merdekanews.co
Rabu, 17 Maret 2021 - 10:26 WIB

Oleh: Aris Kuncoro (Wartawan Senior, Pengamat Politik & Hukum

Jika Tidak Miliki Bukti Yang Kuat Adanya Kerugian Negara,  KPK Jangan Sungkan Keluarkan SP-3 Bagi Nurdin Abdullah

### - merdekanews.co

PENANGKAPAN, penahanan dan penetapan  Gubernur Sulawesi Selatan  (kini non aktif) Nurdin Abdullah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa waktu lalu hingga kini masih menjadi sorotan banyak pihak.

Mulai dari ahli hukum, anggota DPR maupun warga masyarakat lainnya.

Ini, karena, tidak seperti Operasi Tangkap Tangan ( OTT) terhadap para pejabat yang lain, OTT terhadap Nurdin Abdullah (NA) terkesan janggal, dan penetapan NA sebagai tersangka pun terkesan dipaksakan.

Pertanyaan masyarakat yang belum terjawab sampai sekarang, benarkah KPK menggelar operasi tangkap tangan terhadap NA?

Ini perlu penjelasan dari KPK. Pasalnya,  istilah OTT telah dipublikasikan oleh KPK melalui sejumlah media massa baik online,  cetak maupun televisi.

KPK, seperti diketahui telah membuat narasi OTT. Bahwa seakan-akan Nurdin Abdullah terjaring operasi tangkap tangan.

Fakta di lapangan, NA sekitar pukul 02.00 dini hari didatangi KPK saat sedang tidur di rumah jabat (Rujab) Gubernur di Makassar. Tak ada kegiatan transaksi pemberian gratifikasi berupa uang saat itu. Bahkan barang bukti pemberian gratifikasi pun tidak ditemukan di Rujab saat itu.

Dengan "muslihat", yang sebenarnya menunjukkan ketidak profesionalan sebagai penyidik, petugas KPK "membujuk" NA agar bersedia "ikut" petugas ke Jakarta untuk dimintai keterangan sebagai saksi atas tertangkapnya Edy Rahmat (ER), Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulsel dan Agung Sucipto (AS),  kontraktor/Direktur PT Agung Perdana Bulukumba (APB) terkait gratifikasi.

Belakangan diketahui, bahwa Edy dan Agung pun ternyata juga "tidak murni" tertangkap tangan saat transaksi. Tas bersisi uang Rp 2 Miliar yang dijadikan barang bukti oleh KPK itu ditemukan di rumah Edy, bukan saat terjadi transaksi.

NA saat ditanya wartawan juga mengaku tidak tahu menahu soal tas yang berisi  uang Rp 2 Miliar tersebut. Bahkan dia pun tidak tahu jika Edy dan Agung melakukan transaksi pemberian gratifikasi tersebut.

Tak lama pasca penangkapannya, KPK secara terbuka menggelar konferensi pers terkait keberhasilannya telah melakukan oprasi tangkap tangan (OTT).

Padahal, dari fakta lapangan tersebut, tidak bisa dikatakan bahwa NA telah terjaring OTT.

Ini bisa dilihat dalam pasal 1 ayat (19) kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) bahwa seseorang dapat dikatakan terkena OTT apabila sedang melakukan tindak pidana.

Pertanyaan-pertanyaan lain pun kemudian bermunculan: Apakah tindakan penegak hukum dibenarkan melakukan penangkapan, dan penahanan tanpa dua alat bukti yang cukup? Lantas bagaimana mungkin penyidik dapat menangkap seseorang tanpa surat tugas, dan surat perintah?

Apalagi, ternyata saat "menjemput" NA untuk dibawa ke Jakarta, petugas pun tidak memberikan surat perintah penangkapan. Bahkan, tidak juga memberikan surat kepada NA maupun pihak keluarga bahwa dirinya diminta jadi saksi atau dinyatakan tersangka.

Jadi terkesan NA ini diculik oleh orang-orang yang mengaku petugas KPK. Padahal NA ini adalah seorang pejabat negara.

Oleh karena itu, tentu saja, layak jika ahli hukum mempertanyakan keabsahan operasi tangkap tangan tersebut,  yang relatif bermasalah karena tidak adanya pemberitahuan terlebih dahulu dari penyidik. Padahal, penyidik wajib menegakkan hukum tanpa harus mengabaikan hal-hal normatif.

Dengan penangkapan tersebut,  berarti  hak-hak kemerdekaan/kebebasan Nurdin Abdullah telah dirampas, apalagi kemudian  penyidik KPK mengubah dari status saksi menjadi tersangka. Padahal keabsahan tersangka tersebut harusnya dibuktikan tidak hanya dengan bukti permulaan saja, tetapi mengikuti alur hukum formil.

Tak hanya itu. Sejauh ini pun belum ada penjelasan dari pihak KPK berapa kerugian negara yang ditimbulkan dari kegiatan korupsi yang ditersangkakan kepada Nurdin Abdullah.

Menurut hemat penulis, jika memang KPK belum bisa menemukan bukti-bukti adanya kerugian negara yang jelas, yang dilakukan oleh Nurdin Abdullah, maka sebaiknya KPK jangan menggantung status tersangka terhadap Nurdin Abdullah.

Dan KPK, jangan sungkan-sungkan untuk menerbitkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3).

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, Pasal 40 ayat (1), KPK) memiliki kewenangan untuk menerbitkan SP3

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri beberapa waktu lalu juga telah berjanji, KPK di bawah kepemimpinannya tidak akan menggantung status orang yang diduga terseret dalam kasus rasuah. Dan siap menerbitkan SP3 jika memang peekara yang ditangani tidak layak dilanjutkan.

Sebagai regulasinya, ia menyajikan Pasal 109 ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, kata dia, suatu perkara dapat dihentikan jika hal itu bukanlah tindak pidana. Kedua, jika perkara itu tidak memiliki cukup bukti.

"Misal seharusnya ada hitungan kerugian negara. Nah, jika kerugian negara tidak ada, ya kita hentikan karena tidak cukup bukti. Kalau memang pada perhitungan kerugian negara merupakan bukti permulaan, maka kita tunggu bukti permulaannya akan dihitung atau tidak," ujar Firli di depan anggota DPR beberapa waktu lalu.

(###)