merdekanews.co
Selasa, 08 Agustus 2023 - 06:49 WIB

Pandangan Linguistik Forensik pada Kata "Bajingan"

Doddi - merdekanews.co
J. Anhar Rabi Hamsah Tis'ah, M. Pd, C.Ext, C.PW, Dosen & Ahli Linguistik Forensik Universitas Muhammadiyah Tangerang

Jakarta, MERDEKANEWS - Secara etimologi bajingan adalah seseorang yang menjadi pengendali gerobak sapi dinamakan bajingan. Pada pengendali gerobak sapi kata bajingan ini memiliki dua versi. Versi pertama adalah orang yang memang mengendalikan jalannya sapi, sedangkan versi berikutnya adalah para pengawal yang disewa oleh saudagar pemilik gerobak sapi demi keamanan muatannya dari bahaya perampokan. Dikutip dari National Geographic, pada abad ke-16 atau era Mataram Islam, kata bajingan sudah dikenal. Ia adalah profesi yang umum bagi masyarakat Jawa.

Dahulu di Banyumas sekitar tahun 1940 transportasi yang tersedia sangat terbatas, bahkan bisa dikatakan langka. Masyarakat yang hendak bepergian ke kota untuk berdagang atau sekadar mampir, sangat bergantung pada gerobak sapi sebagai transportasi andalan. Gerobak sapi itu dikemudikan oleh sopir yang disebut ‘'bajingan’'. Tidak diketahui secara pasti dari mana asal kata ‘'bajingan’' untuk menyebut profesi ini. Kedatangan gerobak sapi ini juga tidak ada jadwal yang tepat. Terkadang datang bisa pagi, siang, sore, malam bahkan larut malam. Para bajingan tersebut menjadi bahan pergunjingan para calon penumpang. Banyak dari penumpang yang mengeluhkan kedatangan para bajingan tersebut. 

Menurut KBBI Kemendikbud, arti bajingan adalah penjahat, pencopet, kurang ajar (makian). Dikutip dari laman wikipedia.org, dalam perkembangannya seorang bajingan berubah menjadi konotasi negatif dikarenakan lambatnya perjalanan seekor sapi (4 Km per jam) mengakibatkan sang juragan menjadi tidak sabar menunggu, dan terkadang si pengawal gerobak sapi yang tidak jujur juga mencuri sebagian muatannya. Sehingga juragan pemilik gerobak mengeluarkan kata umpatan "Dasar bajingan".

Jika dilihat dari pragmatik maka akan terlihat niat atau intent seseorang yang mngucapkan suatu bentuk tuturan tersebut. Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji tentang hubungan antara bahasa dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian atau pemahaman bahasa. Pandangan tersebut menunjukkan adanya tiga aspek penting dalam kajian pragmatik, yaitu bahasa, konteks, dan pemahaman. Dalam istilah lain pragmatik membahasa makna penutur (maksud), makna dalam penutur dalam kondisi tertentu,artinya pragmatic juga mendalami aspek-aspek di luar bahasa.

Di dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa pernah lepas dari peristiwa tutur, karena dengan tuturan manusia dapat menyampaikan informasi atau gagasan serta keinginannya kepada lawan tuturnya dan dapat salin mengerti satu sama lain. Tuturan atau tindak tutur itu bermacam-macam jenisnya salah satunya pengelompokkan berdasarkan sifat hubungannya yang di dalamnya mencakup tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Pertama, lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu. Lokusi semata-mata hanya tindak bertutur, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan makna kalimat sesuai dengan makna kata itu di dalam kamus dan makna kalimat sesuai dengan kaidah sintaksisnya Gunawan (dalam Rustono 1999:37). Tindak tutur lokusi tidak di permasalahkan maksud dan fungsi tuturan. Kedua, Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang mempunyai fungsi untuk mengatakan atau memberikan informasi sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu / tindakan melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something.  Ketiga, perlokusi adalah efek atau daya pengaruh (perlocutionary force) yang dihasilkan dari ujaran penutur. Efek atau daya tuturan dapat ditimbulkan penutur baik sengaja maupun tidak disengaja. Tindak tutur yang dimaksud untuk memengeruhi mitra tutur inilah merupakan tindak tutur perlokusi. Tuturan ilokusi mempunyai jenis, fungsi dan adanya suatu maksud dari tuturan tersebut. Tuturan dapat berupa tuturan secara tulis, misalnya pada prose introgasi polisi dengan pelaku tindakan kriminal memuat tuturan yang berupa menyalahkan, memaksa, mengkritik, memberikan kesaksian dan lain sebagainya.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pernyataan Rocky Gerung termasuk pada bagian tindak tutur ilokusi yang berarti memiliki fungsi untuk memberikan informasi sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu / tindakan dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Berdasarkan perkataannya yang telah mengatakan kata bajingan dan tolol itu kita tidak bisa hanya melihat ataupun menafsirkan kata tersebut secara bentuk bahasa, Dalam ilmu linguistik bentuk bahasa itu ada enam yaitu fonetik, fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis dan semantik.

