merdekanews.co
Jumat, 02 Februari 2018 - 10:26 WIB

Lepas Landas Menuju Open Sky Policy ASEAN di Era Vulca

setyaki purnomo - merdekanews.co
Pakar Kedirgantaraan, Henry Tedjadharma

Jakarta, MERDEKANEWS - Sebagai negara kepulauan dan berpenduduk besar, Indonesia adalah pasar yang menggiurkan bagi bisnis airlines. Yang pada akhirnya bisa menggerakkan perekonomian nasional. Sayangnya, ketersediaan infrastruktur dan iklim bisnis penerbangan masih memprihatinkan.

Kelemahan itu, tidak hanya menghambat peluang bisnis, kondisi penerbangan saat ini juga masih rawan accident yang dapat merugikan masyarakat sebagai konsumen moda transportasi udara.

Di tengah hiruk pikuk mudik Lebaran, ada kejadian di dunia penerbangan yang luput dari perhatian masyarakat. Pada malam hari 18 Juni 2017, sesuai instruksi petugas ATC pilot Garuda harus melakukan go-around atau kembali terbang pada saat final approach sudah siap landing.  

Keadaan ini membuat panik penumpang di dalamnya. Hal itu harus dilakukan untuk menghindari tabrakan di Bandara Soetta karena pesawat Sriwijaya Air yang gagal take-off akibat persoalan teknis dan terhenti di landas pacu.

Masalah lain adalah pengawasan narkoba.  Kendati BNN terus melakukan akan tetapi tidak membuat jera awak pesawat. Pilot maskapai berkali-kali diamankan polisi saat sedang mengonsumsi narkoba bahkan seorang captain yang hendak terbang diturunkan dari cockpit pesawat karena didapati dalam keadaan “mabuk” berat.

Contoh masalah lain adalah permukaan landas pacu (overlay) di Halim Perdana Kusuma Jakarta terkelupas selebar 3×2 meter sedalam 25 cm setelah Boeing B777-300ER milik Garuda lepas landas pada siang 28 Juli 2017.

Hal yang membahayakan pesawat yang sedang lepas landas, dan juga pesawat lain yang akan mendarat tersebut terjadi karena kekuatan landas pacu tidak mampu menahan beban pesawat. Seharusnya, sebelum pesawat beroperasi semua persyaratan operasional sudah diverifikasi.

Runway incursion yang mengakibatkan accident (ground collision) seperti yang terjadi pada malam 04 April 2016 di Halim Perdana Kusuma, antara B737-800 Batik Air dengan ATR42 Trans Nusa, terualang di Bandara Kualanamu Medan pada siang hari 03 Agustus 2017, antara pesawat Lion Air B737-900ER dengan Wing Air ATR-72.

Di mana, pesawat B737-800 no reg. 9V-MGG milik Silk Air yang baru mendarat dan parkir di apron Bandara Kualanamu, ditabrak service truk pada sabtu pagi 23 Desember 2017. Akibatnya, perut pesawat robek dan dilarang terbang.

Musibah juga menimpa sembilan penumpang yang sedang boarding menaiki tangga pesawat Batik Air 6356 di apron 3 bandara Ahmad Yani Semarang jatuh terhempas akibat terkena Jetblast dari mesin pesawat Garuda GA365 pada Senin siang 09 Oktober 2017.

Contoh-contoh di atas, tentu saja tidak bisa dipandang sebagai hal kecil semata. Banyak persoalan pada industri penerbangan mulai dari kapasitas dan fasilitas bandara khususnya pada sisi airside, navigasi, hingga keterbatasan SDM pada berbagai stakesholder perlu dibenahi secara sistematis.

Potensi Bisnis Menggiurkan

Industri penerbangan di Indonesia tumbuh begitu cepat, terutama sejak deregulasi di sektor penerbangan tahun 2000. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penumpang angkutan udara pada 2016 mencapai 95,1 juta orang, atau tumbuh 15,3% dibandingkan 2015. Jumlah penumpang domestik untuk kurun waktu Januari-Juli 2017 saja, mencapai 50,1 juta.

