merdekanews.co
Senin, 17 Agustus 2020 - 13:20 WIB

Oleh: Prof Dr Didik J Rachbini

Refleksi Kemerdekaan  Bidang Ekonomi Politik

### - merdekanews.co
Prof Dr Didik J Rachbini

Dalam rangka kritis, saling mengingatkan untuk urusan publik dan rakyat banyak, serta dalam rangka “check and balance” yang lebih luas,  maka refleksi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2020, adalah sebagai berikut:

Refleksi terhadap kebijakan pemerintah utamanya pandemik memperlihatkan bahwa kita belum merdeka dari pandemi, yang menyerang rakyat dan bangsa ini.  Refleksi kemerdekaan pada saat ini dengan perenungan lepas dan lebih mendalam menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal mengendalikan pandemic karena kebijakan sejak awal lemah dan tidak menunjukkan niat dan implementasi yang kuat mengatasi covid-19.  Sejak awal pemerintah membeikan signal kebijakan membingungkan dan kacau sehingga disiplin dan barisan rakyat lengah, terbuka diserang covid-19, sehingga banyak wilayah masuk zona merah selama berbulan-bulan dan hampir seluruh wilayah Indonesia terjangkit covid-19.  Akhirnya kebijakan mengatasi pandemic gagal, nasi sudah menjadi bubur, seperti terlihat perbandingan kasus harian yang terjangkit covid-19 di Indonesia.  Kasus penyebaran dan masyarakat yang terjangkit covid-19 terus meningkat dari waktu ke waktu sebagai pertanda kegagalan kebijakan mengatasi masalah pokok ini.

Indonesia adalah negara yang terbelakang dalam hal kebijakan pandemi ini, terbukti dari hasil kebijakan yang nihil, kasus harian terus meningkat. Justru pemerintah yang menjadi pemicu peningkatan grafik kasus harian tersebut karena mengabaikan kontrol, kebijakan PSBB lemah, anggaran kesehatan tidak memadai, test covid-19 sejak awal sedikit, prioritas di lapangan lebih pada ekonomi. Negara lain di ASEAN (Malaysia, Thailand, Vietnan) dan banyak Negara lainnya sudah mampu mengendalikan masalah pokok covid-19 ini.  Kebijakan mengatasi Pandemi di Indonesia dibandingkan dengan Negara Negara tersebut terlihat sangat buruk, seperti pada grafik di bawah ini.
Pemerintah dengan kasus harian yang parah ini tetap merasa yakin bias menyelesaikannya, tidak ada perasaan bersalah, “confidence” naif.

Kebijakan tidak berubah, tetap seperti biasanya sehingga tidak ada tanda-tanda kasus harian covid-19 akan menurun. Dengan kegagalan yang kasat mata dalam kebijakan mengatasi pandemi ini, maka pemerintah selayaknya meminta maafke pada rakyat Indonesia. Pidato kenegaraan presiden tidak memperhatikan aspek kegagalan ini dan masih menganggap kebijakan pemerintah berada pada jalur yang benar (“on the right track”), sudah dianggap efektif berhasil, lebih hebat pertumbuhannya dibandingkan Singapura, Vietnam dan lainnya.

Sumber masalah pokok dari ekonomi tidak bias dikendalikan karena pemerintah mengabaikan kebijakan kendali pandemi covid-19 ini.  Dengan keyakinan, pandemi akan beres dengan sendirinya, maka kebijakan pemerintah lebih memilih mendorong ekonomi dengan kucuran dana yang jauh melebihi anggaran kesehatan.  Strategi kebijakan ini seperti mengisi ember bocor karena masalah dasar kebocorannya tidak diatasi denganbaik.  Pilihan kebijakan ini terjadi karena pengaruh bisikan yang tidak bertganggung jawab dengan mengabaikan pilihan kebijakan yang rasional.

Pemerintah memprediksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan bahkan bias mencapai 5,5 persen.  Angka patokan ini diambil dari mimpi yang tidak rasional karena tidak mungkin dicapai dengan kondisi ember bocor seperti sekarang ini.  Masalah covid-19 di Indonesia jauh panggang dari api, sama parahnya dengan Filipina.  Tidak ada tanda-tanda kasus harian Covid di Indonesia akan menurun.  Kebijakan yang tidak sistematis, serabutan seperti ini memperlihatkan ketidakpastian, kapan kasus covid-19 di Indonesia akan melandai.

Sejak awal pemerintah pusat menyerahkan kebijakan dan imnplementasi pengendalian covid-19, PSBB atau pelonggaran PSBB lebih banyak diserahkan kepada pemerintah daerah.  Pemerintah pusat hanya memberi atau tidak memberi persetujuan PSBB kepada pemerintah daerah. Seperti diketahui bahwa pemerintah daerah mempunyai sumberdaya dan dana yang sangat terbatas. Anggaran DAU dan DAK pada umumnya 80-90 persen habis untuk rutin. Dana ini, secara sembrono bahkan oleh Satgas diakui juga sebagai dana dalam rangka Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).  Peranan pemerintah pusat yang kecil di lapangan adalah sumber kegagalan dalam kebijakan mengatasi pandemi covid-19 ini, seperti terlihatg pada kasus harian terjangkit covid-19 yang terus meningkat.

Jakarta, 17 Agustus 2020. (Penulis Ekonom/Pendiri INDEF)

 

(###)