Fonetik adalah studi tentang suara ujaran, suara segmental (konsonan dan vocal), suara seprasegmental (stress, intonasi, nada, intensitas dan kecepatan). Fonologi adalah studi tentang bagaimana bahsa mengatur suara dalam pola yang dapat diprediksi. Morfologi adalah studi tentang pembentukan kata : morfem, alomorf, proses pembentukan kata, fungsi kata. Leksikon adalah kumpulan kata atau bagian dan kata-kata yang digabungkan menjadi unit yang lebih besar : kata-kata menjadi kata-kata dan kata-kata menjadi ucapan. Sintaksis adalah studi tentang bagaimana kata-kata digabungkan menjadi urutan yang lebih panjang sperti struktur kalimat, gramatikal kategori yang menghubungkan bahasa dengan situasi ujaran, bahasa tuturan (kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, artikel, konjungsi, preposisi, kata ganti, interjeksi), unsur fungsi kalimat (subjek, predikat, pelengkap, adverbial, verba trsnsitif, aktif/pasif). Semantik adalah mengkaji tentang makna dalam bahasa baik yang bersifat leksikal ataupaun grammatical. Objek semantik adalah hubungan antara objek dengan simbol linguistik (kata dan frasa).

Berdasarkan keterangan yang bersangkutan bahwa dia tidak menghina atau mengkritik presiden Jokowi secara personal akan tetapi mengkritik kebijakan Jokowi sebagai seorang yang bertugas sebagai kepala negara (presiden). Keterangan tersebut dapat dilihat bahwa ada maksud dari pernyataan yang disampaikan Rocky Gerung. Maksudnya adalah dia memprotes dan mengkritisi kebijakan Jokowi sebagai kepala negara yang telah mengambil kebijakan terkait IKN. Maksud dari tuturan Rocky Gerung itulah dalam ilmu bahasa disebut dengan ilokusi. Artinya ada makna lain / makna tertentu di luar bahasa yang menjelaskan ketidaksetujuan seorang warga negara di era demoktari saat ini pada kebijakan yang telah ditentukan oleh seorang kepala negara. Pernyataan yang disampaikan dalam bentuk sarkasme tersebut adalah bentuk kekecewaan seorang warga negara yang barang kali telah lama dipendam dalam dirinya sehingga pada kesempatan dan konteks tertentu diutarakanlah semua unek-uneknya. Dapat disimpulkan bahwa makna yang terkandung pada pernyataan Rocky Gerung pada konteks saat itu adalah mengajak masyarakat pada umumnya agar bisa memahami bahwa kebijakan Jokowi sebagai kepala negara yang telah diambil kurang tepat dan akan berdampak negatif untuk generasi akan datang khususnya di wilayah yang telah dijadikan sebagai IKN dan bukan sebaliknya menghina / mengkritik Jokowi secara personal.

Secara pragmatik / tindak tutur (ilokusi) pernyataan tersebut adalah mengajak masyarakat yang hadir di forum tersebut untuk berpikir kritis, bijak dan arif dalam menanggapi kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemangku kebijakan dalam hal ini yaitu presiden Joko Widodo sebagai pemimpin negara. Mengapa disampaikan secara sarkasme ? mengapa tidak disampaiakn secara halus dan lembut ? kembali lagi ke personal orang yang menyampaikannya, lihat lagi latar belakang orang yang menyampaikan. Selama aspirasi atau kritik pedas itu sifatnya membangun maka sah-sah saja demi kepentingan bersama. Mungkin dengan style / gaya seperti itulah akhirnya kritik akan langsung didengar dan ditanggapi oleh yang bersangkutan. Yang harus dilihat itu adalah intent / niat, maksud dari penutur pada forum bukan memaknai kata secara harfiah. Sekali lagi yang harus dilihat adalah konteks keseluruhan dari pada dialog tersebut maka akan ditemukan makna sebenarnya (ilokusi). 