Dalam 25 tahun terakhir, jumlah penumpang udara tumbuh lebih dari 10 kali lipat sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penumpang angkutan udara domestik terbesar kelima di dunia setelah Amerika, Tiongkok, Jepang dan Brazil.

Kecenderungan akan hal inipun terus meningkat sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan jumlah turis mancanegara yang diperkuat dengan semakin baiknya ketersedian beragam infrastruktur pendukung di seluruh wilayah Indonesia serta membaiknya peringkat “ease of doing business” Indonesia di dunia.

Selaras dengan peningkatan jumlah penumpang udara, maskapai dan pesawat juga tumbuh pesat hingga belasan kali lipat dari 102 unit pesawat penumpang komersial yang beroperasi pada tahun 1990an menjadi total 1.691 unit yang terregistrasi pada Nopember 2017.  Dengan asumsi penambahan pesawat sekitar 45 unit/tahun sejak empat tahun terakhir (2014-2017) dengan rata-rata pertumbuhan 16,7% per tahun, membuat banyak pihak kewalahan dalam menanganinya.

Maskapai nasional terbesar Liongroup, saat ini, mengoperasikan 300-an unit armada dan mengangkut 35 juta penumpang per tahun, atau 35% dari total jumlah penumpang angkutan udara domestik. Bahkan, grup bisnis milik Rusdi Kirana itu, dengan tujuh maskapainya sudah berkiprah di pasar global. Mereka sudah memesan 520 unit pesawat tambahan untuk strategi bisnis jangka panjangnya. Dengan jumlah pesawat tersebut membuat Lion Air menjadi maskapai terbesar kelima di dunia.

Pertumbuhan jumlah penumpang dan armada pesawat di Indonesia diperkirakan akan tetap tinggi mengingat gaya hidup kelas menengah dan atas yang pada 2017 berjumlah 40 juta rumah tangga yang cenderung berpergian dengan pesawat baik untuk kepentingan keluarga, bisnis, maupun berwisata. Jika dulu orang berwisata hanya sekali dalam satu tahun, kini hingga tujuh kali dalam setahun tetapi dengan waktu yang lebih singkat.

Kondisi ini juga simultan dengan upaya sistematis pemerintah untuk mendatangkan devisa dari pariwisata dengan menciptakan sepuluh kawasan destinasi wisata baru di luar Bali. Keindahan alam equator dengan iklim tropis dan kekayaan budaya Tanah Air membuat pariwisata sebagai resource-based business menjadi masa depan Indonesia, termasuk penerbangan sebagai moda transportasi utama yang vital dan strategis.

Dengan kata lain, membenahi industri penerbangan tidak hanya menarik investasi dan tenaga kerja di sektor penerbangan, tapi juga menunjang industri pariwisata yang akan menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan dari multiplier effect yang ditimbulkan oleh turis mancanegara.  Hingga Nopember 2017 wisatawan berjumlah 12,68 juta atau naik 21,84% dibanding periode yang sama pada tahun 2016.

Pertumbuhan industri penerbangan yang begitu cepat harus dikendalikan dan dipersiapkan dengan baik dalam berbagai aspek relevan supaya situasi yang pernah kita alami pada era 2004-2007, di mana kondisi aspek keselamatan dan keamanan tidak baik sehingga membuat Indonesia jatuh terpuruk ke urutan 151 dunia dengan compliance level yang hanya 54%.  

Dalam konteks safety, Indonesia disamakan dengan Kongo, Ethiopia bahkan Angola. Sebagai akibatnya sejak 2007 hingga saat ini, seluruh maskapai Indonesia dilarang terbang ke Eropa (EU) kecuali Garuda, Lion dan Airfast sudah dicabut. Australia dan Amerika Serikat juga menurunkan kategori penerbangan Indonesia ke level II yang sesungguhnya adalah larangan terbang.

Pada Oktober 2017 ada kabar gembira yang patut kita apresiasi, di mana industri penerbangan Indonesia telah berhasil memperbaiki safety compliance level dalam audit keselamatan ICAO Coordinated Validation Mission (ICVM) dengan capaian 81% yang berhasil membawa Indonesia ke posisi 55.

