merdekanews.co
Minggu, 06 Agustus 2023 - 16:15 WIB

Rukun: Soliditas Merawat Kebhibekaan dan Solidaritas Sosial dalam Suksesi Kepemimpinan

Viozzy - merdekanews.co
Ilustrasi. (Foto: behance.net)

Tegal Parang, MERDEKANEWS -- "Rukun agawe santosa crah agawe bubrah" Rukun akan mensejahterakan atau mulia hidupnya sedangkan berkelahi akan menimbulkan kehancuran

Rukun merupakan konsep penting di dalam merawat dan menumbuhkembangkan kebhinekaan di indonesia. RT sebagai wadah kerukunan antar tetangga. Yang dimulai dari keluarga. Komunitas antar keluarga yang menjadi tetangga hidup bersama dalam suatu lingkup yang kecil.  RW (rukun warg ) wadah yang lebih luas bagi komunitas RT. 

Ketidak rukunan membuat kehancuran atau bubrah, dan tatkala terjadi rukun akan sejahtera atau santosa. Konsep rukun dicederai adanya konflik perebutan sumber daya atau perebutan pendistribusian sumber daya. Konflik komunal maupun konflik sosial memerlukan solidaritas dan legitimasi atas tindakanya. Untuk mendapatkan legitinasi dan solidaritas yang cepat dan mudah adalah memanfaatkan isu-isu yang berkaitan dengan primordial. Rukun akan terabaikan sebagai passion hidup bersama. 

Sekarang ini banyak orang menyebutkan RT/RW sebatas petunjuk alamat tempat tinggal atau tempat tertentu, namun tanpa sengaja melupakan atau konteks rukun tidak lagi menjadi keutamaan sebagai basis hidup bermasyarakat. Rukun sering kali dianggap kuno, angin lalu dan tidak lagi populer. 

Rukun merupakan passion kebhinekaan yang menjadi suatu upaya merekatkan perbedaan, mengerem potensi konflik. Rukun juga merupakan filosofi merupakan kesadaran tanggung jawab dan disiplin atas kesepakatan yang telah dibuat bersama. Rukun mejadi implementasi penerimaan pengakuan dan penghargaa antar sesama dalam keberagaman. 

Kerukunan bisa saja karena kebagian. Diam tenang tatkala ada kepastian dalam pembagian sumber daya. Mendukung karena memperoleh bagian. Itu merupakan konteks preman yang bukan patriot. Ala pak ogah "cepek dulu". Atau gaya si lumba lumba : "makan dulu". Proses mendapatkan bagian ini semestinya dilihat dari produktifitas atau prestasi kerja. Tatkala ala premanisme memang sering di gebyah uyah/pukul rata ala atau model karitas atau sedekah. Model preman menjadi parah lagi dengan pemaksaan/pemerasan sebagai wujud "buluh bekti glondong pangareng areng"/memberi japrem (jatah preman). Asu gede menang kerahe/siapa yang kuat dia yang terbanyak bagiannya. Keadilan dilecehkan diganti dengan ketidakadilan. Pelecehan atas keadilan seringkali dijadikan isu untuk merusak kerukunan. 

"Asu gedhe menang kerahe". Akal dikalahkan okol/otak dikalahkan dengkul. Siapa saja yang teriak paling keras dan diikuti kelompoknya dianggap sebagai kebenaran  dan dianggap punya hak sebagai pemenang dalam perebutan sumber daya. Keroyokan akan menjadi pilihan untuk mengoyak kerukunan. Siapa saja yang mengingatkan atau mencegah niatnya akan berpikir dua kali setidaknya. Apakah berbuat atau memilih diam. 