Dalam ilmu pragmatik khususnya tindak tutur ilokusi yang harus diamati atau dilihat adalah bentuk keseluruhan percakapan / dialog sehingga menjadi satu kesatuan makna yang sempurna, begitu pula sebaliknya jika dialog itu hanya dilihat bagian perbagian saja maka tidak akan mendapatkan satu kesatuan makna yang berterima karena tidak dilihat / didengar secara utuh sehingga menimbulkan tafsiran-tafsiran tertentu (multimakna).

Peristiwa semacam itu tidak bisa dikategorikan sebagai delik. Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana (KBBI, 2008:308). Delik aduan adalah pelanggaran (perbuatan tindak pidana) berupa penghinaan (fitnah atau defamasi) yang dilakukan secara tertulis atau lisan terhadap nama seseorang dan dapat dituntut di depan pengadilan jika ada pengaduan dari yang merasa dirugikan nama baiknya.  Maka delik aduan hanya dapat dituntut / digugat jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan (korban). 

Berdasarkan keterangan yang bersangkutan dalam hal ini presiden Joko Widodo sebagai seorang pemimpin yang dikritik oleh Rocky Gerung tidak melaporkan dan hanya ditanggapi dengan biasa saja dan hanya fokus bekerja. Artinya, presiden Joko Widodo tidak menanggapi negatif bahkan tidak ada niat untuk menuntut warganya yang memprotes kebijakannya. Karena sejatinya seorang pemimpin atau pejabat publik harus siap dan benar-benar siap menerima semua kritik baik yang lembut maupun yang kasar sebab masyarakat telah memberikan fasilitas yang baik untuk pemimpinnya maka wajar jika masukan dan kritikan selalu ada bagi mereka demi kebaikan bersama dan yang pasti tidak menghina secara personal / individu (di luar kapasitas sebagai pemimpin/pejabat).

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan memerintahkan untuk tidak mengatur kembali delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden dalam RKUHP. Menghidupkan kembali delik penghinaan presiden/wakil presiden dianggap tidak sesuai dengan tujuan akhir atau utama kebijakan hukum pidana, yaitu melindungi masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pendapat Reksodiputro dalam putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan kepentingan negara tidak dapat dikaitkan dengan pribadi presiden (dan wakil presiden). Masyarakat akan merasa terkekang untuk mengkritisi kinerja pemerintah dengan keberadaan Bab II KUHP tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden/Wakil Presiden. Pemerintah dan DPR tidak mempunyai argumentasi hukum yang kuat untuk menghidupkan kembali delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden, terutama dalam hal mempersonifikasikan presiden/wakil presiden dengan negara. Karena menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013- 022/PUU-IV/2006, presiden dan wakil presiden tidak boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi. Pembatasan yang dilakukan oleh negara kepada warga negaranya dalam menyampaikan pendapat harus sangat hati-hati, karena negara membatasi hak asasi manusia yang merupakan hak sipil, yaitu hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat. Hak tersebut dimaknai sebagai kebebasan individu dari campur tangan orang lain, khususnya negara.

Dapat disimpulkan bahwa dari segi linguistik forensik, pernyataan yang disampaian Rocky Gerung pada forum beberapa waktu lalu tidak dapat dikategorikan sebagai suatu pelanggaran. Bahwa, jika dilihat dari dialog / percakapan secara utuh terlihat bentuk tindak tutur ilokusi dari Rocky Gerung yang memiliki intent / niat dan maksud agar masyarakat berpikir kritis dan bijak dalam menanggapi suatu kebijakan pemimpin, bukan sebaliknya ingin mengkritik atau menghina pemimpin secara pribadi / individu. (Penulis : J. Anhar Rabi Hamsah Tisah, M. Pd, C.Ext, C.PW, Dosen & Ahli Linguistik Forensik Universitas Muhammadiyah Tangerang, Jakarta, 07 Agustus 2023). (Doddi)