Capaian tersebut membuat Indonesia menjadi lebih dipercaya dunia. Yang menjadi modal kuat bagi pemerintah untuk mengajukan pencabutan larangan terbang kepada EU.

Perlu Perhatian

Industri penerbangan merupakan service business (bisnis jasa) yang tidak hanya padat modal, tapi juga padat karya dan teknologi. SDM yang bekerja pada sektor ini sebagaian besar adalah highly skilled labor yang perlu lisensi dan sertifikat khusus.

Sayangnya, kondisi industri penerbangan indonesia saat ini tampaknya belum seindah potensinya. Jumlah penumpang dan armada pesawat yang terus tumbuh dua digit setiap tahunnya yang sekaligus merupakan pertumbuhan tercepat kedua di dunia itu belum diikuti dengan pertumbuhan yang seimbang pada stakesholder inti lainnya didalam industri penerbangan.

Permintaan SDM di sektor ini tidak mampu dipenuhi supply yang ada. Jumlah tenaga kerja operasional seperti pilot, ATC, mekanik MRO dan FOO (Flight Operation Officer) belum cukup mampu untuk mengcover pertumbuhan. Begitu juga dalam hal fasilitas bandara, navigasi udara, layanan penanganan penumpang, bagasi, cargo (ground handling) dan layanan pemeliharaan, perbaikan, perawatan pesawat (MRO) yang 70% masih dilakukan di luar negri sehingga memboroskan devisa negara. Industri kedirgantaraan nasional harus berkembang secara mandiri dan tidak boleh bergantung pada asing.

Dalam dunia penerbangan nasional terjadi anomali. Satu sisi, maskapai Indonesia masih terus kekurangan pilot siap pakai. Di sisi lain, terdapat sekitar 1.200 ab initio (pilot yang baru lulus dari flying school) yang menganggur, bahkan ada yang sudah hampir dua tahun lamanya. Akibat permasalahan tersebut pihak Kemenhub berencana untuk memberikan kesempatan kerja pada sebagian (200) dari ab initio tersebut di Mexico dan Tiongkok.

Fakta di atas menjelaskan bahwa proses pembentukan pilot (type ratin) hingga siap pakai pada sebuah maskapai mulai dari status ab initio menjadi ATPL (airline transport pilot licence) cukup panjang dan tidaklah mudah serta murah, karena terdapat keterbatasan pada kapasitas peralatan yang tersedia misalnya, full flight simulator untuk initial training, line instruktur dan check pilot untuk line/route training.

Selain perlu edukasi mengenai job market dan tuntutan pendidikan bagi masyarakat, perlu dibangun sistem perekrutan yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak, termasuk lembaga pendidikan vokasi, pembiayaan, maskapai dan calon pilot itu sendiri sangat dibutuhkan.

Pertumbuhan yang tidak seimbang (imbalance growth) menyebabkan overheating dalam berbagai sisi mulai dari aspek service, safety, security hingga dampaknya berupa biaya operasional yang tinggi. Permasalahan yang paling sering dirasakan penumpang adalah keterlambatan jadwal keberangkatan.

Untuk mengelola operasional maskapai dan bandara yang sangat kompleks karena banyaknya faktor yang saling terkait dan saling mempengaruhi dengan dinamika yang tinggi diperlukan sistem yang dapat mengoptimalisasi seluruh data operasional untuk menciptakan tingkat efisiensi yang tinggi, ketepatan waktu, lancar dan hemat biaya.

Bandara yang over-crowded dan trafik di apron, taxiways, landasan dan ruang udara sekitar bandara kerap kali membuat pesawat harus menunda pendaratan sehingga harus berputar-putar (holding) di udara khususnya di Bandara Soetta, dengan trafik 80 pesawat yang lepas landas dan mendarat setiap jam, akibat belum tersedianya infrastruktur paling strategis yaitu landasan pacu penghubung sisi timur (East Cross Taxiway), sebagai penyebab utama delay penerbangan nasional.

