merdekanews.co
Jumat, 05 Januari 2018 - 11:53 WIB

Adu Kuat Gus Ipul Vs Khofifah

Mengejar 'Hantu' Bernama Tingkat Partisipasi

Setyaki Purnomo - merdekanews.co
Dian Permata Peneliti Senior Founding Fathers House (FFH)

Jakarta, MERDEKANEW - Khofifah Indar Parawansa dan Saefullah Yusuf kembali bersua dalam kontestasi Pemilihan Gubernur (pilgub) Jawa Timur 2018.

Ini adalah pertemuan ketiga mereka. Sebelumnya di Pilgub 2008 dan Pilgub 2013. Kembali majunya Khofifah dan Saefullah Yusuf, atau akrab disapa Gus Ipul, akankah mampu mendongkrak tingkat partisipasi pemilih di Jawa Timur?

Atau justru sebaliknya? Di mana, KPU Nasional pasang target tinggi yakni 77.5 persen. Kajian bertema tingkat partisipasi menjadi perhatian serius para akademisi dan penggiat demokrasi dan pemilu. Sebagai contoh, Robert Dahl (1984) melalui konsep demokrasi poliarki.

Tatu Vanhanen melalui Index of democratization (ID)—Vanhanen Index. Indeks ini merupakan gabungan antara variabel kompetisi dan partisipasi. Penelitian Tatu Vanhanen meliputi 187 negara dan diantara rentang waktu 1810-2000.

Kemudian ada Freedom House Index (FFI). Indeks ini menggunakan tujuh (7) subkategori. Bebas berpartisipasi di dalam proses politik, bebas memilih di dalam pemilu yang sah, memiliki perwakilan yang bertanggungjawab, kebebasan berpendapat dan beribadah, memiliki akses untuk mendapatkan sistem supremasi hukum yang adil, dan mendapatkan kebebasan sosial dan ekonomi. Indeks ini mulai dipublikasikan sejak 1972 dan meliputi 192 negara.

Di sejumlah negara, tema partisipasi pemilih kerap menjadi isu bersama. Soalnya, berhubungan erat dengan jumlah pemilih yang hadir (voter turn out) untuk menyalurkan hak politik di tempat pemungutan suara (TPS).

Selain itu, tema ini juga sering dikaitkan dengan legitimasi hasil pemilu, kepercayaan pada sistem politik dan demokrasi, penyelenggara pemilu, dan pihak-pihak yang akan mewakili mereka untuk memerintah (mandat) dan menjadi perwakilan warga di parlemen (DPR).

Karena itu, tidak mengherankan apabila tema tingkat partisipasi menjadi sebagai salah satu agenda penting dalam proses pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti pilgub Jawa Timur.

Angka tingkat partisipasi pemilih pilgub Jawa Timur, selama dua kali pilgub, tidak pernah di atas 65 persen. Pada pilgub Jawa Timur 2008, angkanya 54 persen. Di pilgub Jawa Timur 2013, 59.58 persen. Memang ada kenaikan namun tidak signifikan.

Penyebab rendahnya angka tingkat partisipasi pemilih disebabkan beragam faktor. Dari urusan sosialisasi yang dilakukan penyelenggara seperti pemilihan medium sosialisasi, pengetahuan, segmentasi, pilihan teknik komunikasi pemilih, hingga pada urusan teknis pada saat tahapan pemungutan suara, atau lainnya.

Dari hasil riset Founding Fathers House (FFH) dan Surabaya Survey Center (SSC) pada Juni 2017 diketahui, pemilih yang mengetahui atau mendengar adanya hajatan demokrasi lokal pilgub Jawa Timur itu baru sebesar 46 persen. Selebihnya tidak mengetahui adanya kontestasi itu.

Di periode Desember, pemilih yang mengetahui atau mendengar adanya pilgub Jawa Timur, juga tidak beranjak banyak, masih di bawah 50 persen.

Angka 46 persen itu akan kembali kecil atau turun jika pemilih yang menjawab mengetahui atau mendengar adanya pilgub Jawa Timur kembali ditanyai tentang kapan tepatnya pelaksanaan pilgub Jawa Timur.

Bisa ditebak, pemilih yang tepat menjawab untuk tanggal, bulan, dan tahun pelaksanaan pilgub Jawa Timur makin sedikit. Bahkan, bisa saja, pihak penyelenggara pemilu serta pemangku kebijakan soal pelaksanaan pemilu tidak semuanya hapal kapan tepatnya pelaksanaan pilgub Jawa Timur.

Rendahnya angka tingkat pengetahuan pemilih Jawa Timur soal pelaksanaan pilgub Jawa Timur disebabkan beragam faktor. Pada umumnya lebih banyak disebabkan pemilihan sosialisasi yang tidak tepat. Seperti pemilihan medium sosialisasi.

Sebagai contoh, soal pemasangan iklan sosialisasi berdasarkan pilihan media massa. Preferensi pemilih terhadap media massa di setiap kabupaten-kota di Jawa Timur tentu beragam. Ada yang suka media massa A, atau B, atau C.  

Kemudian, tehnik komunikasi yang dipilih tidak sesuai berdasarkan segmentasi pemilih. Sebagai contoh, gaya bahasa penyampaian soal kepemiluan untuk masyarakat profil pekerjaan PNS dengan petani atau nelayan tentu saja berbeda. Ditambah lagi, dengan terminologi pemilih pemula atau saat ini akrab dikenali sebagai pemilih jaman NOW. Tentunya, bahasa yang disampaikan pasti berbeda.

