereka yang meminta maaf kepada kita, bukan malah kita juga disuruh meminta maaf. Itu terbalik dan itu dalam pikiran kami," kata Mahfud.

"Kan kita sama-sama 32 tahun diperintah secara otoriter, lalu kita lawan, kita jatuhkan gitu, maka kita bentuk proses-proses hukum itu apa yang diberikan pertama kepada mantan eks PKI yang dulu distigmakan jahat itu," sambungnya.

Mahfud mengatakan peristiwa ini sudah terjadi puluhan tahun. Akan tetapi, kata Mahfud, pemerintah sekarang masih terus berusaha untuk menyelesaikan melalui hukum.

"Mau jadi anggota DPR, mau jadi gubernur, dibuka semua hak-haknya. Itu yang pertama dibuka dan kita yang buka. Jangan lalu kita disuruh minta maaf, wong kita yang buka, kok kita yang disuruh minta maaf, wong kita jatuhkan rezim itu. Nah, itu yang kita pikirkan. Oleh sebab itu, lalu kita membuat hukum, hukumya apa? Selesaikan mereka itu ke pengadilan, sudah. Siapa yang menyelesaikan? Komnas HAM? DPR? Kejaksaan Agung? Ini sudah puluhan tahun kita usahakan," ungkap Mahfud.

Mahfud menuturkan dalam hukum pidana harus jelas siapa pelakunya. Mahfud seperti dilansir detikcom, menyebut dalam kasus ini, rezimnya sudah dihukum secara politik.

"Pertama, pelakunya siapa, kalau hukum pidana itu pelakunya kan harus jelas. Kalau hukum pidana, pelakunya jelas, pelakunya sudah meninggal semua. Sama dengan korban ya, sama dengan bapak-bapak umur ketika mereka melakukan itu mereka pada waktu itu sudah jadi TNI, jadi camat, jadi menteri, itu umurnya sudah tua-tua, sekarang udah ndak ada," ujarnya.

"Terus kalau di dalam hukum pidana itu ndak boleh menghukum orang lain yang bukan pelaku langsungnya. Lho, Pak, rezimnya? Rezimnya sudah dihukum secara politik. Sudah dijatuhkan, kan?Ndak boleh merintah lagi kamu, kamu jahat, misalnya. Sudah selesai politiknya, pidananya mau cari siapa? Keturunannya? Ndak boleh orang mewarisi keturunan hukum pidana, itu ndak boleh. Kita cari kalau masih ada pelakunya siapa?" imbuhnya.

(Jyg)





  • Jokowi Bentuk Satgas Swasembada Gula dan Bioetanol di Merauke Jokowi Bentuk Satgas Swasembada Gula dan Bioetanol di Merauke Dalam rangka percepatan pelaksanaan kegiatan investasi perkebunan tebu terintegrasi dengan industri gula, bioetanol, dan pembangkit listrik biomasa yang memerlukan fasilitasi, koordinasi, dan perizinan berusaha bagi pelaku usaha, dibentuk Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan