merdekanews.co
Sabtu, 27 Juni 2020 - 10:10 WIB

Paparan Dirjen Budi

Begini Penerapan New Normal di Sektor Transportasi Darat

Gaoza - merdekanews.co
Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Budi Setiyadi

Jakarta, MERDEKANEWS -- Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat telah mempersiapkan beberapa hal selama masa _new normal_ atau Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB). Dalam konferensi pers yang digelar secara daring pada Jumat (26/6), Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Budi Setiyadi menjelaskan bahwa untuk sektor transportasi darat akan berpedoman pada Surat Edaran Nomor SE 11 Tahun 2020 Tentang Pedoman dan Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Transportasi Darat Pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Untuk Mencegah Penyebaran Covid-19.

“Dalam masa transisi adaptasi kebiasaan baru memang ada beberapa permasalahan yang mungkin saya dapat di lapangan. Dari sektor darat ini jumlah operator dan asosiasinya banyak, semuanya memang sudah setuju untuk mendukung pelaksanaan SE 11/2020 ini tapi begitu pelaksanaan mungkin agak berbeda. Selain itu di sektor transportasi darat juga mengalami persaingan (ekonomi), selain antar operator sendiri juga oleh moda transportasi misalnya jenis-jenis mobil yang sering dipakai sebagai travel gelap,” demikian disampaikan Dirjen Budi.

Dalam masa Adaptasi Kebiasaan Baru ini, menurut Dirjen Budi pemberlakuan 3 fase dan sistem zona merah, oranye, kuning, atau hijau akan menjadi pembeda yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan transportasi darat.

Adapun 3 fase yang membedakan tiap pedoman dan petunjuk teknis penyelenggaraan transportasi darat pada masa adaptasi kebiasaan baru dibedakan sesuai waktunya menjadi:
1. Fase I merupakan pembatasan bersyarat, yaitu mulai tanggal 9 Juni 2020 sampai dengan 30 Juni 2020;
2. Fase II merupakan masa pemulihan/penyebaran terkendali, yaitu mulai tanggal 1 Juli 2020 sampai dengan 31 Juli 2020;
3. Fase III merupakan normal baru (_new normal_), yatu mulai tanggal 1 Agustus 2020 sampai dengan tanggal 31 Agustus 2020.

 “Dengan penerapan pedoman dan petunjuk teknis yang berbeda sesuai zona maupun fasenya, kita jadi tahu di mana posisi tiap daerah sehingga kita memberikan satu kebijakan yang berbeda. Jadi misalnya kalau zona merah itu tidak boleh sama sekali beroperasi untuk angkutan umumnya. Namun demikian kita sudah mencoba merespon dengan mengakomodir masukan dari para operator, kami sudah pertimbangkan apakah sesuai dengan perhitungan ekonomi, apakah sudah dapat _Break Even Point_ (BEP) atau belum,” lanjut Dirjen Budi.

Selama masa adaptasi kebiasaan baru ini, Kemenhub juga akan mengikuti kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. “Pada prinsipnya seperti arahan Bapak Menteri Perhubungan yang menekankan kepada kami bahwa protokol kesehatan penanganan Covid-19 adalah yang utama jadi kita hanya mengikuti kebijakan dari Surat Edaran Gugus Tugas dan menerapkan bagaimana refleksinya di angkutan umum, prasarana, sarana, hingga ketentuan pada penumpang. Memang kami membuat kebijakan makro yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia namun kebijakan di daerah juga harus kita akomodir,” lanjut Dirjen Budi.

Salah satu wacana kenaikan tarif angkutan umum pun sempat disinggung oleh Dirjen Budi dalam kererangannya kepada media hari ini. Menurutnya, beberapa angkutan umum, misalnya Damri yang melayani lintasan dari dan ke bandara Soekarno-Hatta mengalami kenaikan tarif dari semula Rp50.000 menjadi Rp100.000, meski demikian ia menegaskan bahwa penumpang saat ini masih dalam taraf memaklumi kenaikan tarif tersebut. Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan bahwa penumpang memahami bahwa kenaikan ini untuk menutup biaya operasional yang harus dikeluarkan dengan jumlah penumpang lebih sedikit.

“Meski demikian, nanti jika kapasitas penumpang sudah diizinkan sebesar 70% maka harapan saya (tarifnya) akan kembali normal. _Load factor_ ini nanti setelah sudah 70% makan akan naik, tapi selain pembatasan kuota ini, apakah permintaan masyarakat sudah kembali? Kalau _demand_ belum normal kembali, masih jauh dari yang diharapkan maka sepanjang itu operator mungkin saja masih menaikkan tarif karena operasional kendaraan masih sama dengan sebelum Covid-19,” urai Dirjen Budi.

Dirjen Budi menerangkan bahwa dalam kesempatan sebelumnya, pihaknya telah berdiskusi dengan Organisasi Angkutan Darat (Organda) dan Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia atau (IPOMI) bahwa ada wacana dari kedua asosiasi untuk menaikkan tarif sebesar 25%-50% untuk bus premium. 


*MINAT BERSEPEDA MELONJAK SELAMA PANDEMI*

Belakangan ini, terjadi tren lonjakan pengguna sepeda yang mulai menjamur selama pandemi di kota-kota besar. Pembahasan regulasi seputar penggunaan sepeda juga sempat diangkat dalam konferensi pers hari ini. 

“Kecenderungan penggunaan sepeda di Indonesia lebih digunakan sebagai olahraga dan untuk gaya hidup kemudian berkumpul dengan komunitasnya dan sebagainya. Saya belum melihat dalam jumlah besar di Indonesia bahwa sepeda digunakan untuk pergerakan dari satu tempat ke tempat lain atau sepeda rutin dipakai untuk kegiatan sehari-hari, meski sudah ada namun masih termasuk sedikit. Kalau di wilayah DKI Jakarta kita lihat kini sudah ada infrastrukturnya, makanya kalau dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rakyat akan menyiapkan infrastruktur untuk sepeda, saya bersyukur sekali. Kita akan terus mendorong penggunaan sepeda,” jelas Dirjen Budi.

Dirjen Budi membahas bahwa klasifikasi sepeda dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, termasuk dalam kategori kendaraan tidak bermotor. “Biasanya seperti ini diatur oleh peraturan daerah, jadi saya akan mendorong kepada pemerintah daerah untuk mengatur penggunaan sepeda ini minimal dengan menyiapkan infrastruktur jalan,” kata Dirjen Budi.

Terlepas dari adanya rencana untuk merevisi UU 22/2009 tersebut, menurut Dirjen Budi, ia sangat setuju untuk mengatur penggunaan sepeda. “Apakah nanti dengan Peraturan Menteri atau dengan Peraturan Daerah di bawah Bupati/Walikota atau Gubernur, yang terpenting penggunaan sepeda ini akan ada regulasi yang mengatur ke depannya,” ujarnya.  (Gaoza)