Kekerasan berdampak kejahatan? Pelaku kekerasan adalah penjahat? orang baik lebih banyak dari orang jahat. Hanya saja para penjahat ini dominan dan mendominasi, kekuatan, berani "nggasruh" dari mengatasnamakan sampai menggeser kebenaran dengan pembenaran. Mayoritas orang baik seringkali memilih diam ini bukanlah kalah, bisa saja karena banyak pertimbangan atau enggan berurusan dengan kaum dengkul. Logika tidak akan dipakai sikap dan sifat nggasruh ini yang membuat silent majority. Namun tatkala ada solidaritas maka kaum orang baik yang dikatakan diam, bisa bangkit melawan melalui cara yang bisa dikategorikan sebagai civil disobidience atau pembangkangan sipil. 

Rukun  passion untuk merawat kebhinekaan yang semestinya menjadi acuan para aparatur penyelenggara negara yang diberi amanah rakyatnya. Sehingga para aparat memberikan pelayanan perlindungan dan pengayoman bukan sebaliknya menjadi pemalak atau malah rebutan palakan dan saling gepuk-gepukan sendiri diantara mereka. 

Perebutan sumber daya dan perebutan pendistribusian sumberdaya ala preman memang tidak fair, paling banyak dilakukan tak peduli merobek-robek peradaban. Ini isu yang menstimuli konflik. Bagi yang berkonflik masa bodoh dengan hukum atau aturan, yang penting menang hati senang peduli setan semua rusak berantakan. Seakan king kong yang menepuk-nepuk dadanya sambil teriak teriak mengamuk disana-sini.

Kita bisa belajar dari kisah Mahabarata dan perang Bharata Yuda, perang saudara yang saling hajar sesama anak bangsa karena ketamakan dan tidak rukun. Kisah Mahabarata sarat dengan keutamaan walaupun juga dikisahkan atas ketamakan dan keangkaramurkaan. Ketamakan Dewi Setyawati yang terus menginginkan garis keturunannya menguasai Hastina pura. Hingga tidak mempedulikan Dewabrata atau Bisma yang lebih memiliki hak atas Hastinapura. Namun Bisma dengan penuh 

Kesadaran mampu menunjukkan kualitas terbaik dan tertinggi atas jiwa dan raganya sebagai manusia untuk berkorban merelakan haknya sebagai penguasa Hastinapura. Bisma mampu mengendalikan pikiran dan jiwanya sebagai orang yang memiliki keutamaan hidup.

Kisah Duryudana yang selalu ingin menang sendiri dengan berbagai dalih merasa paling benar dan terus menumbar angkaramurkanya. Dampak keserakahannya menjadikan dirinya terus merasa ketakutan dan kekurangan segala cara ia lakukan demi memenuhi hasrat duniawinya yang tak terkendali. Berbeda dengan Yudistira dan adik-adiknya (Pandawa) yang selalu berupaya untuk menahan ketamakan, amarah dan angkara murka. Pamdawa berupaya menjadikan hidupnya sebagai implementasi atas suatu tanggungjawab bagi hidup dan kehidupan sosial. 

Cinta buta dan kelekatan dunia menjerumuskan jiwa kedalam duka baka. Guru Durna yang begitu mencintai anak semata wayangnya ingin memberinya kemewahan, kehormatan, kekuasaan hingga lupa memberikan ajaran kebenaran. Aswatama mampu dalam banyak hal namun ia selalu saja melakukan ketidak benaran dan menyalahgunakan kemampuan dan kesempatan yang ada. Hingga ia dikutuk Basudewa Krisna merana hidupnya dalam waktu yang sangat lama. Keinginan manusia untuk selalu dipahami sebenarnya merupakan akhir kehancuran dan awal penderitaan.

Kekuasaan dan kekuatan menjadi impian setiap insan, yang merupakan prasyarat untuk memenangkan pendominasian pemberdayaan maupun pendistribusian sumber daya. Apa yang juga dialami Karna sang Surya putra karena harus hidup sebagai anak kusir ia berjuang dan belajar demi menaikkan derajatnya dan agar tidak terhina. Hati manusia kadang sebesar butiran gandum, lemah dan mudah patah menghadapi kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Kadang hati yang lemah tadi berubah menjadi dendam yang tak berkesudahan. 

