merdekanews.co
Rabu, 17 Januari 2018 - 10:01 WIB

Politik Dinasti Juga Bahaya

Nih, Baca Kode Mahar di Pilkada Serentak 2018

Ira Saqila - merdekanews.co

Jakarta, MERDEKANEWS - Kode atau istilah bukan hanya terjadi di kasus korupsi. Jika dikasus korupsi ada kode Apel, di mahar pilkada juga ada kode-kode tersembunyi.

Bahkan, gaduh mahar politik ternyata ada disemua parpol. Mahar biasa dimainkan oleh elit parpol untuk meminta uang ke calon gubernur, bupati hingga walikota. 

Ada guyon di kalangan elit parpol soal kode mahar. Misalnya istilah 'kali dua' atau kaldu.

Istilah ini untuk menaikkan tarif mahar dari Rp 2 miliar mejadi Rp 4 miliar. "Kalau calon mau memberi 2 M tapi elit minta lebih jadi bahasanya kaldu," tegas politisi Senayan yang namanya enggan ditulis.

Kode lainnya yakni barang besar. "Barang besar itu di atas 5 miliar,," ungkapnya.

Di tempat terpisah, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fahri Hamzah memastikan bahwa mekanisme 'mahar' atau pemberian uang dalam jumlah tertentu oleh seorang kandidat politik ke partai politik (parpol), adalah hal yang berlangsung di setiap parpol.

Pernyataan Fahri tersebut menanggapi polemik permintaan mahar dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) terhadap La Nyalla Mattalitti untuk maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur 2018.

"Mahar sebetulnya adalah satu hak yang tidak mungkin dihindari dalam sistem politik. Kalau ada parpol yang mengatakan mereka tidak ada (mahar), itu bohong," kata Fahri dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) tvOne di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa, 16 Januari 2018.

Menurut Fahri, hal itu sendiri bisa terjadi mengingat pelaksanaan sistem demokrasi dan politik di Indonesia belum sepenuhnya dibiayai negara. Fahri mencontohkan kebijakan pembiayaan politik yang dilaksanakan oleh sejumlah negara di Eropa.

Dampaknya, kandidat-kandidat politik di sana tidak memusingkan masalah pembiayaan namun fokus kepada upaya menawarkan kapabilitas mereka kepada masyarakat. "Makna moralnya, itu menjadi challenge bagi kita untuk membuat regulasi yang tidak memungkinkan uang ilegal masuk ke perpolitikan," ujar Fahri.

Fahri mengaku menyambut baik timbulnya kesadaran pembiayaan politik melalui peningkatan dana parpol menjadi Rp1.000 per suara. Menurutnya, hal itu merupakan langkah awal dalam upaya peningkatan kualitas perpolitikan di Indonesia.

"Pembiayaan politik itu harus bisa diukur. Kalau ada biaya itu normal, wajar. Sehingga, orang yang masuk politik itu nanti yang dinilai adalah kredibilitasnya, isi kepalanya (bukan uang yang dimilikinya)," kata Fahri

Dinasti Juga Merusak

Mahar politik memang bikin heboh. Persoalan mahar politik dalam pilkada dianggap sama-sama membahayakan bagi perjalanan demokrasi, layaknya persoalan politik dinasti yang juga muncul di Indonesia.

Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menegaskan kedua hal tersebut, baik politik mahar atau politik dinasti, sama-sama merusak dan membahayakan demokrasi di tanah air.

"Oligarki politik akan menyatu dengan oligarki ekonomi membuat demokrasi dibajak," katanya mengutip akun twitternya, Rabu (17/1/2018).

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini berharap ke depan harus ada kebijakan yang mengevaluasi ini. Memisahkan antara dunia politik dengan dunia bisnis, agar pasar bebas di dunia politik tidak tercampuraduk dengan pasar bebas ekonomi.

"Keduanya harus dikendalikan oleh nilai-nilai norma konstitusi," ujar mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini.

Diketahui saat ini banyak anak, istri bahkan keponakan kepala daerah yang ikut mencalonkan. Seperti di Purwakarta, istri Dedi Mulyadi ikut maju sebagai calon Bupati.

Begitu juga dengan Sumatera Selatan (Sumsel). Anak dari Gubernur Alex Noerdin yakni Dodi Reza Alex Noerdin juga mencalonkan sebagai Gubernur Sumsel. Padahal, Dodi baru enam bulan menjadi Bupati Muba.  (Ira Saqila)






  • Tok, Tok, Tok, 27 DPD Hanura Resmi Pecat OSO Tok, Tok, Tok, 27 DPD Hanura Resmi Pecat OSO Munaslub Partai Hanura berjalan lancar. Tanpa protes, kubu 'Ambhara' resmi mengesahkan pemecatan Oesman Sapta Odang (OSO) dari posisi ketua umum. OSO dipecat berdasarkan hasil rapat pleno.