Kondisi kepadatan udara ini dapat membahayakan tetapi yang pasti merugikan maskapai karena pesawat harus mengonsumsi bahan bakar lebih banyak, dimana komposisi bahan bakar tersebut merupakan 50% dari biaya operasional. Belum lagi, bahan bakar pesawat di Indonesia dikenai pajak sehingga menjadi lebih mahal 27% dibandingkan Singapura.

Produktivitas maskapai otomatis menurun dan dibebani lagi dengan biaya tambahan untuk memberikan kompensasi kepada penumpang atas keterlambatan penerbangan.

Membangun terminal baru memang dapat membuat proses menunggu penumpang lebih nyaman tetapi hal tersebut bukan solusi efektif untuk mengurangi kepadatan yang sesungguhnya bersumber dari kekurangan pada sisi udara seperti runway, taxiways, cross taxiway dan apron.

Dalam pembangunan bandara mutlak dibutuhkan dukungan pakar yang sangat berpengalaman dengan keahlian dan pengetahuan khusus sehingga dapat menciptakan design konsep yang menjamin tercapainya tujuan utama yaitu Balance of Capacity and Traffic flow Management yang lancar, mulus, cepat, nyaman dan aman pada semua sisi baik udara, terminal maupun darat dan bebas dari gangguan operasional dalam segala bentuk manifestasinya.

Seperti kita ketahui, design Terminal 3 Ultimate terdapat beberapa kekurangan. Baik berupa sistem drainage dan instalasi listrik, juga tata letak peralatan pendukung. Semisal, escalator yang hanya satu arah tentu mengurangi mobilitas dan fleksibilitas penumpang, perlengkapan baggages claim dan groundhandling yang terasa masih kurang memadai baik kuantitas maupun posisinya yang jauh hampir satu kilometer pada sisi kedatangan dan juga sama jauhnya dari titik pemeriksaan boarding pass hingga gerbang keberangkatan.

Selain itu fasilitas kenyamanan penumpang seperti air conditioning, toilet, restaurant, shops dsb juga perlu ditingkatkan. Menara control utama juga tidak dapat memonitor pergerakan pesawat pada sisi tertentu terminal 3 yang akhirnya harus disiasati dengan mobile tower. Kekurangan tersebut diatas tentu membebani penumpang dan maskapai baik dari segi ketepatan waktu, kenyamanan, image maupun biaya operasional yang lebih tinggi untuk bahan bakar dan airport tax.

Kunci dari kesuksesan pengelolaan bandara atau maskapai adalah tersedianya brainwares berupa highly skilled, well knowledged and service minded crew yang bekerja dengan team spirit dan didukung dengan softwares atau sistems yang tepat serta hardware penunjang dalam bentuk infrastruktur fisik yang memadai.

Perlu dipahami bahwa fungsi bandara tidak lagi seperti pada masa lalu dimana hanya merupakan sebuah infrastruktur fisik semata tetapi kini sesuai tuntutan para pengguna jasa transportasi udara sudah menjadi sebuah fasilitas pelayanan berkinerja tinggi dengan standard dunia yang cenderung terus berkembang menjadi sebuah kota bandara dengan fasilitas yang cerdas (smart airport city).

Bahkan, sesuai tren dunia sekarang demi menghemat lahan yang semakin sempit dan mahal serta produktivitas yang dituntut semakin tinggi dengan pelayanan yang serba praktis, cepat dan murah, maka dari itu perlu didesign secara matang dan terpadu menjadi sebuah kawasan yang dikenal dengan istilah Aerotropolis yang dapat dianalogikan sebagai “physical reuters", di mana di dalamnya terintegrasi secara konseptual dan tersedia lengkap semua sarana dan fasilitas yang mensinergikan transportasi multi moda, berbagai sentra produksi, berbagai jasa, logistik, energi, perbankan, real estate untuk perkantoran dan perumahan, kesehatan, pendidikan, entertainment. Yang menjadi titik pusat utamanya terdapat bandara yang canggih dan cerdas dengan bantuan berbagai artificial intelligence.

Bagi yang sering bepergian ke Eropa pasti merasakan perbedaan pada saat mendarat di Tanah Air. Pemberitahuan intensif dengan pengeras suara (voice announcement) yang memekakan telinga, bahkan juga sering tidak jelas dan sangat mengganggu kenyamanan itu sudah ditiadakan di Bandara Changi sejak 01 Januari 2018. Jadi penumpang harus memperhatikan jadwal keberangkatannya sendiri.