Manusia selalu penuh dengan kekhawatiran akan masa depan melupakan masa kini. Kisah Sangkuni yang begitu mencintai adiknya Gandari yang menikah dengan Destrarata yang buta, ia ingin memberikan kebahagiaan dunia di masa depan yang sering kali diimpi-impikannya. Cara apa saja ia lakukan kepandaiannya dijadikan alat sebagai pemuas dendamnya. Kepuasan demdam sebenarnya hanyalah ilusi yang membutakan sehingga tiada rasa puas terus saja kekurangan dan hiduonya penuh ketakutan dan kekawatiran

Ketamakan dari para tokoh dalam kisah Mahabarata merupakan gambaran sifat manusia yang ingin selalu menang sendiri dalam mendominasi dan dominannya dalam perebutan sumberdaya. Demikian halnya kisah-kisah dari para tokoh yang berbudi luhur telah memberikan inspirasi atas keutamaan. 

Dalam hidup dan kehidupan sosial keutamaan merupakan suatu nyali berkorban sebagai manusia untuk menjalankan hidup dengan rasa syukur dan mengendalikan jiwa sehingga mampu untuk: memahami orang lain, memberikan bantuan, keberadaanya membawa maanfaat, membuat suasana aman, nyaman, damai dan tenteram, agar semakin manusiawinya manusia.

Kelekatan dan keterikatan akan duniawi membuat hidup jauh dari rasa bahagia. Dan membuat manusia jumawa. Merasa paling segalanya. Harga diri seringkali ditonjol-tonjolkan dan diutamakan dan digunakan untuk memaksa sampai meminta belaskasihan.

Tatkala tanpa keutamaan hidup maka pikiran perkataan, perbuatan dan jiwanya akan dikuasai dan mudah dikalahkan. Nyalinya terbelenggu dengan hal-hal yang duniawi. Keyakinan maupun nilai-nilai yang dipujanyapun hal-hal dunia saja. Sama sekali akan jauh dari yang Ilahi. Itulah yang membuatnya hidup selalu lepas kendali. Tuhan Maha Kuasa, ia hanya meminta kita percaya kepadaNya. Tatkala manusia ingat akan yang Ilahi jiwanya memilki nyali mengobarkan keutamaan walaupun hati panas pikiran tetap dingin. Mampu mengalah  dan mengendalikan amarah dan angkaramurkanya dalam sikap berdoa atau laku tapa. Mampu memilih jalan tengah yang bijaksana daripada berdebat atau melakukan hal-hal yang memperuncing masalah. Terus melatih hati tetap tenang dan waras dalam menghadapi tantangan hidup dan kehidupan.

Akar masalah dari perang Baratayudha secara garis besar dapat dikategorikan sebagai berikut :

1. Keserakahan yang terus turun temurun. Dari dewi Setyawati, Destrarata, Gandari, Sangkuni hingga Duryudana dan para Kurawa.

2. Sikap iri hati terhadap prestasi Pandawa dan ingin merampas hak Pandawa sehingga ingin mencelakakan sampai ingin membunuhnya.

3. Kejumawaan Duryudana yang menimbulkan rasa dendam mendalam sejak usia kanak-kanak.

4. Cinta buta dari Raja Destrarata dan Dewi Gandari serta Sangkuni yang memanjakan dan menghasut para Kurawa

5. Bisma yang Agung yang bersumpah membela dan menjaga tahta Hastinapura namun terbelenggu ketamakan Duryudana.

6. Guru Durna yang mengejar materi dan keduniawian bagi membahagiakan Aswatama anaknya sehingga terjebak pada hasutan Sangkuni dan Duryudana

7.Dendam Karna kepada para Pandawa terutama kepada Arjuna. Yang dimanfaatkan Duryudana sehingga terjebak pada sumpah dan janji persahabatanya.