KPU sebagai operator penyelenggara pemilu pasang target tinggi. Angka partisipasi pemilih dipatok 77.5 persen. Untuk mencapai angka tersebut maka KPU Jawa Timur harus kerja keras. Segala macam jurus ampuh teknik sosialisasi harus digunakan.

Andaikan teknis sosialisasi dijalankan dengan tepat maka dengan otomatis pengetahuan pemilih seperti kapan tepatnya pelaksanaan coblosan pilgub Jawa Timur akan meningkat pula. Bila pengetahuan pemilih sudah meningkat maka pekerjaan rumah penyelenggara pemilu selanjutnya adalah merayu pemilih agar mau menggunakan hak politiknya dengan baik dan benar.

Pelaksanaan pilkada serentak gelombang kedua 19 April 2017 dapat dijadikan evaluasi. Dari 101 daerah yang melaksanakan pilkada, tujuh (7) provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota, hanya sedikit yang mencapai target angka partisipasi pemilih 77.5 persen. Dengan sebaran satu (1) provinsi, 28 kabupaten, dan empat (4) kota.

Ronde Ketiga, Naik atau Turun?
Kepastian Khofifah Indar Parawansa—KIP demikian sering disapa, maju dalam Pilgub Jawa Timur setelah mendapatkan rekomendasi dari Partai Demokrat (PD) dan Partai Golkar (PG).

Di mana, PD memberikan tiket kepada KIP dan Emil Dardak pada Senin malam (20/11). PG memberikan pada Rabu siang (22/11). Dukungan modal politik PD dengan 13 kursi DPRD dan PG dengan 11 kursi DPRD Jatim melengkapi syarat keduanya untuk maju.

Syarat untuk maju adalah mengumpulkan minimal seperlima dari total kursi di DPRD Jatim (100 kursi) atau 20 kursi. Dukungan dari dua (2) parpol itu cukup untuk untuk memuluskan pasangan ini ke hajatan demokrasi lokal Jawa Timur. Tinggal menunggu dukungan tambahan dari Nasdem (4 kursi DPRD Jatim), PPP (5 kursi DPRD Jatim), dan Hanura (2 kursi DPRD Jatim).

Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada Tahun 2018, pendaftaran pasangan calon 8-10 Januari 2018. Jika melihat tanggal pelaksanaannya, Khofifah dan Emil akan berpacu dengan waktu. Keduanya harus segera melakukan konsolidasi kekuataan. Hal ini untuk mengejar atas ketertinggalan elektoral terhadap rival mereka, Saefullah Yusuf dan Azwar Anas.

Kembali betarungnya KIP dan Saefullah Yusuf di pilgub Jawa Timur 2018 memunculkan pertanyaan. Apakah kedua mampu mengerek angka tingkat partisipasi pemilih di Jawa Timur atau malah sebaliknya? Pada Pilgub 2008 dan 2013, Khofifah berada di trayek calon gubernur. Sedangkan Saefullah di kedua pilgub itu berada pada posisi calon wakil gubernur. Di Pilgub 2018, keduanya pada posisi yang sama sebagai calon gubernur.

Sejatinya, pasar pemilih KIP dan Saefullah Yusuf berada di ceruk yang sama, NU dan Tapal Kuda. Ini dilatarbelakangi dengan keduanya meniti karir sosial dan politik di jalur yang hampir-hampir mirip. Karir mereka moncer saat memimpin Banom NU, Ansor, dan Muslimat.

Keduanya juga punya rekam jejak yang sama berada di partai yang memiliki irisan dengan NU, PPP dan PKB. Bedanya, Saefullah Yusuf pernah mencoba peruntungan di partai nasionalis, PDI Perjuangan. Sedangkan KIP tidak pernah

Berada di ceruk pemilih yang sama maka memunculkan ancaman besar bagi keduanya dan penyelenggara pemilu. Yaitu hadirnya pemilih jenuh. Pemilih ini berada dalam segmentasi usia 25 tahun ke atas, atau pemilih yang sudah mengikuti hiruk–pikuk pilgub Jawa Timur 2008 dan 2013. Jika pemilih model ini tidak diberikan insentif pencerahan dari calon kepala daerah yang betarung maka dikhawatirkan akan terkonsolidasi ke dalam ceruk pemilih apatis.

Pemilihan Azwar Anas dan Emil Dardak sebagai wajah baru dalam kontestasi tingkat provinsi dapat dianggap obat generik untuk menjawab kegundahan pemilih model tersebut. Keduanya mampu menerobos dibarisan elite Jawa Timur yang sudah mapan atau lazim diakronimkan dengan Lu Lagi Lu Lagi (4 L). Permasalahannya adalah apakah Anas dan Emil dapat memenuhi ekspektasi pemilih model ini?

Penulis: Dian Permata
Peneliti Senior Founding Fathers House (FFH)

 

  (Setyaki Purnomo)






  • Prabowo-Gibran Berpeluang Menang di Jatim, Pengaruh Khofifah Lebih Besar dari Muhaimin Prabowo-Gibran Berpeluang Menang di Jatim, Pengaruh Khofifah Lebih Besar dari Muhaimin Keputusan politik Khofifah Indar Parawansa masuk kedalam Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Gibran diyakini sejumlah pihak akan memberikan dampak besar terhadap perolehan suara Prabowo-Gibran di Jawa Timur. Khofifah dinilai memiliki pengaruh lebih besar dibanding Muhaimin Iskandar (Ketum PKB) yang saat ini menjadi salah satu paslon pada Pilpres tahun 2024.