Vietjet, maskapai Vietnam yang relatif baru dan tumbuh secara fenomenal dalam satu dekade ini, sebagai trendsetter bersaing dengan maskapai regional lainnya menggunakan strategi marketing yang sangat kreatif dan berdampak destruktif.

Dengan merebaknya disruptif teknologi dan bisnis model secara global maka industri penerbanganpun tidak terlepas dari dampak situasi dunia usaha yang semakin Volatile, Uncertain, Complex, Ambigous (VUCA) dan potensi resiko yang terkandung di dalamnya yang harus segera diantisipasi supaya industri penerbangan nasional tidak menjadi korban dan hanya menjadi pasar bagi maskapai asing.

Pemimpin perusahaan dan pemerintahan tidak boleh lagi hanya melakukan proses iterasi (melakukan hal yang sama dengan lebih baik) tetapi dituntut berfikir strategis futuristik serba proaktif inovatif atau melakukan hal-hal baru dengan mindset, pola, cara dan sarana yang baru dengan applikasi sesuai kodrat zaman Internet of Things (IOT).

Ingat kata Peter Drucker, yang paling berbahaya adalah menyelesaikan permasalahan masa kini dengan logika dan mindset masa lalu.

Kondisi memprihatinkan di atas seperti biaya bahan bakar yang tinggi, kepadatan udara, ketimpangan pertumbuhan, fasilitas bandara yang masih kurang memadai, persaingan, perubahan dsb membuat industri penerbangan nasional seperti bertarung dengan satu tangan terikat. Padahal, kompetisi semakin mematikan dengan diberlakukannya Open Sky Policy di ASEAN dalam era VUCA yang penuh tantangan.

Karakteristik bisnis penerbangan yang sangat unik dibanding bisnis lainnya juga membuat sektor usaha ini membutuhkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah khususnya didalam menerapkan prinsip meritokrasi secara bijak.

Karakteristik industri penerbangan sangat unik. Pertama, bisnis model penerbangan diatur dan dipantau secara ketat, khususnya keselamatan. Kedua, padat modal, karya dan teknologi. Ketiga, bisnis penerbangan memiliki arus kas (cashflow) yang tinggi dengan margin profit yang rendah (5%). Keempat, kompetisi yang sangat ketat dan seringkali terjadi perang tarif antar kompetitor.

Kelima, untuk penerbangan domestik di Indonesia, biaya operasional maskapai sebagian besar menggunakan dollar AS sementara pendapatan yang mereka peroleh seluruhnya dalam bentuk rupiah sehingga memiliki risiko kurs. Keenam, industri penerbangan adalah industri dengan entry dan khususnya exit barrier yang tinggi serta berkorelasi langsung dengan situasi dan kondisi ekonomi baik lokal, regional maupun global.

Kompetisi yang sangat ketat dan keras membuat dunia penerbangan sejak lama sering mengalami disrupsi. Pada level global, banyak maskapai raksasa terkenal seperti PanAm, Swiss Air, TWA dsb yang bangkrut. Sejumlah maskapai domestik seperti Adam Air dan Merpati Air kini juga tidak lagi menghiasi langit Bumi Pertiwi, bahkan Garuda flagcarrier kebanggaan kita yang pernah terbang tinggi saat ini terancam berbagai kesulitan operasional, finansial dan leadership yang serius.

Dengan potensi besar, perubahan iklim usaha yang penuh tantangan, karakteristik industri yang ketat, rumit dan kompleks tersebut, dibutuhkan sentuhan tangan ahli dengan skillset yang handal, knowledge dan mindset yang tepat dalam menentukan arah kebijakan strategis dan mendesain formasi industri penerbangan nasional agar semakin berkibar di Tanah Air dengan memberdayakan potensi resourse-based yang luar biasa melalui konsep Championship by Design.

Penulis: Pakar Kedirgantaraan, Henry Tedjadharma

#GarudaIndonesia#BandaraSoetta#

  (setyaki purnomo)