8. Pembakaran Pandawa dan ibu Kunti di istana Warnabrata hanya demi tahta Hastinapura

9. Kekalahan Pandawa dalam permainan dadu dengan kelicikan Sangkuni yang berdampak pelecehan terhadap Drupadi maupun para Pandawa yang berdampak pada pengasingan Pandawa selama 12 tahun dan penyamaran selama 1 tahun.

10. Sumpah Drupadi yang mengutuk dan dendam terhadap Kurawa menjadi amarah yang menyulut perang Bharata Yudha

11. Sumpah Bima untuk membalas dendam dan menumpas seluruh Kurawa

12. Penghinaan terhadap Basudewa Krisna yang menjadi duta perdamaian yang ditolak Kurawa

13. Karma atas kutukan dari para tokoh tokoh Kurawa dari Bisma yang Agung, Guru Dorna, Raja Angga Karna, Raja Salya, Jayadrata, Duryudana, Dursasana, para Kurawa 

Masih banyak kisah yang menjadi pembelajaran untuk rukun dalam menjaga, merawat dan menumbuhkembangkan kebhinekaan. Tatkala peradaban diabaikan dan ala preman diunggulkan dan dibangga-banggakan maka tinggal menunggu waktu bubrah. Karena tidak mampu lagi melakukan dialog, akal berganti okol, tindakan nggasruh dengan pokok e yang mendorong kerah atau crah atau saling gepuk-gepukan sendiri.

Menyelesaikan masalah tidak dengan nesu. Nesu dalam bahasa indonesia dapat dipahami sebagai marah dengan amarah. Marah merupakan bagian dari kehidupan manusia dan sangat manusiawi. Siapa yang belum pernah marah? Pasti pernah marah. Kadar kemarahan memang berbeda demikian pula dampaknya. Ada yang meluas bahkan menjadi perang ada yang selesai dalam suasana kekeluargaan dan saling memaafkan.

Saudara sekandung sebangsa setanah air dapat saling tikam saling menghancurkan. Rukun agawe santosa. Rukun membuat solid kuat dan sejahtera. Bangsa ini dibangun dengan perjuangan dengan susah payah berdarah-darah mengorbankan jiwa dan raga demi ibu pertiwi. Kondisi perebutan sumberdaya kekuasaan penguasaan untuk mendominasi dan terus dominan sangat kuat apapun issuenya bisa digoreng dijadikan dagangan untuk saling menghancurkan. 

Primordialisme tatkala dijadikan cara untuk mencari solidaritas dan memdapatkan legitimasi akan menyulut amarah sisi kehidupan hakiki dan bersentuhan dengan harga diri. Inilah yang menjadi pilar rontoknya suatu bangsa . Belajar dari sejarah suatu bangsa diremuk redam oleh bangsanya sendiri. Saling klaim saling iri saling merasa benar saling merasa paling dan sebagainya. Kondisi status quo dikawal kaul mapan dan nyaman untuk terus menikmati berbagai hak istimewanya. Kaum inilah yg sebenarnya tega bangsa ini remuk redam demi segelintir kepentingan napsu dan keserakahan yang tak terkendali.

Jalanan menjadi ajang solusi dan menyalurkan amarah. Terll bangga menjadi crowd walaupun besar otak dan hatinya bisa diambil seketika dan dialihkan bahkan dibentur-benturkan. Apa saja bisa menjadi gorengan dagangan.  Amarah mengalahkan hati nurani. Penyelesaian masalah ala preman mejadi unggulan dan kebanggaan. Dengkul telah meluluhlantakan nalar dan pikiran sehat. Nesu melampiaskan amarah seakan menjadi hero walaupun sarat kedunguan bahkan hilangnya kewarasan dan rusaknya suatu peradaban. 

Waras menjadi harapan dan semoga amarah bukan diumbar napsukan melainkan mampu diberdayakan demi cinta dan bangga sebagai anak bangsa.

Cdl

Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si (Viozzy)